KETIMPANGAN Jawa-luar Jawa telah muncul sebagai topik seminar sepanjang pekan silam. Pertama-tama dibahas oleh Ketua BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Ir. Sanyoto Sastrowardoyo dalam seminar planologi ITB, Kamis 6 Oktober lalu. Dikatakannya bahwa sebagian besar investasi PMDN (61,22%) dan investasi PMA (71,29%) menumpuk di Jawa. Pemusatan industri semacam ini mengakibatkan tidak adanya pemerataan dalam hal penyebaran pembangunan, di samping menimbulkan masalah tanah dan biaya investasi lebih tinggi. Tapi pola itu berlanjut terus dan cenderung meningkatkan peran Pulau Jawa sebagai pemasok barang jadi industri, dan Luar Jawa sebagai pemasok bahan baku industri. Ini dikatakan Dekan Fakultas Teknik Sipil ITB, Prof. Dr. Soegianto Soegijoko. Dalam hal ini, disayangkannya bahwa pengembangan industri itu tidak bisa dipakai untuk pengembangan wilayah. Adapun Jenderal (Purn.) Soemitro, yang kini menjabat Ketua Dewan Redaksi majalah TSM (Teknologi dan Strategi Militer), menyorot ketimpangan itu dari segi tinggal landas. Katanya, sentralisme dalam manajemen pembangunan -- terutama ketika pendapatan pemerintah sangat menurun -- bisa mengakibatkan daerah tidak siap mengoper momentum pembangunan. Ini diungkapkannya dalam sebuah seminar di Jakarta Senin pekan lalu. Harus diakui, dalam situasi keuangan negara yang ketat seperti saat ini, langkah penajaman prioritas menjadi sangat penting. Dilemanya adalah bahwa pada waktu bersamaan, posisi daya beli masyarakat dan keadaan ekonomi pada umumnya juga sedang tidak dalam keadaan yang menggembirakan. Padahal, justru untuk mendorong kenaikan daya beli tersebut, salah satu solusinya adalah dengan menyuntikkan pengeluaran pemerintah untuk berbagai kegiatan, termasuk infrastruktur, terutama di tingkat daerah. Idealnya memang fungsi semacam ini dilakukan pihak swasta, tapi swasta mana yang mau melakukan investasi di wilayah yang kondisi infrastrukturnya masih lemah. Mengapa ditekankan pada tingkat daerah? Berbagai fasilitas infrastruktur yang dibangun sebagian besar berada di Jawa, khususnya dl kota-kota besar. Lihat saja jalan yang mulai melayang-layang di Jakarta. Tentu hal itu berdampak positif, misalnya meningkatkan daya tarik bagi investor asing yang memang sangat membutuhkan kenyamanan tertentu di Ibu Kota. Namun, kecenderungan semacam ini akan terus memperkuat (reinforce) posisi Jawa sebagai lokasi berbagai kegiatan ekonomi. Bahkan dampak berikutnya lebih tidak menggembirakan. Dana begitu besar yang dianggarkan untuk program transmigrasi menjadi kurang bermanfaat, mengingat dampaknya bisa saja "dinetralkan" kembali oleh lebih derasnya arus masuk penduduk ke Jawa, dibandingkan arus yang keluar dari pulau ini. Itulah sebabnya, menjadi sangat penting untuk mempersoalkan kembali masalah penajaman prioritas. Gejala klasik yang selalu timbul ialah bahwa semua instansi sektoral menonjolkan pentingnya rencana kegiatan masing-masing, dan hal itu memang benar. Bagaimana mungkin kita menilai bahwa kegiatan pembangunan infrastruktur seperti jalan, misalnya, tidak perlu diprioritaskan? Hanya mereka yang sakit ingatan yang mungkin beranggapan demikian. Namun, dahulu persoalannya lain. Penyediaan dana tidak terlalu merupakan kendala, khususnya di masa oil boom akhir 70-an. Dewasa ini, dalam kondisi sulit dana, pihak perencana makin dituntut untuk memperluas wawasan dan melakukan penilaian komprehensif yang obyektif. Semua kegiatan dan usulan mungkin memang penting, tapi memilih mana yang paling mendesak itulah tantangan bagi perencana saat ini. Penentuan prioritas tidak hanya menyangkut pilihan kegiatan atau sektor apa, tapi juga yang sangat utama adalah menentukan alokasi antardaerah. Pengalaman kita sudah cukup panjang untuk membuktikan bahwa pendekatan sektoral (vertikal) yang berlebihan dan mengabaikan pendekatan regional (horisontal) telah menimbulkan segala macam kesulitan dan kesemrawutan. Kalau hal itu terjadi di saat keterbataan dana tidak mengancam, beberapa upaya untuk menetralkan dapat dilakukan. Tidak demikian halnya dalam kondisi sulit dana. Jadi, optimisasi alokasi anggaran terbatas sangat diperlukan tidak hanya antarsektor, tapi juga antardaerah. Dalam konteks ini, pos Inpres untuk pembangunan daerah menjadi sangat menonjol peranannya, apalagi bila disadari bahwa bagi sebagian besar daerah (dengan kekecualian DKI Jaya) Inpres tersebut merupakan penerimaan terpenting dan terbesar, jauh lebih besar dari penerimaan asli daerah. Dari suatu studi yang baru-baru ini dilakukan terhadap 22 provinsi, terungkap bahwa ternyata dana Inpres -- khususnya kategori Inpres Blok, yang terdiri atas Inpres Dati I, Inpres Dati II, dan Inpres Desa memang mempunyai dampak positif yang luar biasa besarnya bagi daerah. Contohnya, peningkatan kapasitas produksi daerah ternyata memang sangat dipengaruhi oleh dana Inpres. Di samping itu, dampak langsung maupun tidak langsung terhadap penciptaan kesempatan kerja juga tidak kecil. Namun, dari studi yang sama juga terungkap bahwa sistem alokasi antardaerah selama ini ternyata belum optimal. Bahkan bila kriteria alokasi yang dipakai mengikuti pola sama-rata seperti yang terJadl dalam kasus Inpres Dati I tahun 1988-89, maka sudah dapat dipastikan disparitas pembangunan antardaerah akan lebih besar lagi di akhir Repelita V. Bila dikaji dari sudut penciptaan kesempatan kerja, sistem alokasi yang dipakai selama ini juga ternyata belum optimal. Artinya, dengan mengubah sistem alokasi antardaerah, tanpa menambah dana Inpres yang dianggarkan, jumlah penciptaan kesempatan kerja akan apat diperbesar. Juga dari studi yang sama diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada trade-off antara peningkatan kesempatan kerja dan upaya memaksimumkan produksi daerah (PDRB atau Produk Domestik Regional Bruto). Jadi, untuk memperbaiki sistem alokasi antardaerah, dana Inpres menjadi lebih atraktif dan memang mendesak untuk dilakukan. Ada sementara pendapat yang memperkirakan bahwa kondisi perekonomian daerah akan lebih baik, dalam situasi penggalakan ekspor nonmigas akhir-akhir ini. Studi yang disinggung di atas ternyata menunjukkan bahwa segala kesimpulan yang dihasilkan -- termasuk akan makin memburuknya perbedaan tingkat pembangunan antardaerah -- tidak akan berubah walaupun kegiatan ekspor daerah, misalnya, dapat melonjak. Dengan perkataan lain, kalaupun tindakan deregulasi yang selama ini diterapkan dapat berhasil mendorong ekspor nonmigas, masalah kesempatan kerja dan disparitas pembangunan daerah tidak akan teratasi dengan baik tanpa penyempurnaan sistem alokasi dana Inpres. Sedangkan bila peraturan yang melarang ekspor barang bukan jadi terus dipertahankan atau bahkan mungkin diperluas, daftar dampak negatif pada pembangunan di tingkat daerah akan bertambah panjang lagi. Dalam situasi seperti sekarang, memang tidak mudah memilih kebijaksanaan yang paling tepat dan sekaligus punya dampak negatif terkecil. Omong kosong bila ada satu kebijaksanaan yang tidak berdampak sampingan sama sekali. Juga, terlalu ambisius bila mengharap dampak positif dari suatu kebijaksanaan akan besar sekali. Di sinilah kesulitan yang selalu dihadapi pihak perencana pembangunan. Namun, mungkin tidak berlebihan bila semua langkah positif, berapa besar atau kecil pun pengaruhnya, diambil secara simultan. Jadi, kalaupun dampak penyempurnaan sistem alokasi Inpres diperbaiki, masalah lain -- di luar kesempatan kerja dan keseimbangan pembangunan antardaerah -- belum menyelesaikan semua persoalan. Artinya, penyempurnaan sistem alokasi dana Inpres memang hanya satu dari serangkaian kebijaksanaan yang perlu diambil. Yang jelas, dengan dana terbatas dan kemungkinan alokasi yang makin turun di masa datang, penyempurnaan sistem alokasi dapat membantu meringankan dua masalah: kesempatan kerja dan keseimbangan pembangunan antardaerah. Bukankah dua hal tersebut merupakan faktor menonjol dalam GBHN yang terakhir?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini