Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Eddie Widiono Suwondho: ?Sulit Menarik Investor Jika Tarif Tidak Naik?

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebutuhan listrik di Indonesia bakal naik hampir dua kali lipat dalam sepuluh tahun ke depan. Pada tahun 2012 itu, Indonesia harus memiliki daya listrik sekitar 54,5 ribu megawatt (MW), sedangkan saat ini masih sekitar 31 ribu MW. Daya listrik sebesar itu diperlukan karena konsumsi listrik per kapita akan naik dari 429 kilowatt hour (kWh) pada saat ini menjadi 680 kWh pada tahun 2013. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dana yang diperlukan mencapai US$ 30 miliar atau hampir Rp 260 triliun.

Bagi pemerintah, yang lebih banyak sibuk mengurus bank-bank bermasalah, jumlah investasi sebesar itu jelas tergolong sangat besar. Kondisi PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) sendiri juga belum sehat betul. Sampai tahun 2002, PLN masih merugi Rp 6,5 triliun. Untuk mengetahui strategi PLN membangun pembangkit dan jaringan baru, wartawan TEMPO M. Syakur Usman mewawancarai Direktur Utama PLN, Eddie Widiono Suwondho.

Bagaimana proyeksi keuangan PLN tahun ini?

Tahun ini kami menargetkan bisa memperoleh laba operasi. Hal itu dapat kita raih tanpa menaikkan tarif dasar listrik. Tapi, kondisi ini akan mengorbankan PLN dan konsumen karena PLN tidak bisa melayani semua permintaan sambungan listrik. Kalaupun ekspansi, itu hanya bisa dilakukan secara terbatas, dan kami jelas tidak mungkin memenuhi kebutuhan dana ekspansi yang diperkirakan mencapai US$ 30 miliar. Kami memperkirakan hanya mampu menyediakan US$ 9 miliar. Sisanya akan dipenuhi pemerintah (US$ 4 miliar) dan swasta (US$ 17 miliar).

Mungkinkah itu dilakukan tanpa kenaikan tarif?

Kalau tarif tidak naik, PLN akan sulit menyediakan yang US$ 9 miliar itu. Paling banter, kita cuma bisa mendapatkan US$ 5 miliar-6 miliar. Kami juga tidak yakin swasta akan masuk jika tarif tetap seperti sekarang. Pasti sulit menarik swasta masuk tanpa menaikkan tarif.

Menurut PLN, berapa tarif yang layak?

Perhitungan balik modal kami pada 2003 berkisar Rp 620 per kWh, sedangkan saat ini rata-rata baru Rp 587. Itu dengan biaya bahan bakar mencapai Rp 15 triliun, sementara perkiraan kami biaya bahan bakar akan naik menjadi Rp 20 triliun pada tahun ini. Kalau itu terjadi, otomatis angka balik modal PLN akan di atas Rp 620.

Dan karena sejumlah proyek baru belum selesai, seperti PLTU Cilacap, yang bisa kita lakukan untuk menekan biaya produksi hanyalah mengurangi losses. Saat ini losses kita masih 15-16 persen, sebagian besar karena persoalan teknis (9-10 persen). Tahun ini, kita menargetkan bisa mengurangi sampai di bawah 12 persen. Pengurangan empat persen ini setara dengan Rp 2 triliun.

Caranya?

Losses teknis akan kita kurangi dengan investasi jaringan. Yang nonteknis kita turunkan dengan menggunakan peralatan dan sistem pelanggan yang dapat mengontrol pendapatan riil PLN. Kami juga memperbaiki sistem pencatatan meter. Lalu penegakan hukum bagi yang tidak bayar listrik. Sekarang tidak ada lagi tawar-menawar. Tidak bayar, kita putusin aliran listriknya.

Bagaimana menarik swasta jika tarif tetap seperti sekarang?

Kami mencoba skema baru. Salah satunya di PLTU Cilacap, yang memiliki kapasitas 2 x 300 MW. Kita membentuk perusahaan patungan dengan swasta. PLN masuk melalui PT Pembangkitan Jawa-Bali dengan saham 49 persen. Kita terpaksa masuk dengan kemungkinan akan ikut menanggung risiko yang bakal timbul karena sebelumnya tak ada swasta yang mau masuk ke sana tanpa keterlibatan PLN. Kini, proyeknya sedang jalan. Nantinya, kalau PLN perlu dana, saham PLN di perusahaan itu bisa didivestasi.

Lebih dari itu, PLN juga mengambil langkah berani, termasuk mencoba menukar kepastian dengan harga terbaik. Dalam kasus PLTGU Cilegon berkapasitas 740 MW, kami menunjuk langsung Mitsubishi. PLN memberikan kepastian kepada mereka, tetapi dengan syarat proyek ini selesai bulan dan tahun sekian. Saya juga minta harga terbaik. Harga di Mitsubishi harga terbaik yang dicapai, yakni US$ 433 per kW. Harga ini akan jadi acuan.

Bagaimana dengan penerbitan obligasi?

Rencana penerbitan obligasi masih digodok terus karena ini bisa menjadi sumber pendanaan PLN. Waktu itu kami boleh menerbitkan obligasi senilai Rp 900 miliar dari rencana sebesar Rp 1,5 triliun. Ternyata menerbitkan obligasi tidak hanya soal bagaimana melihat pasar, tapi juga perlu persiapan internal untuk pemanfaatan dan proses perizinannya. Mungkin realisasinya bisa tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus