Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dugaan Penimbunan Gula Pasir Penyebab Kelangkaan

Di tengah penyebaran virus corona atau Covid-19 yang semakin meluas, para pengusaha ritel mengaku kesulitan mendapatkan gula pasir dari distributor.

24 Maret 2020 | 03.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah penyebaran virus corona atau Covid-19 yang semakin meluas, para pengusaha retail kesulitan mendapatkan gula pasir dari distributor. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan salah satu penyebabnya adalah masih ada pabrik gula yang menahan stok gula di gudang mereka, bahkan menjurus ke kartel.

“Mereka tidak mengeluarkannya dengan 1.001 alasan,” kata Roy dalam konferensi pers online HIPMI Jaya di Jakarta, Senin, 23 Maret 2020. Walhasil, Roy menyebut stok gula di toko retail seperti Alfamart hingga Hypermart mulai berkurang.

Roy mencontohkan, ada empat perusahaan gula yang ada di Lampung. Akan tetapi, harga gula pasir di Lampung tetap berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp 12.500 per kilogram.

Namun, Komisaris Independen Hypermart ini tidak menjelaskan apakah pabrik yang dia maksud adalah empat perusahaan tersebut. Ia hanya mengatakan keberadaan kartel pabrik gula ini bukanlah rahasia umum di Indonesia.

Dalam beberapa minggu terakhir, gula pasir mulai langka di pasaran dan mengalami kenaikan harga. Pada 10 Maret 2020, harga gula pasir di sejumlah pasar tradisional di Jakarta naik hingga Rp 20 ribu per kg. 

Atas kenaikan ini, Kemendag pun menerbitkan lagi Surat Perizinan Impor (SPI) untuk 550 ribu ton gula. Kebijakan ini menyusul kebijakan sebelumnya yang telah menerbitkan izin impor bagi 438,8 ribu ton gula kristal mentah atau raw sugar. Namun, impor gula ini masih dalam proses pengiriman Sehingga, kondisi di pasaran belum banyak berubah. 

Kemarin, salah satu toko ritel di Carrefour di Jakarta Selatan, gula pasir tak lagi tersedia. Namun di beberapa toko kelontong, gula pasir curah masih tersedia. Harganya sekitar Rp 5.000 per 250 gram, atau Rp 20 ribu per kg.

Roy membenarkan, saat ini hanya dua dari enam pelabuhan di Cina yang beroperasi, untuk mendatangkan gula impor. Sesampainya di Indonesia, gula impor pun juga harus  diolah terlebih dahulu untuk bisa menjadi gula pasir siap edar. “Jadi butuh waktu lagi,” kata dia.

Tak hanya itu, Roy juga mengkritik data antar instansi pemerintah yang tidak akurat. Hasilnya, keputusan impor baru diterbitkan akhir Februari 2019. Sehingga, tidak ada prediksi sama sekali di pemerintah, sebelum akhirnya  terjadi kelangkaan gula seperti hari ini.

Sehingga dalam situasi seperti ini, Roy mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengatakan stok gula di pabrik harus segera disalurkan. Pemerintah, kata dia, harus tegas dalam melakukan penegakan hukum. “Kami pun berusaha agar pasokan ini tidak hilang. Tapi, butuh juga kepedulian dari pelaku usaha untuk tidak menahan dan menimbun,” ujarnya.

Tempo mencoba mengkonfirmasi keterangan dari Roy ini kepada Asosiasi Gula Indonesia (AGI). Asosiasi ini beranggotakan pabrik gula milik BUMN, termasuk PT Perkebunan Nusantara, maupun milik swasta. Total, ada sembilan BUMN dengan 51 pabrik gula dan pihak swasta dengan 10 pabrik gula. Meski demikian, tidak semua pabrik gula swasta menjadi anggota AGI.

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat mengatakan perjalanan stok gula ini sebenarnya cukup panjang. Dimulai dari Oktober 2019. Saat itu, kata Budi, rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan sudah ada rekomendasi impor gula sebesar 495 ribu ton. "Ini untuk antisipasi konsumsi gula di luar masa giling pabrik gula," kata dia.

Lalu pada 9 Maret 2020, kata Budi, pabrikan gula juga diundang oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk mengklarifikasi stok di masing-masing pabrik gula dan realisasi impornya. Dari data yang ada, lima importir yang mendapat jatah impor gula pada 2019 telah merealisasikan 100 persen dengan jumlah 252.630 ton.

Lalu pada 2020, baru satu dari delapan importir yang merealisasikan impor gula. Realisasi impor baru 30 ribu ton, dari 216.172 ton Persetujuan Impor (PI) yang diterbitkan Kemendag. Namun, sebagian besar dari perusahaan ini baru mendapat PI dari Kemendag pada 6 Maret 2020. Sementara, satu importir yang sudah mendatangkan gula impor mendapat PI sejak 20 Februari 2020.

Meski demikian, Budi menyebut Kementerian Perdagangan biasanya bisa mengundang para pedagang gula yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Gula Indonesia. Sehingga, kata Budi, apabila impor datang tepat waktu dan para pedagang melepas semua stok, maka seharusnya tidak sampai ada kesulitan gula di pasaran. "Memang kunci stok bukan di pabrik gula, tapi di distributor atau pedagang, itu yang susah dideteksi," kata Budi.

Selain itu, Budi pun mengatakan penimbunan biasanya tidak terjadi di pabrik. Sebab, pabrik memiliki kewajiban untuk melaporkan secara rutin stok yang mereka miliki. "Kalaupun ada di pabrik tapi milik pedagang yang belum diambil, yang masih di gudang pabrik gula, mereka (pedagang) kalau terlambat ya kena denda," kata Budi.

Sementara itu, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan, Very Anggrijono belum banyak berkomentar soal indikasi penimbunan stok gula di pabrik ini. Termasuk, adanya kabar penimbunan 160 ribu ton gula pasir di sebuah gudang di Tasikmalaya, Jawa Barat yang diberitakan sejumlah media online. "Saya cari tahu tentang hal ini," kata dia.

FAJAR PEBRIANTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus