Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Duri di Kursi Dahlan

Penolakan terhadap Dahlan Iskan sebagai bos PLN terus berlanjut. Ada ancaman mogok dan mundur massal, dan ini dijawab dengan gerakan awal yang menuai pujian.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH spanduk masih terpacak di dinding luar Gedung I Kantor Pusat Perusahaan Listrik Negara, kawasan Blok M, Jakarta Selatan, pekan terakhir 2009. Dengan beragam kalimat, bentangan kain berukuran satu kali tiga meter tersebut menyuarakan tuntutan serupa: menolak Dahlan Iskan sebagai nakhoda baru pabrik setrum negara itu.

Sejak nama Dahlan Iskan masuk bursa calon direktur utama hingga dia dilantik pada 23 Desember lalu, penolakan terus merebak. Di kalangan internal PLN bukan tak ada yang mendukung, tapi yang menolak jauh lebih banyak. Sikap ”anti-Dahlan” paling keras disuarakan Serikat Pekerja PLN. Organisasi ini getol menggelar macam-macam aksi, dari menebar ratusan pamflet dan spanduk, menyatakan sikap melalui media, hingga berdemonstrasi.

Puncaknya, pada hari pelantikan, anggota Serikat Pekerja ”menyegel” pintu calon ruang kerja Dahlan di lantai 9 gedung utama PLN dengan poster-poster. Puluhan mahasiswa turut mendukung melalui demonstrasi di luar gedung. Menurut Ahmad Daryoko, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PLN, ada beberapa alasan menolak Dahlan. Pertama, bos Grup Jawa Pos ini memiliki pembangkit tenaga uap berkapasitas 2 x 25 megawatt di Embalut, Kalimantan Timur, yang pasokan listriknya biasa dijual kepada PLN. ”Kami curiga ia memanfaatkan PLN untuk mengembangkan bisnis pribadi,” kata Ahmad.

Namun, melihat kondisinya sebagai ”orang luar” yang tiba-tiba ditempatkan di badan usaha milik negara itu, Ahmad menduga Dahlan membawakan dua agenda: penswastaan dan unbundling (pemecahan unit usaha) PLN. Yang terakhir ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Rencana ini diwujudkan dengan pembentukan anak perusahaan distribusi serta penswastaan anak perusahaan Pembangkit Jawa Bali dan Indonesia Power melalui penawaran saham perdana.

”Pemerintah menilai hal ini sulit dilakukan jika posisi direktur utama dijabat kalangan internal PLN. Pasti ada penolakan atau minimal akan memperlambat,” ujarnya. Ahmad menegaskan, Serikat Pekerja menolak penswastaan dan unbundling karena keduanya bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja karyawan PLN, dan harga listrik menjadi mahal. Hal ini mungkin terjadi jika listrik dikelola swasta dan unit usaha dipecah-pecah. ”Perjuangan kami kini tak hanya menolak direksi yang sarat muatan politis. Uji materi undang-undang pada Mahkamah Konstitusi pun sudah diajukan,” katanya.

Apa pun alasannya, yang jelas pengangkatan Dahlan diakui Ahmad juga memantik semacam kecemburuan di kalangan internal PLN. Akibat emosi yang telanjur membuncah, 20 dari 38 general manager yang membawahkan wilayah pelayanan di seluruh Indonesia berniat mundur. Karyawan pun bersiap mogok kerja massal. Untuk itu, kemauan Dahlan untuk memenuhi tuntutan para penolak amat ditunggu.

Penolakan berkepanjangan inilah yang ditakutkan menghambat kinerja PLN ke depan. Fabby Tumiwa, pengamat masalah kelistrikan, mengatakan seharusnya Dahlan meniru cara Kuntoro Mangkusubroto ketika menjabat Direktur Utama PLN pada 2000. Sebagai ”orang luar” PLN, ia juga pernah mendapat penolakan. Namun kemudian Kuntoro berhasil membangun kepercayaan karyawan sehingga kinerja perusahaan tak terganggu. ”Dia berani memberantas korupsi, mengganti pejabat yang tak perform, dan intens berdialog dengan karyawan,” ujarnya.

Hal lain diungkapkan Priagung Rahmanto, pengamat energi dari Reforminer Institute, lembaga pengkaji masalah tambang dan energi. Ia mempertanyakan sejauh mana dampak positif penolakan atas Dahlan. ”Jika terobosannya positif, kenapa harus ditolak dengan alasan orang luar atau alasan politis?” ujarnya.

Resistensi para karyawan atau ”orang dalam”, menurut Priagung, malah membuat masyarakat curiga. Muncul dugaan aksi diboncengi status quo pendukung kebijakan lama yang tak ingin diubah oleh ”orang luar”. Selama ini, Dahlan kencang mengumbar rencana menukar energi primer pembangkit listrik dari bahan bakar minyak dengan gas. Perubahan ini ada kemungkinan memotong rezeki sebagian orang.

Menanggapi penolakan atas dirinya, Dahlan menilai hal itu wajar. Untuk masalah konflik kepentingan, Dahlan menyatakan tuduhan itu sudah tak relevan. Sebab, ia telah melepas peran sebagai pemilik perusahaan listrik. ”Dalam dialog dengan karyawan, sudah saya tegaskan hal itu,” kata dia. Namun tuntutan karyawan mengenai privatisasi dan unbundling tak ia tanggapi. ”Masalah itu jauh di luar jangkauan saya,” katanya.

l l l

Dahlan Iskan memang sosok yang unik. Pria kelahiran Magetan, Jawa Timur, 58 tahun lalu itu lebih dikenal sebagai wartawan dan pebisnis media ketimbang pengusaha listrik.

Sikapnya santai, sederhana, dan cenderung nyentrik. Meski dia telah menjadi pejabat puncak perusahaan negara, ”kostum”-nya tak berubah. Sepatu kets tetap ia kenakan di mana-mana, sekalipun dalam acara formal. Kepada Tempo ia bahkan mengaku tak nyaman menempati kursi di ruang kerjanya yang baru. ”Bentuknya itu, lho… terlalu ngebos dan tinggi banget. Saya enggak biasa. Di kantor lama, semua petinggi perusahaan saya larang pake kursi kayak gini,” ujarnya.

Dahlan pun sempat membuat sensasi. Sebelum resmi ditunjuk memimpin PLN, ia dikabarkan sempat mengumpulkan data pribadi dan profil jajaran direksi perusahaan itu. Menurut sumber Tempo di PLN, tindakan itu menuai kecaman. ”Belum-belum udah berani periksa data orang, maunya apa?” ujarnya.

Tapi Dahlan menanggapinya dengan santai. ”Apa salah kalau ingin tahu data calon anak buah?” katanya. Dahlan juga membantah anggapan bahwa data itu dikumpulkan atas permintaannya untuk kepentingan tertentu. ”Lha wong aku dikasih Kementerian BUMN,” ujarnya.

Di balik semua tudingan miring, Dahlan bergerak cepat membuat gebrakan baru. Program jangka pendeknya, mengganti sumber energi primer serta menyediakan transformator (trafo) cadangan untuk keperluan distribusi listrik, banyak dipuji.

Ide itu diwujudkan pada pekan pertama kepemimpinannya. Kontrak pembelian gas dari Perusahaan Gas Negara ditandatangani. Pasokan sebesar delapan billion British thermal unit per hari disalurkan untuk pembangkit tenaga uap Talang Duku, Sumatera Selatan. Sedangkan pembangkit Sumatera Utara kebagian jatah 150 million metric British thermal unit. ”Penggantian energi primer ini bisa menghemat beban subsidi Rp 5 triliun per tahun,” kata Dahlan.

Upaya ini juga akan dibarengi pembangunan 100 unit pembangkit tenaga uap kecil untuk menggantikan mesin diesel yang selama ini digunakan di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Besaran kapasitas pembangkit bisa beragam, disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik daerah.

Sedangkan untuk trafo cadangan, Dahlan mengaku akan menyediakan 12 unit berkapasitas 500 kilovolt ampere untuk beberapa gardu induk Jawa, Madura, dan Bali. Tujuannya agar pasokan listrik pelanggan tak terganggu manakala terjadi kerusakan di gardu induk. ”Masalah ini yang menentukan nasib saya dan PLN, yang selama ini menuai kritik, sering byar-pet,” ujarnya.

Pujian untuk upaya ini datang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh serta Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar. Darwin menyebut langkah Dahlan sebagai sejarah karena tidak pernah terjadi sebelumnya. Sedangkan Mustafa mengatakan langkah-langkah Dahlan ini upaya yang radikal.

Tak hanya dari kawan, pujian pun datang dari ”lawan”: Serikat Pekerja PLN, yang dengan keras menentang pengangkatan Dahlan. Ahmad, ketuanya, memuji proyek gasifikasi ini. Ia melihat direksi PLN sebelumnya tak berani bahkan untuk sekadar mengusulkan penggantian bahan bakar minyak dengan gas.

”Para pemimpin lama banyak alasannya, dari pasokan gas yang kurang hingga ketiadaan terminal. Tapi Pak Dahlan ternyata berani mewujudkannya,” kata dia. Tapi itu saja tak cukup. ”Tuntutan kami utamanya pada masalah privatisasi dan unbundling. Kami tetap menolak beliau karena tak punya komitmen untuk mencegah hal itu,” ujarnya.

Fery Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus