Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
TikTok Shop memakai strategi berjualan via media sosial.
Pangsa pasar TikTok Shop melesat dalam setahun.
Facebook dan Instagram sedang mengajukan permohonan izin usaha e-commerce.
BAGI Niken Probowati, TikTok Shop bak toko kosmetik langganan. Enam bulan terakhir, perempuan 27 tahun itu berbelanja produk perawatan kulit dan tubuh di TikTok Shop. Sebelum mengenal TikTok Shop, Niken selalu membeli produk kecantikan dari platform e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia. Tapi ternyata godaan berbelanja si "Keranjang Kuning" lebih kuat. “Saya coba beli, harganya jauh lebih murah dari e-commerce lain. Bebas ongkos kirim pula,” kata karyawan swasta yang bermukim di Tangerang, Banten, itu pada Jumat, 8 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya Niken hanya tahu TikTok adalah media sosial dan platform berbagi video. Beberapa bulan lalu, kawannya mengabari bahwa TikTok punya fitur belanja online. Rupanya, istri kawan Niken itu sering berjualan langsung atau menggelar live selling di TikTok Shop. Penjual di media sosial ini bak pedagang pasar yang menjajakan barang kepada pembeli yang lewat di gerainya. Bedanya, mereka berinteraksi lewat gawai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain pembeliannya praktis, Niken mengungkapkan, harga produk kecantikan yang dijual dalam live selling di TikTok Shop biasanya lebih murah hingga Rp 20 ribu per barang. “Jadi rutin belanja di TikTok,” ujarnya. Sayangnya, sejak 4 Oktober lalu Niken terpaksa berhenti berbelanja di TikTok Shop. Sebab, pemerintah melarang operasi platform social commerce itu.
Ilustrasi live shopping di platform Shopee dan Tokopedia. Tempo/Ratih Purnama
Bukan hanya konsumen, pedagang juga gemar menggunakan TikTok Shop. Salah satunya Akbar Kurniawan, direktur PT Rumbaka Gung Triwikrama, perusahaan yang memasarkan suplemen kesehatan anak bermerek Gizidat. Sementara konsumen bisa mendapat harga diskon plus fasilitas bebas ongkos kirim, pedagang mendapat tawaran promosi dari TikTok. “Konsumen bisa mendapat barang dengan diskon 50 persen untuk volume tertentu," tutur Akbar pada Jumat, 8 Desember lalu.
Angka penjualan Gizidat, kata Akbar, naik berkali-kali lipat berkat diskon yang ditebar TikTok. Sepanjang Januari-September lalu, dia berhasil menjual 41 ribu botol Gizidat di TikTok Shop. Angka itu setara dengan 9 persen penjualan total Gizidat.
Untuk meraih capaian tersebut, Akbar dan timnya harus bekerja keras di TikTok. Selama sebulan pertama, mereka menggelar live selling 24 jam nonstop untuk mengamati waktu berjualan terbaik. “Setelah kami paham, live selling delapan jam saja sehari," ucapnya.
Kendati mendulang cuan, Akbar mengaku dongkol terhadap TikTok. Sebab, dia merasa platform media sosial asal Cina itu memonopoli data pengguna. Pedagang seperti Akbar tak pernah tahu seperti apa data pelanggannya, padahal dia memerlukannya untuk mengelola hubungan dengan konsumen.
Model bisnis TikTok sebetulnya tidak baru. Metode live selling dan live shopping, misalnya, sudah dilakukan Shopee sejak 2019. Tapi, menurut Akbar, live shopping di Shopee tidak "meledak" karena tak dibarengi diskon. Pemberian diskon ini diduga menjadi cara "bakar uang" TikTok untuk mensubsidi harga barang dan ongkos kirim sehingga pedagang seperti Akbar tetap berjualan dengan harga normal tapi bisa menarik pembeli lebih banyak.
Cara yang dilakukan TikTok Shop juga mengulang strategi platform e-commerce lain, dari Mataharimall, Shopee, Tokopedia, Blibli, Bukalapak, hingga Lazada. Bedanya, TikTok tak hanya membakar uang. Sebagai media sosial, TikTok ibarat etalase yang dilalui jutaan calon pembeli setiap waktu. Mereka tak lain adalah pengguna media sosial yang awalnya tak berniat berbelanja. Mereka sekadar mencari hiburan, menonton konten video, atau berinteraksi dengan pengguna lain. Namun, ketika ada live selling dan tawaran barang murah dari TikTok Shop, mereka tergiur.
Dengan model bisnis itu, TikTok berpeluang menggaet pembeli dari 106 juta pengguna mereka di Indonesia. Strategi itu menempatkan TikTok Shop dalam jajaran platform e-commerce terbesar di Asia Tenggara. Pertumbuhannya pun sangat pesat.
Pada 2022, menurut riset Momentum Works, nilai produk yang terjual atau gross merchandise value (GMV) TikTok Shop hanya 4,4 persen dari total GMV e-commerce di Asia Tenggara. Namun dalam riset berjudul “Off The Record: Indonesia After TikTok Shop Ban” yang dirilis pada November lalu, Momentum Works memperkirakan GMV TikTok Shop mencapai 13,9 persen, menggerus ceruk pasar Tokopedia, Lazada, dan Shopee.
Di Indonesia, TikTok Shop sudah melampaui pangsa pasar Blibli, sedikit di bawah Bukalapak serta Lazada, meski masih jauh di bawah Tokopedia dan Shopee. Saat TikTok Shop ditutup pemerintah pada Oktober lalu, riset Momentum Works menyebutkan TikTok telah mengirimkan 3 juta paket dengan GMV US$ 20 juta atau sekitar Rp 311 miliar per hari.
Tergerusnya ceruk pasar e-commerce lokal oleh TikTok Shop juga terekam dalam riset Cube Asia. Survei Cube Asia terhadap responden di Indonesia, Filipina, dan Thailand menyebutkan sebanyak 85 persen dari mereka mengurangi belanja di kanal lain setelah mengenal TikTok Shop. Penurunan pangsa pasar terjadi pada Shopee (51 persen), Lazada (45 persen), dan platform e-commerce lain, termasuk Tokopedia (45 persen) dan peretail konvensional (38 persen).
Menurut data Cube Asia, berkat ekspansi gila-gilaan, GMV TikTok Shop di Indonesia per kuartal pertama 2023 mencapai US$ 2,2 miliar atau Rp 34 triliun. Walaupun masih jauh di bawah Tokopedia dengan GMV Rp 121,485 triliun pada semester I 2023, penetrasi TikTok menjadi ancaman serius bagi pesaingnya.
Keberhasilan TikTok memanfaatkan pengguna media sosial bakal ditiru perusahaan digital lain. Pada akhir Oktober lalu, Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan Meta Platform Inc (induk usaha Facebook), Instagram, WhatsApp, dan Threads sudah mengajukan permohonan izin e-commerce di Indonesia.
Menurut Rifan, perusahaan itu memohon surat izin perwakilan perusahaan perdagangan asing bidang perdagangan melalui sistem elektronik. Yang jelas, Facebook dan Instagram telah menjalankan praktik live shopping seperti TikTok Shop. Di Amerika Serikat, Facebook dan Instagram juga berperan sebagai platform e-commerce. Pengguna Facebook dan Instagram bisa langsung bertransaksi tanpa harus keluar dari media sosial tersebut.
Kepada Tempo, Sabtu 9 Desember, Rifan mengatakan pada dasarnya pelaku usaha di bidang perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau e-commerce wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023. "Salah satunya ketentuan mengenai larangan bagi social commerce menyediakan fasilitas transaksi pembayaran," ujar dia. Rifan mengaku belum menerima informasi soal perusahaan media sosial lain yang akan mengoperasikan e-commerce.
Sedangkan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengungkapkan, pemerintah sedang menyusun aturan seperti Digital Service Act dan Digital Market Act Uni Eropa. Regulasi ini bakal mengatur lebih ketat tanggung jawab platform e-commerce, media sosial, dan lain-lain. Juga mengatur persaingan usaha yang sehat dalam ranah teknologi.
Salah satu isi aturan itu, kata Semuel, adalah melarang platform e-commerce mengunci layanannya hanya untuk ekosistem mereka sendiri. Misalnya, pedagang di Shopee tetap boleh beriklan atau menayangkan kontennya di TikTok. “Itu untuk menjaga persaingan sehat di ranah teknologi, jangan ada hambatan,” ucap Semuel pada Jumat, 8 Desember lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sengit Bersaing Si Keranjang Kuning".