Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
The Fed mungkin akan menurunkan suku bunga.
Arus modal asing kian deras masuk ke Indonesia.
Likuiditas perbankan mengering dan penyaluran kredit melambat.
AKHIRNYA “perdarahan” itu berhenti. Setelah berbulan-bulan pasrah menyaksikan pelarian modal asing, selama November lalu aliran dana itu berbalik arah, kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia. Cadangan devisa pun bertambah US$ 5 miliar hanya dalam tempo sebulan. Per akhir November 2023, posisinya menjadi US$ 138,1 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembalikan arah arus investasi dan sentimen positif pasar tak lepas dari prediksi pergerakan bunga rujukan The Federal Reserve. Pasar saat ini menebak suku bunga The Fed akan segera turun. Data mutakhir memang mendukung tebakan itu. Inflasi, yang menjadi sasaran utama The Fed, kian melunak. Tingkat inflasi tahunan Amerika Serikat turun dari 3,4 persen pada September menjadi 3 persen pada Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua The Fed Jerome Powell juga memberi sinyal bahwa kebijakan moneter ketat yang selama ini berjalan sudah cukup restriktif menahan inflasi. Dus, ekonomi Amerika akan mengalami perlambatan, soft landing, bukan jatuh terempas ke dalam resesi atau hard landing sebagaimana kekhawatiran pasar yang merebak pada Juli lalu.
Pasar pun segera mengambil posisi untuk mengantisipasi turunnya suku bunga. Harga aset-aset finansial yang secara umum bergerak berlawanan dengan pergerakan bunga, seperti saham, emas, dan mata uang kripto, dengan cepat melonjak. Kurs 1 Bitcoin bahkan sempat melampaui US$ 42 ribu, naik 7,4 persen hanya dalam sehari, Senin, 4 Desember lalu. Harga emas juga menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah, US$ 2.135 per ons troi, pada hari yang sama. Pasar finansial sedang menikmati optimisme yang meluap-luap.
Pasar Indonesia ikut terdorong sentimen ini karena penurunan bunga di Amerika Serikat membuat investasi di pasar finansial negara berkembang lebih menarik. Sepanjang November lalu, sebanyak Rp 23,5 triliun modal asing masuk ke pasar obligasi pemerintah. Tren ini tampak terus berlanjut pada pekan pertama Desember. Selain obligasi pemerintah, dua instrumen baru yang diterbitkan Bank Indonesia, yaitu Sekuritas Rupiah BI (SRBI) dan Sekuritas Valas BI (SVBI), berperan menarik dana asing.
Meskipun demikian, sebagai catatan kaki, kita tetap harus mencermati bahwa SRBI sebetulnya menyedot likuiditas rupiah di dalam negeri jauh lebih besar, yaitu lebih dari 80 persen dari total likuiditas. Sedangkan dana asing yang masuk ke sini di bawah 20 persen. Sejak penerbitannya pada 15 September 2023 hingga pekan lalu, Bank Indonesia sudah menyedot likuiditas Rp 197 triliun melalui SRBI.
Secara rerata tertimbang untuk semua tenor, imbal hasil SRBI mencapai 6,64 persen. Jelas ini alternatif investasi yang sangat menggiurkan bagi bank lokal. SRBI bebas risiko dan imbal hasilnya amat menguntungkan. Tak mengherankan jika pertumbuhan kredit perbankan belakangan ini melambat karena likuiditas mengering tersedot SRBI.
Selama Januari-Oktober 2023, tingkat pertumbuhan kredit perbankan hanya 7,46 persen, sementara pada periode yang sama tahun lalu masih ada pertumbuhan hingga 9,79 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini hingga awal tahun depan besar kemungkinan melambat.
Pertumbuhan kredit, sebagai salah satu penggerak ekonomi, dapat kita pakai sebagai petunjuk awal arah pertumbuhan ekonomi. Jika salah satu pendorongnya melemah, tentu pertumbuhan ekonomi akan melambat. Belum lagi faktor melemahnya harga komoditas di pasar global yang membuat surplus perdagangan menyurut.
Pasar agaknya sudah memperhitungkan semua faktor itu. Hal tersebut tecermin pada kurs rupiah yang akhir-akhir ini stabil di kisaran 15.500 per dolar Amerika Serikat. Meski ada tambahan cadangan devisa hingga US$ 5 miliar dalam sebulan, rupiah tidak menguat signifikan, tidak kembali ke kurs pada awal Mei lalu yang mencapai 14.665 per dolar Amerika.
Sepertinya, dalam beberapa pekan ke depan, kisaran kurs 15.500 akan menjadi titik ekuilibrium baru rupiah. Pasar finansial Indonesia memang sempat menikmati cipratan modal asing akibat euforia ekonomi dunia. Namun investor juga menghitung risiko dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi yang akan segera tiba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Euforia di Tengah Risiko Perlambatan"