Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyediaan listrik di Indonesia tak ubahnya balapan tanpa garis finis. Kenaikan permintaan listrik tak pernah bisa diimbangi oleh penyediaan daya listrik. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah dan PT PLN bisa dibilang selalu gagal menyediakan pasokan listrik yang memadai. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 menyebabkan kemampuan pemerintah dan PLN dalam menggalang dana menyusut drastis. Di luar itu, masih ada persoalan sengketa listrik antara pemerintah Indonesia dan investor listrik swasta, yang membuat para penyandang dana memilih menunggu.
Tak mengherankan jika sistem kelistrikan di Indonesia tidak bisa lagi diandalkan. Pada awal Desember tahun lalu, misalnya, sebagian besar aliran listrik di Jakarta dan sekitarnya padam dua malam gara-gara dua pembangkit utama PLN di Suralaya (Jawa Barat) dan Paiton (Jawa Timur) rusak. Sebelumnya, pada Mei 2003, listrik juga padam akibat kerusakan jaringan. Di luar Jawa dan Bali, pasokan listrik malah jauh lebih parah. Di sejumlah daerah, listrik lebih banyak padam (baca boks: Luar Jawa Masih Tertinggal).
Semua itu tak terlalu mengagetkan. Kapasitas daya listrik di Jawa-Bali saat ini hanyalah 18 ribu megawatt. Sejak tahun 1998, tak ada tambahan pasokan listrik baru. Adapun beban puncak listrik saat ini sudah di atas 14 ribu megawatt, dengan cadangan sering di bawah 25 persen. Padahal, untuk amannya, setiap operasi listrik paling tidak menyediakan cadangan sekitar 30 persen atau di Jawa-Bali setara dengan 5.000 megawatt.
Perusahaan Listrik Negara memperkirakan volume konsumsi akan mencapai puncaknya pada 2006. Pada saat itu, konsumsi listrik diramalkan akan melewati angka 18 ribu megawatt. PLN memang sedang membangun sejumlah pembangkit baru dan juga jaringan listrik Jawa bagian selatan. Pembangkit baru yang sedang dibangun antara lain PLTU Cilacap (600 megawatt), PLTU Tanjung Jati B (1.200 megawatt), dan PLTGU Muara Tawar (840 megawatt). ?Tahun ini sudah ada yang masuk ke sistem Jawa-Bali,? kata Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Yogo Pratomo.
Jika semua proyek ini selesai, sistem kelistrikan Jawa-Bali tak akan punya masalah. Cuma, posisi aman itu ternyata cuma sampai tahun 2006 itu. Setelah itu, konsumen listrik di Jawa-Bali mesti bersiap menghadapi giliran pemadaman. Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dibikin pemerintah pada pertengahan April lalu, disebutkan bahwa sistem Jawa-Bali membutuhkan tambahan daya baru 1.200 megawatt pada 2008. Dan karena pembangunan sebuah pembangkit rata-rata membutuhkan waktu empat tahun, mestinya proyek itu sudah mulai dikerjakan tahun ini.
Untuk menyediakan tambahan daya 1.200 megawatt itu, paling tidak dibutuhkan US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 10 triliun. Ini belum memperhitungkan investasi sistem luar Jawa. Total jenderal, sampai tahun 2008, pemerintah dan PLN harus menyiapkan US$ 30 miliar (Rp 258 triliun) untuk membangun pembangkit dan jaringan transmisi dan distribusi. Repotnya, keuangan PLN saat ini masih berat. Pada 2002, PLN merugi Rp 6,5 triliun, dan tahun lalu, kerugiannya diperkirakan menurun jadi Rp 1,4 triliun. Pemerintah pun sedang kerepotan mencari duit untuk APBN.
Tiga lembaga keuangan internasional agaknya membaca kesulitan Indonesia. Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menawarkan diri menjadi mediator dengan para investor. Pemerintah dan ketiga lembaga itu kemudian menetapkan Tokyo, Frankfurt, dan New York sebagai tempat pertemuan dengan para investor. Pada awal April lalu, 60-an investor Jepang berkumpul di Tokyo. Mereka antara lain Mitsubishi, Mitsui, Tokyo Power Co., Bank of Tokyo, dan Hitachi.
Kendati sudah ada makcomblang yang kredibel, toh para investor tetap meminta pemerintah Indonesia memberikan jaminan usaha (government support), kepastian hukum, serta kemudahan perizinan dan pembebasan lahan. Agaknya, keputusan pemerintah menghentikan 27 proyek listrik swasta karena krisis masih membekas di ingatan investor. Tapi Yogo mengatakan bahwa pemerintah tak mungkin memberikan jaminan tersebut. Meskipun demikian, Yogo yakin investor Jepang tetap akan masuk ke Indonesia karena permintaan listrik memang sangat tinggi. Setiap tahun paling tidak ada tambahan permintaan sampai 3.000 megawatt.
Selain itu, pemerintah juga memberikan janji bahwa setelah tarif listrik mencapai nilai keekonomiannya (sekitar US$ 7 sen per kWh), pemerintah akan menerapkan mekanisme sistem tarif otomatis (automatic tariff adjustment mechanism). Pada saat itu, tarif akan berubah-ubah tergantung komponen kurs, biaya bahan bakar, dan inflasi, dan tidak lagi ditetapkan pemerintah seperti sekarang. Selain itu, pemerintah juga akan menerbitkan keputusan presiden tentang persetujuan investasi listrik swasta. ?Nanti persetujuan tidak lagi melalui Bappenas, tapi cukup lewat Departemen Energi,? kata Yogo.
Bagusnya lagi, menurut Yogo, Bank Dunia berjanji menutup political risk kepada investor. Prinsipnya, Bank Dunia akan membantu investor jika ada perubahan kebijakan, seperti pergantian pemerintahan. Adapun pada akhir bulan ini, pemerintah akan bertemu dengan investor Jerman di Frankfurt dan dilanjutkan ke London serta New York. Dari road show ini, menurut Yogo, pemerintah menargetkan bisa memperoleh US$ 10 miliar dari investor Jepang, serta US$ 10 miliar lagi dari investor Eropa dan Amerika. Sisanya yang US$ 10 miliar (Rp 86 triliun) akan ditutup dengan dana dalam negeri.
PLN sendiri masih kebingungan untuk menyediakan sisa dana yang dibutuhkan. Namun, Direktur Utama PLN, Eddie Widiono, memberikan ancar-ancar bahwa PLN akan memanfaatkan biaya depresiasi tahun ini yang berjumlah Rp 12 triliun untuk investasi. Sumber lainnya kemungkinan akan datang dari bank, atau obligasi yang diterbitkan PLN. Pemerintah dan PLN memang harus bergegas. Jika tidak, Indonesia tak akan pernah sampai ke garis finis. Dan akibatnya, Indonesia akan makin sulit menarik investasi, dan soal ini bakal jadi lingkaran setan.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo