Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perang di Balik Tuduhan Monopoli

PT Pelindo II akan melawan vonis KPPU sehubungan dengan persaingan di Teluk Bayur. Mereka menduga ada sponsor dari para pengusaha yang tersingkir akibat pembersihan di pelabuhan.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Antrean truk di terminal peti kemas di Teluk Bayur pada Kamis siang pekan lalu itu berangsur-angsur terurai. Satu per satu kendaraan yang sudah dimuati kontainer meninggalkan pelabuhan utama di Sumatera Barat ini, berganti dengan mereka yang datang dalam keadaan kosong. Di sudut lain, operator derek otomatis sibuk membongkar muatan dari kapal-kapal yang bersandar untuk dipindahkan ke truk yang telah antre.

"Biarpun dibilang ada monopoli, nyatanya memang PT Pelindo II yang punya fasilitas lebih canggih," kata Boni, salah satu anggota staf operasional perusahaan penyedia peti kemas yang ditemui di Teluk Bayur. "Mau tak mau kami harus ke sana. Lagi pula, apa salahnya?" Bagi para pelanggan seperti Boni, kecepatan bongkar-muat dan ongkosnya adalah pertimbangan utama untuk memilih operator yang akan dia gunakan.

Namun, bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), apa yang dilakukan PT Pelindo di Teluk Bayur itu tak bisa diterima. Dalam sidang pada 4 November lalu, lembaga ini memutuskan perusahaan milik negara itu terbukti melanggar ketentuan antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Atas pelanggaran itu, KPPU menjatuhkan sanksi denda kepada Pelindo Rp 4,775 miliar.

Setelah bersidang, Wakil Ketua KPPU Saidah Sakwan mengatakan monopoli oleh Pelindo II terjadi melalui 20 perjanjian tertutup dengan pihak ketiga. Isinya antara lain kontrak sewa lahan, tapi di dalamnya terdapat klausul yang mengharuskan mereka menyerahkan semua pekerjaan bongkar-muat kepada Pelindo II. "Termasuk dengan perusahaan BUMN lain, seperti PT Antam dan Semen Padang, yang sudah punya lahan di situ," katanya.

Menurut berbagai dokumen yang diperoleh KPPU sebagai alat bukti, Saidah menyatakan monopoli di Teluk Bayur telah berlangsung setidaknya sejak 2008. Denda yang ditetapkan pun merujuk pada periode berlangsungnya praktek tersebut. "Rumusnya 10 persen dari total transaksi dan bisa diperberat sesuai dengan riwayat usaha," ujarnya.

Selain itu, Pelindo II dianggap terbukti menghalangi usaha pesaingnya untuk melakukan kegiatan yang sama. Caranya dengan menunjuk perusahaan bongkar-muat barang yang bisa beroperasi di lahan mereka. Menurut KPPU, tindakan itu dianggap telah menutup peluang pelaku usaha lain masuk ke pasar yang sama. Akibatnya, dari sebelumnya 48 perusahaan bongkar-muat di Teluk Bayur, sekarang tinggal tersisa belasan yang aktif di sana.

"Kami minta seluruh perjanjian itu dibatalkan. Terlapor diberi kesempatan mengajukan keberatan 14 hari setelah putusan."

Tak perlu menunggu, pada hari itu juga Pelindo menyatakan akan mengajukan permohonan banding ke pengadilan negeri. Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino menilai ada yang keliru dipahami oleh KPPU dalam melihat pengelolaan pelabuhan. Dia maklum, kalau tak dilawan, kasus di Teluk Bayur hanyalah salah satu pintu masuk yang akan segera memicu tuntutan atau tudingan serupa di pelabuhan lain. Sebab, kebijakan serupa juga diterapkan di sejumlah pelabuhan lain yang dikelola Pelindo II, yakni Jambi, Palembang Boom Baru, Bengkulu, Panjang di Lampung, Tanjung Pandan, Pangkal Balam di Bangka Belitung, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Pontianak, dan Tanjung Priok. "Kami tak akan mundur."

Menurut dia, salah satu persoalan mendasar ekonomi kita selama ini adalah mahalnya biaya logistik, dan itu terjadi akibat amburadulnya manajemen pelabuhan dan transportasi laut. "Yang kami lakukan ini adalah membenahinya," ujar Lino. "Ada begitu banyak perusahaan selama ini berbisnis di lahan Pelindo tanpa sedikit pun keluar duit buat investasi. Mereka seenaknya saja pasang tarif mahal-mahal. Yang rugi seluruh masyarakat."

Kuasa hukum Pelindo, Armen Amir, mengibaratkan tindakan perusahaan itu seperti bioskop yang melarang penonton membawa makanan yang dibeli dari toko lain di luar. "Apakah bioskop itu melanggar persaingan usaha?" ia bertanya. "Ini yang kami lakukan sama. Tujuannya adalah efisiensi, dan itu jadi program pemerintah. Kecuali kalau kami melakukan bisnis itu di tempat lain. Tapi ini kami lakukan di tempat dan dengan modal sendiri."

Pendek kata, Pelindo tak bisa menerima tudingan monopoli. Apalagi, Lino menambahkan, penyusutan jumlah perusahaan bongkar-muat di Teluk Bayur, Tanjung Priok, atau di pelabuhan lain terjadi melalui proses tender terbuka. Perusahaan yang dinilai tak punya kapasitas dan tak menunjukkan performa sesuai dengan yang disyaratkan otomatis akan tersingkir.

Di Tanjung Priok, misalnya, dari 129 perusahaan pada awalnya, lalu diseleksi dan tersisa 70. Dari situ tender diperketat dan pada akhirnya hanya 13 yang terpilih. "KPPU paham tidak soal ini? Semuanya kami lakukan dengan transparan. Semestinya mereka lihat dulu ke lapangan, jangan hanya menduga-duga. Mereka kerja buat negara atau buat siapa?"

Ketua KPPU Nawir Mesi, yang ditemui pada Kamis pekan lalu, mengaku sudah pernah "dikuliahi" Lino mengenai hal itu. "Sewaktu diperiksa, dia malah memberi kuliah macam-macam tentang pelabuhan. Tapi itu tidak relevan," katanya. "Buat kami, masalahnya sederhana: bisa enggak mereka menjawab pertanyaan mengenai perjanjian tertutup di Teluk Bayur itu? Kami sama sekali tak bermaksud menghalangi upaya efisiensi. Silakan saja, tapi hal itu tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang melanggar prinsip usaha yang sehat. Mereka ini arogan sekali. Status sebagai BUMN sama sekali tak mengecualikan mereka dari aturan antimonopoli."

Nawir pun tak menyangkal bahwa putusan mengenai Teluk Bayur sangat mungkin membuka peluang untuk menelisik praktek serupa di pelabuhan lain. "Saya yakin pasti ada yang sama," ujarnya. Tapi ia menolak tudingan yang menganggap sikap ngotot KPPU itu karena disponsori oleh para pelaku usaha yang merasa dirugikan setelah tergusur dari pelabuhan Pelindo.

Salah satunya adalah Muhammad Tauhid, pemilik perusahaan bongkar-muat dan salah satu wakil rakyat daerah di Sumatera Barat. "Kasus ini kami mulai dari kajian. Memang di tengah proses itu kami bertemu dengan pihak-pihak yang bersedia melapor atau memberi dukungan bukti. Tapi prinsip kami bukan membela pelaku usaha tertentu, melainkan memastikan agar persaingan sehat yang berlaku."

Dalam persidangan di KPPU, Tauhid menyatakan bahwa dialah salah satu pelapor dalam kasus di Teluk Bayur. Kepada Tempo yang menemuinya pada Rabu pekan lalu, ia mengatakan tak pernah melobi khusus ke KPPU. Perannya hanyalah memberikan data yang diperlukan untuk mendukung tuduhan monopoli yang ia keluhkan.

Dia mengakui, dari segi fasilitas, pengusaha seperti dirinya tak akan mungkin kuat bersaing melawan Pelindo. Pemilik barang pun cenderung memilih operator bongkar-muat yang memiliki fasilitas lebih lengkap. "Bagi pemilik barang, yang terpenting itu dapat fasilitas. Ini kan persaingan yang tak sehat. Otomatis kami mati," ujarnya. "Jadi, pengusaha kecil seperti kami mau makan apa?"

Desakan agar KPPU memeriksa praktek sejenis di pelabuhan lain juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita. "Kasus di Teluk Bayur itu cuma satu contoh. Cek di pelabuhan lain." Menurut dia, permintaan itu sudah diajukan oleh asosiasinya sejak setahun lalu, persisnya ketika ekspansi Pelindo II di sektor hilir jasa pelabuhan mulai terasa efeknya bagi para pelaku usaha yang sudah lebih dulu bergerak di sana.

Sekarang Pelindo II tercatat memiliki 22 anak perusahaan yang ikut bermain, dari bongkar-muat, jasa antar barang dan kontainer, tracking logistik, hingga jasa informasi dan teknologi. "Ibaratnya, semua yang tadinya dikelola swasta kini lahannya diambil semua oleh Pelindo," kata Zaldy. "Ini bahkan sudah bisa masuk kategori kartel. Kalau Pelindo mengklaim pelabuhan lebih baik karena dia, harusnya ada perbaikan kapasitas dan tarif tidak naik terus-menerus, dong."

Pendapat Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik sekaligus Ketua Asosiasi Pelayaran Nasional (INSA), Carmelita Hartoto, tak jauh beda. Ia melihat apa yang terjadi di Teluk Bayur sudah lama berlaku di banyak pelabuhan di Tanah Air. Ia dan rekan-rekannya pun mengaku sudah mengeluhkannya berkali-kali kepada pemerintah, tapi tidak mendapat tanggapan serius. "Kami memahami posisi Pelindo yang diharuskan mengejar keuntungan, tapi caranya tidak begini. BUMN terlalu kuat dan swastanya justru dilemahkan."

Carmelita meyakinkan, soal kompetensi dalam jasa bongkar-muat dan jasa kepelabuhanan lainnya, banyak perusahaan swasta boleh diadu dengan Pelindo. Masalahnya, swasta tidak memiliki kuasa sebagaimana yang dimiliki Pelindo, misalnya dalam hal menjamin bahwa kapal yang datang bisa segera masuk ke dermaga. "Jaminan itulah nilai jual yang dimiliki Pelindo selama ini. Karena swasta tidak bisa memberi jaminan yang sama, jelas saja kapal dan pemilik barang akan lebih memilih Pelindo."

Para pengusaha itu berharap putusan KPPU akan bisa mengubah arena persaingan mereka di pelabuhan. "Tidak perlulah kami sampai gugat-menggugat. Yang penting kami diberi kesempatan serupa untuk menjalankan usaha," kata Carmelita.

Tapi harapan itu sepertinya belum akan segera terwujud. Sebab, Pelindo sudah sejak semula pasang posisi keras. "Kalau ekonomi kita mau beres, tak bisa lain inilah yang harus dilakukan," kata Lino. "Kami tahu pasti akan menghadapi perlawanan seperti ini. Dan kami akan melawan."

Y. Tomi Aryanto, Gustidha Budiartie,Andri El Faruqi (Padang)


Dalam Bayangan Pulau Tikus

Lain di Teluk Bayur, lain pula cerita PT Pelindo II di Bengkulu. Di provinsi itu, perusahaan milik negara ini mengelola Pelabuhan Pulau Baai, yang sampai November ini sudah melayani hampir 1.500 kapal di dermaganya.

Ramainya dermaga itu terjadi dalam dua tahun terakhir. Tepatnya setelah restorasi dan pengerukan alur dan kolam pelabuhan yang menghabiskan Rp 250 miliar. "Investasi itulah yang kami harap bisa balik dulu dalam tiga tahun sampai 2014," kata Manajer Umum Pelindo II Bengkulu Nur Hikmat, Senin dua pekan lalu.

Namun usaha keras perusahaan itu kini terganjal oleh penetapan dua pejabat mereka sebagai tersangka pemerasan oleh Kepolisian Daerah Bengkulu, awal bulan ini. Keduanya ialah konsultan PT Pelindo, Mochamad Amin, dan manajer operasional Sabar Haryono.

Polisi membidik mereka berdasarkan pengaduan Yanto, pemilik sejumlah kapal di bawah bendera PT Slamet Group Perkasa. "Keduanya bertanggung jawab atas kasus pemerasan dan pungutan liar terhadap pengusaha kapal yang bersandar di dermaga PT Pelindo," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Bengkulu Komisaris Besar Mahendra Jaya.

Menurut polisi, kasus ini berawal dari laporan Yanto, yang keberatan tongkang batu baranya diminta membayar biaya sandar dan retribusi US$ 5,5 per ton. Padahal, kata Mahendra, ongkos sebesar itu semestinya dikenakan untuk kapal berbobot di atas 40 ribu ton. Sedangkan untuk bobot di bawah itu tarifnya US$ 1,5 per ton. "Pelapor diancam tidak dilayani."

Tuduhan pemerasan dengan embel-embel penyalahgunaan wewenang dan pencucian uang itulah yang membuat Nur Hikmat dan Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino masygul. Mereka heran mengapa polisi begitu mudah menetapkan tersangka hanya berdasarkan laporan sepihak. "Penetapan tarif itu dilakukan melalui kesepakatan dengan para pelanggan, bukan kami sendiri yang menentukan," kata Lino.

Nur Hikmat bercerita, beberapa tahun sebelumnya Pelabuhan Pulau Bai sempat "mati suri". Pendangkalan begitu parah, sehingga banyak kapal bertonase besar memilih tak masuk ke pelabuhan lantaran takut kandas, seperti yang terjadi dengan kapal PT Pertamina. Pelabuhan pun sepi dari aktivitas bongkar-muat. Yang lebih banyak terlihat di sana hanyalah orang-orang yang mengisi waktu luang dengan memancing ikan di pinggiran dermaga.

Sejak 2007, secara perlahan kegiatan logistik laut dari dan menuju Bengkulu berpindah ke Pulau Tikus. Pulau seluas sekitar satu hektare yang berjarak beberapa mil laut di sebelah barat Kota Bengkulu itu pun mendadak jadi pelabuhan bayangan.

Masalahnya, menurut Nur Hikmat dan Lino, retribusi dan perpajakan dari aktivitas pelabuhan jadi tak jelas. "Berapa yang masuk ke negara dan yang masuk ke kantong mereka yang 'mengelola' di sana? Biaya logistik juga semakin mahal. Ini kan enggak benar," kata Lino. "Itu sebabnya kami putuskan mengeruk alur, meskipun sebenarnya itu adalah tugas pemerintah."

Mereka lalu berembuk dengan para pelanggan. Salah satunya Asosiasi Pengusaha Batu Bara Bengkulu. Pelindo minta investasi untuk merawat alur dan kolam pelabuhan agar selalu terjaga di kedalaman minimum 10 meter jadi dasar penetapan tarif sandar.

Dari situ disepakati beban pelanggan US$ 5,5 per ton bagi kapal dan US$ 1,5 per ton untuk tongkang. Dengan ketentuan tambahan, 70 persen muatan akan diperhitungkan sesuai dengan tarif kapal, sedangkan sisanya dikenai biaya tongkang. "Begitulah kesepakatan bisnisnya. Nah, sekarang polisi menganggap itu pemerasan dan ilegal," kata Nur Hikmat. "Kalau memang keliru, kenapa puluhan perusahaan kapal lain enggak memprotes?"

Y. Tomi Aryanto, Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)


Trafik Barang/Komoditas melalui Pelabuhan Teluk Bayur
Tahun 2009-2013 (Ton)

  • 2009: 10.076.781
  • 2010: 11.419.171
  • 2011: 13.467.027
  • 2012: 12.159.371
  • 2013: 10.372.692

    Luas Pelabuhan Teluk Bayur
    Berdasarkan sertifikat 79 ha

    Jumlah perusahaan bongkar-muat

  • Sebelumnya 48
  • Sekarang 37
  • Yang aktif sekarang 18

    Trafik Kunjungan Kapal
    Tahun 2011-2013

    2011
    Unit: 2.067
    Gross Ton: 9.908.616,66

    2012
    Unit:2.185
    9.597.035,00

    2013
    Unit:2.069
    Gross Ton:9.785.867,00

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus