Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Duel Baru Lion Vs AirAsia

Setelah berlomba memesan pesawat, dua maskapai penerbangan murah dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara berburu rute strategis. Menyongsong liberalisasi penerbangan 2015.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI badan burung besi buatan Amerika Serikat itu, angka 100 bercat merah tertera jelas. Ini adalah Boeing 737-900 ER milik Lion Air. Sejak kedatangan pesawat ke-50, maskapai penerbangan berlogo singa bersayap itu selalu memasang angka kedatangan di bodi atau ekor pesawat sebagai elemen estetik.

Senin pekan lalu, kedatangan pesawat baru ini disambut lewat sebuah perayaan di Terminal 1 A Bandar Udara Soekarno-Hatta. Direktur Utama Lion Group, Rusdi Kirana, dalam kesempatan itu mengingatkan sekitar 200 karyawannya bahwa pesawat ke-100 tersebut merupakan tanda perusahaan sedang tumbuh dan berkembang.

Perusahaan yang berdiri pada 1999 itu memang terus tumbuh. Lion Air menguasai 43 persen pasar domestik. Bila dikombinasikan dengan Batik Air yang mengambil segmen premium dan Wings Air sebagai pengumpan, Lion Grup menguasai lebih dari 50 persen pasar domestik. Grup ini juga melebarkan sayap di luar negeri dengan mendirikan Malindo Air, yang beroperasi di Malaysia, dan Thai Lion, yang beroperasi di Thailand.

Industri penerbangan di kawasan Asia Tenggara sedang bersiap pasang kuda-kuda menjelang pemberlakuan liberalisasi penerbangan, ASEAN Open Sky, yang berlaku mulai 2015. Kebijakan untuk membuka wilayah udara antarnegara ASEAN merupakan hasil kesepakatan Bali Concord III, yang dideklarasikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada 2003.

Menurut Direktur Umum Lion Edward Sirait, perusahaan tengah menjajaki kemungkinan membuka maskapai baru di negara lain. "Tapi kami masih menjajaki kondisi sosio-politik," katanya. Dia menambahkan, ada lebih dari 700 pesawat baru pesanan Lion dari pabrikan pesawat besar dunia, seperti Boeing, Airbus, dan ATR, yang akan berdatangan hingga 2027.

Awal bulan ini, Rusdi Kirana menyebutkan ketertarikannya pada C Series Bombardier di Bandara Mirabel, Montreal, Kanada. "Ketika saya memesan, kami akan menjadi yang terbesar saat itu," ujarnya sehari setelah mengunjungi uji C Series pertama di Montreal. Menurut Rusdi, Lion Air setidaknya membutuhkan 15 pesawat baru setiap tahun untuk mempertahankan permintaan pasar domestik yang terus meningkat.

Maskapai penerbangan murah memang jadi incaran penduduk di negara ASEAN. Dari 600-700 juta penduduk di kawasan ini, baru sekitar 10 persen yang melakukan perjalanan udara. Di Indonesia, baru 6 persen penduduk yang melakukan perjalanan melalui udara dari 240 juta penduduk Indonesia.

Rusdi mengatakan kelas menengah Indonesia kini rutin terbang ke Singapura dan Malaysia. "Kelompok ini nantinya akan memikirkan Hong Kong atau bahkan Kanton (Guangzhou, Cina bagian selatan)," katanya. Ketika ekonomi terus membaik, mereka akan melakukan perjalanan ke Jepang, Korea, atau Australia utara.

Lion tidak sendirian menggarap ceruk pasar kelas menengah Indonesia. Sebab, di segmen rute internasional, peringkat teratas dikuasai Grup AirAsia. Menurut data Centre for Aviation and Innovata, penguasaan pasar maskapai Malaysia ini mencapai 26 persen, jauh di atas kompetitor lain. Direktur Utama Indonesia AirAsia Dharmadi menyebut angkanya lebih besar lagi, 40 persen. "Sejak 2009, kami mengubah strategi untuk lebih berfokus di pasar internasional," ucapnya.

Dia optimistis peluang ini lebih besar dengan memanfaatkan jaringan grup. Penumpang dapat terbang menuju Kuala Lumpur dari Indonesia, kemudian melanjutkan penerbangan ke India, Cina, atau Australia dengan AirAsia X. "Kami memiliki konektivitas yang tidak dimiliki maskapai lain," katanya.

Grup AirAsia, yang berdiri pada 2001, berkembang pesat menghubungkan banyak kota besar di Asia Tenggara. Tony Fernandes, Presiden Direktur Grup AirAsia, optimistis bakal bisa terus menambah pangsa pasar. "Ada 3 miliar orang di Asia dan 300 juta orang di Amerika," tuturnya. "Tapi Amerika memiliki pesawat tiga kali lebih banyak dibanding Asia."

AirAsia Berhad terus mengembangkan sayap bisnis dengan anak usaha di sejumlah negara lewat Indonesia AirAsia, Thai AirAsia, Japan AirAsia, India AirAsia, Philippines AirAsia, AirAsia Zest, dan AirAsia X. Unit usaha yang terakhir adalah maskapai yang dikhususkan untuk penerbangan jarak jauh.

Indonesia AirAsia kini membidik rute Indonesia-Hong Kong dan Vietnam. India dan Cina juga masuk rute yang dibidik, meski perusahaan belum memutuskan. Ekspansi ini memberi keberagaman rute internasional Indonesia yang selama ini hanya melayani empat negara, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, dan Australia. Sebanyak 65 persen kapasitas kursi internasional Indonesia dialokasikan untuk rute Indonesia-Malaysia.

Persaingan antarmaskapai bertambah ketat. Laporan keuangan AirAsia Berhad, yang melantai di bursa Malaysia, menyebutkan unit bisnis di Indonesia mengangkut 2,1 juta penumpang selama kuartal ketiga tahun ini (naik 36 persen dari periode yang sama tahun lalu) dan pendapatan naik 35 persen menjadi Rp 1,62 triliun.

Namun laba usaha turun 18 persen karena kenaikan sejumlah komponen biaya. Menurut analis Maybank, Moshin Aziz, kepada Reuters, Indonesia AirAsia membutuhkan setidaknya setahun lagi untuk berkontribusi pada laba induk usaha. "Karena maskapai harus menangkis persaingan dari Lion Air dan Garuda," ujarnya.

Di tengah fluktuasi dolar dan kenaikan harga avtur, tarif AirAsia justru turun 12 persen. AirAsia memangkas tarif agar bisa bersaing dengan kompetitornya, termasuk Malaysia Airlines dan Malindo Airways. "Walaupun menghadapi kompetisi yang tak rasional dengan kompetitor, AirAsia mampu mencatat laba usaha," kata perusahaan itu dalam keterbukaan informasi. Secara keseluruhan, laba usaha naik 5 persen untuk kuartal ini menjadi 291,06 juta ringgit.

AirAsia yakin bakal tetap kuat sepanjang tahun walau laba turun 39 persen pada kuartal pertama, lalu 62 persen pada kuartal kedua. Tentunya ini kontras ketika sepanjang tahun lalu AirAsia mencatat kenaikan laba bersih 238 persen, meski saat itu ada kenaikan harga avtur. Jumlah penumpang akan tetap kuat karena akhir tahun merupakan periode libur.

Fluktuasi dolar dan kenaikan harga bahan bakar juga mempengaruhi Lion Group. Namun, menurut Edward Sirait, persoalan rugi atau laba bergantung pada kebijakan perusahaan. Dia mengatakan Lion bakal mengikuti jejak AirAsia dan Garuda melepas saham di bursa. "Tapi kami menunggu waktu yang tepat," ujarnya.

Menurut Edward, perseroan saat ini berfokus mempersiapkan diri meningkatkan safety dan memperbaiki on time performance. Di Cirebon dan Palangkaraya, Lion membangun sekolah pilot, yang mencetak 200 pilot setiap tahun. Sedangkan Batam dipersiapkan sebagai hub dan pusat perawatan pesawat.

Liberalisasi penerbangan di ASEAN akan menjadi arena baru pertempuran Lion dan AirAsia. Negara-negara ASEAN akan terbuka bagi maskapai asing. Indonesia, misalnya, akan membuka bandara Jakarta, Medan, Makassar, Bali, dan Surabaya. "Kebijakan ini tidak melanggar asas cabotage, maskapai asing tidak bisa mengambil pasar domestik," kata juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan.

Amandra Mustika Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus