Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Instrumen Derivatif Baru
Ada berita baik bagi mereka yang doyan memutar uang di bursa. Bursa Efek Surabaya pekan lalu resmi memperdagangkan kontrak berjangka indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan Dow Jones Japan Titans 100.
Indeks DJIA merupakan indeks yang mengukur pergerakan harga 30 saham unggulan yang tercatat dan diperdagangkan di bursa efek New York dan NASDAQ. Adapun indeks Japan Titan 100 mencakup saham di bursa efek Tokyo yang berkapitalisasi besar dan paling sering ditransaksikan.
Seperti lazimnya perdagangan kontrak, perdagangan indeks DJIA dan DJ Japan Titan dilakukan dengan sistem margin. Investor tidak perlu membayar penuh nilai kontrak yang dibeli, tapi cukup menyetor sejumlah dana sebagai margin awal. Secara harian, margin akan disesuaikan dengan pasar (marked-to-market), sesuai dengan jumlah kontrak dan harga di pasar. Bila setelah disesuaikan terdapat kekurangan dana, investor wajib menyetor selisihnya. Jika yang terjadi sebaliknya, investor dapat mencairkan dananya pada keesokan hari.
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Herwidayatmo menyambut kian maraknya pasar derivatif. Ia menyebut instrumen derivatif cocok sebagai alat lindung (hedging) nilai transaksi tunai. Tetapi, katanya, sebagaimana produk investasi lain, kedua kontrak ini juga mengandung risiko. ”Kalau mau bermain, pemodal harus berhati-hati,” ujar Herwidayatmo.
Investasi Asing Masih Rendah
Ini satu lagi bukti tentang masih rendahnya daya tarik Indonesia di mata investor. Sepanjang tahun lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi asing sebesar US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 44,7 triliun. Meskipun lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya US$ 3 miliar, angka investasi yang terealisasi pada 2003 masih jauh di bawah angka investasi asing yang disetujui pemerintah. Pada tahun itu, aplikasi investasi asing yang disetujui mencapai US$ 13,6 miliar.
Kendati realisasinya rendah, Kepala BKPM Theo F. Toemion yakin dapat menggenjot investasi pada tahun ini hingga US$ 72 miliar. Investasi sebesar itu diperlukan agar Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen. ”Target itu bisa dibilang rendah,” kata Theo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Industri dan Investasi DPR, Kamis pekan lalu. Dengan catatan, katanya, proses pemilihan umum selesai dengan aman dan pemerintah juga perlu mengurangi daftar negatif investasi seperti pada sektor telekomunikasi, media cetak, dan pengeboran di darat.
Merger CIC, Pikko, dan Danpac
Jumlah bank di Indonesia akan kembali menyusut. Pekan lalu, tiga bank swasta nasional mengumumkan kesepakatan penggabungan usaha. Mereka adalah Bank CIC, Bank Danpac, dan Bank Pikko. Sebelum diumumkan secara resmi, rencana penggabungan ketiga bank ini sudah lama beredar.
Direktur Utama Bank CIC, Hamidy, yakin bahwa penggabungan ketiga bank tersebut akan menghasilkan bank nasional yang tangguh dengan modal di atas ketentuan Arsi-tektur Perbankan Indonesia (API). Dalam beleid API, bank yang beroperasi secara nasional harus memiliki modal di atas Rp 10 triliun. Dukungan atas merger juga meluncur dari Direktur Utama Bank Danpac Hermanus Hasan Muslim. Ia menyebut waktu pelaksanaan merger ketiga bank tepat karena dilakukan saat ketiga bank sehat dan memiliki rasio kecukupan modal di atas 8 persen.
Hamidy dan Hermanus yakin, penggabungan usaha akan menyulut sinergi yang unik karena masing-masing memiliki kompetensi bisnis yang berbeda. ”Seperti CIC yang merupakan satu-satunya bank di Indonesia yang melayani transaksi penjualan dan pembelian 26 valuta asing,” kata Hamidy. Sedangkan Bank Pikko, seperti diakui oleh Hermanus, memiliki pasar yang kuat di wilayah Sumatera. Adapun kelebihan Danpac adalah pengalaman di retail dan corporate banking.
Bank CIC memiliki aset Rp 6,5 triliun dan CAR 15,95 persen berdasarkan laporan audit tahun lalu. Aset Bank Danpac pada saat yang sama tercatat Rp 1,15 triliun dengan CAR 25,33 persen. Sedangkan Bank Pikko diketahui memiliki aset Rp 1,4 triliun dan CAR 8,4 persen pada akhir 2003.
Merger BNI dan Permata
Rencana merger Bank BNI dengan Bank Permata kemungkinan tak akan bisa segera direalisasi. Sampai pekan lalu, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi masih belum memberikan lampu hijau terhadap rencana tersebut. Padahal persetujuan pemerintah sangat penting karena kedua bank ini sama-sama dikuasai pemerintah. Sejauh ini, baru Bank Indonesia yang sudah mengisyaratkan bakal menyetujui rencana tersebut. Kamis pekan lalu, BNI dan Bank Indonesia membahas soal tersebut.
Direktur Utama BNI Sigit Pramono mengajukan proposal merger BNI-Permata kepada Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Anwar Nasution, Kamis dua pekan lalu. Tanggapan resmi belum diberikan oleh Bank Permata. Namun Direktur Utama Bank Permata Agus Martowardojo mengaku gembira jika banknya dipinang BNI. ”Seperti seorang gadis, kami tentu senang dipinang oleh pemuda bangsa sendiri yang besar, kaya, dan nasionalis,” katanya. Jika rencana itu jadi kenyataan, merger kedua bank itu akan menghasilkan aset Rp 161,9 triliun.
BPPN Tutup Buku
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) akhirnya harus menutup bukunya. Jumat pekan lalu pemerintah secara resmi mengakhiri tugas BPPN. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang ditinggalkan lembaga yang didirikan enam tahun silam itu. Salah satunya menyangkut penyelesaian utang para pemilik bank yang ditutup pemerintah. Dari 40 penanda tangan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), baru 24 pemegang saham yang sudah melunasi utangnya. Delapan lagi belum selesai, dan delapan sisanya akan diajukan ke kepolisian karena tidak kooperatif.
Penyelesaian utang delapan debitor yang belum kelar itu akan dilanjutkan oleh Tim Pemberesan. ”Kita harapkan pengembalian kewajibannya bisa maksimal,” kata Syafruddin Temenggung dalam acara penutupan BPPN. Syafruddin juga menjelaskan bahwa BPPN berhasil menyelesaikan likuidasi 52 bank beku operasi dan bank beku kegiatan usaha. Dari penjualan aset ke-52 bank itu, BPPN berhasil meraih dana Rp 31,7 triliun. Sementara itu, sejak diperpanjang dua bulan itu, BPPN juga berhasil menyelesaikan 566 transaksi senilai Rp 5,59 triliun. Jadi, transaksi yang tersisa tinggal tujuh senilai Rp 1,15 triliun.
Orang Miskin Versi ILO
Jumlah orang miskin di Indonesia ternyata masih sangat tinggi. Hasil penelitian dan kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut bahwa jumlah orang miskin di Indonesia masih sekitar 110 juta jiwa atau hampir 50 persen dari total penduduk Indonesia. ”Angka ini berbeda jauh dengan yang dilansir Badan Pusat Statistik, yang hanya 37,3 juta jiwa,” kata Manajer Penanggulangan Kemiskinan ILO, Tauvik Muhamad, kepada Muhamad Nafi dari Tempo News Room di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Perbedaan yang sangat mencolok ini terjadi karena perbedaan parameter. Organisasi buruh itu menggunakan standar pengeluaran (belanja) US$ 2 per orang per hari atau sekitar Rp 17 ribu. Di pihak lain, Badan Pusat Statistik memakai parameter pengeluaran 2.100 kalori per orang per hari atau sekitar US$ 1,7. Terlepas dari perbedaan itu, kata Tauvik, yang jauh lebih penting adalah strategi mengurangi penduduk miskin.
Di tempat sama, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengaku pemerintah sudah menyiapkan dana mencapai Rp 18 triliun untuk menekan angka kemiskinan di Tanah Air. Salah satu strateginya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi langsung. ”Pertumbuhan ekonomi harus 7 persen per tahun untuk menekan angka kemiskinan. Selain itu, inflasi juga harus diturunkan. Kasihan rakyat kalau mendapat nafkah tetapi harga-harga mengejar mereka,” katanya.
Divestasi Freeport Indonesia
Program divestasi saham PT Freeport Indonesia kepada pihak Indonesia masih melekat. Masalah ini muncul setelah PT Freeport minta persetujuan pemerintah atas rencana mergernya dengan PT Indocopper Investama. Perusahaan yang terakhir ini memiliki 9,36 persen saham Freeport Indonesia.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, rencana merger PT Freeport dengan PT Indocopper sebenarnya menimbulkan dilema bagi pemerintah. Sebab, pengalihan saham tidak dilakukan ke perusahaan domestik, tapi kepada pihak asing. ”Prinsip divestasi yang kami inginkan adalah pengalihan kepemilikan asing ke pemilikan nasional,” kata Purnomo, Selasa pekan lalu.
Karena itu pemerintah sedang meneliti apakah merger itu akan sejalan dengan keinginan divestasi tersebut. Sejak Januari tahun lalu, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu meminta persetujuan Departemen Energi. Jika merger disetujui, pemegang saham Freeport Indonesia hanya dua, yakni Freeport McMoran sebesar 90,64 persen dan pemerintah Indonesia 9,36 persen.
PT Freeport Indonesia sendiri menolak melanjutkan program divestasinya. Alasannya, dalam satu klausul kontrak karyanya disebutkan bahwa PT Freeport memiliki hak memilih peraturan yang menguntungkan dirinya. Peraturan yang menguntungkan itu adalah PP No. 20/1994, yang membolehkan partisipasi asing hingga 100 persen dalam investasinya di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo