Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengabarkan cukai rokok tahun depan tidak naik.
Project Lead for Tobacco Control Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Beladenta Amalia mengatakan kenaikan cukai rokok krusial untuk menekan konsumsi rokok di dalam negeri.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengingatkan risiko kenaikan ongkos kesehatan sebagai buntut penundaan kenaikan cukai hasil tembakau.
BELADENTA Amalia terkejut mendengar pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani pada awal pekan ini. Dalam konferensi pers pada Senin, 23 September 2024, Askolani mengabarkan penundaan kenaikan cukai rokok yang seharusnya diberlakukan tahun depan. "Posisi pemerintah untuk kebijakan cukai hasil tembakau 2025 belum akan dilaksanakan," tuturnya.
Pada 10 September 2024, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR mengusulkan kenaikan cukai rokok sebesar 5 persen pada 2025 dan 2026. Usul tersebut lebih rendah daripada kenaikan pada 2023 dan 2024 yang rata-rata mencapai 10 persen. Namun Kementerian Keuangan memutuskan cukai rokok tahun depan tidak naik.
Padahal kenaikan cukai rokok ini sangat dinanti. Beladenta, yang merupakan Project Lead for Tobacco Control Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), mengatakan kebijakan tersebut krusial untuk menekan konsumsi rokok di dalam negeri. "Cukai ini instrumen paling efektif untuk membuat rokok tidak terjangkau, terutama untuk kelompok rentan," katanya kepada Tempo, kemarin, 25 September 2024. Anak sekolah serta keluarga prasejahtera masuk dalam kelompok tersebut.
Kementerian Kesehatan melalui laporan mereka dalam Global Adult Tobacco Survey 2021 mencatat jumlah perokok dewasa naik 8,8 juta orang dalam periode 2011-2021. Jumlahnya naik dari 60,3 juta orang menjadi 69,1 juta orang. Lewat Survei Kesehatan Indonesia 2023, pemerintah menyatakan jumlah perokok aktif bertambah menjadi 70 juta orang.
Pertumbuhan ini terlihat meski cukai hasil tembakau berulang kali naik selama periode tersebut. Meski cukai sudah dibuat lebih mahal, permintaan terhadap rokok masih tumbuh lantaran sifatnya yang adiktif. Apalagi, jika cukai tak berubah.
Menurut Beladenta, pemicunya beragam. Salah satunya, ada celah dari banyaknya lapisan tarif cukai rokok. Pemerintah sudah memangkas banyak layer, dari total 19 tingkat pada 2009 hingga sekarang tersisa delapan. Namun CISDI menilai idealnya 3-5 golongan tarif saja yang perlu diatur. Terlalu banyak golongan membuka kesempatan bagi pelaku usaha memproduksi rokok murah yang mudah diakses masyarakat.
Perokok-di-Tanah-Air
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim, mengatakan kenaikan tarif cukai yang bisa membuat harga rokok lebih mahal ini diperlukan di Indonesia. "Jumlah perokok terbesar berasal di masyarakat kelas menengah bawah," kata dia. Saat cukai rokok tak naik, sulit menekan konsumsinya. Apalagi kebijakan larangan menjual rokok secara eceran belum berjalan optimal.
Itu sebabnya, Ifdhal berharap pemerintah tak menunda kenaikan cukai hasil tembakau tahun depan. Dia mendengar kekhawatiran munculnya rokok ilegal akibat kenaikan harga rokok. Namun, bagi dia, isu tersebut seharusnya tak jadi penghalang. "Kehadiran rokok ilegal kan berarti instrumen hukumnya tidak berjalan optimal," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyebutkan pembatalan kenaikan cukai rokok tahun depan menunjukkan bahwa pemerintah gamang memilih kesehatan masyarakat atau penerimaan cukai tembakau. "Pasca-kenaikan harga rokok tahun ini, terlihat tanda-tanda yang jelas adanya penurunan produksi rokok yang diikuti dengan turunnya penerimaan cukai tembakau," ujarnya.
Tentu saja, untuk menekan jumlah perokok, pemerintah tidak bisa hanya bergantung pada penerapan cukai. Yusuf mengatakan harus ada upaya rekayasa sosial untuk menghentikan kebiasaan merokok masyarakat. Dia mencatat sifat adiktif rokok bahkan bisa membuat suatu keluarga—penerima bantuan sosial—mengorbankan belanja bahan pangan untuk membeli rokok. "Harus dimulai segera adopsi yang tegas atas kebijakan larangan perokok sebagai penerima bansos, sebagaimana pelaku judi online tidak boleh menerima bansos."
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengingatkan risiko kenaikan ongkos kesehatan sebagai buntut penundaan kenaikan cukai hasil tembakau. "Dengan tidak naiknya cukai rokok tahun depan, upaya menurunkan permintaan rokok dan perokok menjadi terhambat," kata dia. Artinya, angka kasus penyakit katastrofik akibat rokok, seperti serangan jantung dan stroke, berpotensi makin bertambah.
Timboel mengatakan ongkos kesehatan bakal naik lebih cepat. "Dan karena 90 persen masyarakat kita sudah menggunakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), biaya pelayanan JKN akan makin meningkat lagi, khususnya penyakit akibat rokok."
Pemerintah belum menerbitkan payung hukum yang menegaskan penundaan kenaikan tarif cukai rokok. Dalam keterangan persnya, Askolani menyebutkan salah satu pertimbangan menahan kenaikan cukai hasil tembakau. "Kebijakan cukai hasil tembakau 2025 ini bisa mempertimbangkan down trading, yaitu dari perbedaan antara rokok golongan I dan golongan III," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Oyuk Ivani S berkontribusi dalam penulisan artikel ini