Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Efisien Dulu, Utang Kemudian

Permintaan utang baru terus diajukan. DPR menganggap target pemerintah tak menginjak bumi.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan karena tak tahu terima kasih jika Purwadi kurang suka dengan bantuan rekonstruksi bagi korban gempa yang dijanjikan pemerintah. Warga Minomartani, Sleman, Yogyakarta, ini sangat prihatin dengan dahsyatnya kehancuran akibat bencana pada Sabtu pagi tiga pekan lalu itu.

Tapi, katanya, ”Bantuan yang membabi buta justru akan merusak jauh lebih parah,” kata doktor filsafat Universitas Gadjah Mada, yang kini mengelola Institut Budaya Jawa ini. Bersama 25 relawan kampusnya, Purwadi mencoba mendorong beberapa korban di wilayah Sewon dan Salam di Jetis, Kabupaten Bantul, untuk bangkit lebih cepat dengan apa yang tersisa: reruntuhan rumah dan semangat gotong-royong yang masih kukuh.

Hasilnya lumayan. Dalam tempo sepekan, tiga rumah berdiri hanya dengan modal tambahan masing-masing Rp 2 juta saja. ”Sudah cukup asri dan nyaman,” katanya tentang rumah-rumah yang dibangunnya.

Yang lebih penting, kata Purwadi, kepercayaan diri korban ikut bangkit. Mentalitas mereka juga tak ikut remuk dan mereka juga tidak menjadi sangat tergantung pada pihak lain. ”Jangan bikin mereka jadi pengemis.” Dengan begitu mereka akan lebih cepat mandiri dan kembali hidup normal.

Pendekatan dan cara berpikir Purwadi boleh jadi benar. Tapi pemerintah punya hitungan sendiri. Dengan perkiraan kerusakan dan kerugian mencapai Rp 29,2 triliun, yang kini diperlukan adalah menyediakan dana sebanyak mungkin. Dengan begitu, pemerintah bisa mengembalikan keadaan seperti semula, secara massal, dan cepat.

Hampir 360 ribu rumah dinyatakan rusak. Pemerintah berjanji menyediakan bantuan Rp 10–30 juta untuk setiap unit. Ditambah biaya perbaikan sektor-sektor lainnya, ditetapkanlah angka Rp 11,7 triliun sebagai anggaran rekonstruksi pascagempa di Provinsi Yogyakarta dan Kabupaten Klaten. Jumlah itu 40 persen dari total kerusakan dan kerugian yang timbul.

Tentu saja, bukan soal mudah mendapatkan dana yang tak sedikit ini. Apalagi bencana ini datang di tengah-tengah tahun anggaran 2006. Sebagian bisa disiasati dengan menggeser alokasi belanja yang ada. Tapi itu saja ternyata tak cukup. Jalan keluar klasik pun diambil, yakni mencari tambahan utang.

Caranya dengan menerbitkan obligasi, atau memintanya dari negara lain dan lembaga keuangan multilateral. Rabu pekan lalu, upaya itu dilakukan dalam sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) di Jakarta.

Langkah ini boleh jadi bertentangan dengan niat pemerintah sendiri untuk mengurangi stok utang. Seharusnya pemerintah menurunkan proporsi utang, dari 53,9 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2004 menjadi 31,8 persen pada 2009.

Total utang Indonesia saat ini mencapai US$ 134,74 miliar, yang terdiri atas utang luar negeri US$ 66,1 miliar, dan utang dalam negeri US$ 66,7 miliar. Persentase utang tersebut terhadap PDB masih sekitar 45 persen. Jadi, masih jauh dari target.

Namun, pilihan pemerintah agaknya tidak banyak. Jika akhirnya utang tetap menjadi pengganjal anggaran seperti tahun-tahun sebelumnya, itu tidak terlalu mengejutkan. Apalagi, seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, defisit anggaran pada tahun ini diperkirakan membengkak dari 0,7 persen PDB (Rp 21,8 triliun) menjadi 1,5 persen (Rp 45,6 triliun).

Pembengkakan itu selain karena bencana, juga karena meningkatnya belanja pemerintah. Kenaikan itu antara lain karena bertambahnya subsidi listrik setelah pemerintah membatalkan kenaikan tarif, meningkatnya jatah untuk subsidi langsung tunai sebagai kompensasi kenaikan harga BBM Oktober lalu, naiknya subsidi pupuk, dan tambahan dana otonomi khusus Papua dan Aceh.

Tambahan belanja itu sebagian memang bisa ditutup dengan menaikkan pendapatan negara. Tapi, tetap saja jumlahnya kurang. Pemerintah menghitung, kekurangannya mencapai US$ 3,9 miliar atau Rp 38,6 triliun (dengan asumsi kurs APBN 2006 sebesar Rp 9.900 per dolar). ”Jumlah itu harus dicarikan sumbernya,” kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta. ”Kebutuhan fiskal itu yang dipresentasikan pemerintah di depan CGI.”

Sayangnya, banyak hal yang sebetulnya bisa dipersoalkan sebelum Indonesia mengajukan utang ke CGI. Salah satunya adalah soal tepat tidaknya sebuah proyek dibiayai dengan utang. Menurut Sekretaris Menteri Negara Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Bappenas, Syahrial Loetan, tak sedikit proposal proyek dibuat asal-asalan.

Banyak departemen, lembaga negara, perusahaan negara (BUMN), atau pemerintah daerah yang minta pembiayaan dari utang luar negeri tanpa persiapan memadai. Akibatnya, kalaupun proyek disetujui, belum tentu departemen atau lembaga itu sanggup menyerap dana yang sudah dianggarkan.

Contohnya, dari komitmen yang disetujui negara dan lembaga kreditor sebesar US$ 14 miliar lebih, saat ini yang terserap menjadi proyek baru sekitar US$ 8 miliar saja. ”Repotnya, kita tetap harus membayar biaya komitmen pada kreditor,” kata Syahrial. Besarnya 0,75 persen dari komitmen tiap tahun. ”Jelas kita rugi.”

Karena itu, saat ini Bappenas tengah melakukan evaluasi ulang atas proyek-proyek tersebut. Yang dianggap tak mampu dan prospeknya diragukan akan dibatalkan. ”Tapi biasanya tahun depannya mereka akan mengajukannya lagi,” Syahrial mengeluhkan betapa sulitnya meredam nafsu berorientasi proyek di banyak lembaga dan departemen kita.

Gambaran tentang besarnya nafsu berutang itulah yang terpapar dalam bluebook. Buku berwarna biru berisi daftar proyek yang memerlukan pembiayaan luar negeri. Buku itu disusun Bappenas setelah menyortir proposal yang diajukan berbagai lembaga tadi. Biasanya buku ini dijadikan patokan oleh kreditor dalam memberikan komitmen utang.

Paskah Suzetta pernah bercerita, proses penyusunan buku proyek itu selalu menjadi masa-masa paling riuh rendah di kantornya. Para utusan lembaga dan departemen itu betah menunggu sampai malam, kadang berhari-hari, agar proyeknya masuk bluebook. ”Tapi giliran bikin laporan, susahnya setengah mati,” katanya.

Tahun ini ada 84 proyek yang membutuhkan dana US$ 7,3 miliar, termasuk di dalamnya 47 proyek bantuan teknis senilai US$ 150,2 ribu melalui hibah. Dari jumlah itu tak semuanya dimintakan ke CGI karena sebagian dibiayai dengan dana sendiri. Rabu pekan lalu, dalam sidang di Bank Indonesia, CGI menyetujui seluruh kebutuhan pembiayaan yang diajukan pemerintah.

Ditambah dengan US$ 1,5 miliar lagi yang mereka sepakati akan disalurkan di luar APBN, total komitmen yang mereka berikan dalam forum itu adalah US$ 5,4 miliar atau Rp 53,46 triliun. Sebagian besar komitmen hibah terkait dengan penanganan pascatsunami di Aceh dan Nias, dan rekonstruksi pascagempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Hasil sidang itu nanti masih harus dibawa pemerintah untuk dikonsultasikan dan dimintakan persetujuan DPR. ”Kami akan lihat dulu,” kata Ketua Panitia Anggaran DPR, Emir Moeis. ”Jangan sedikit-sedikit utang.” Pihaknya akan minta pemerintah memaksimalkan dulu anggaran yang ada. ”Buat apa utang besar kalau tiap tahun sisa anggarannya juga banyak!”

Tahun kemarin, anggaran yang tak terpakai itu mencapai Rp 24 triliun lebih. Jadi, soalnya bisa jadi memang bukan pada defisit anggaran yang harus ditutup dengan utang, tapi lebih pada tidak efektifnya pelaksanaan anggaran.

Y. Tomi Aryanto, Agus Supriyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus