Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Merekam Jiwa Sepak Bola

Serangkaian foto sepak bola karya para fotografer Magnum Photo dipamerkan di Jakarta. Merekam jiwa sepak bola di pojok-pojok dunia.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga pastor dan sebuah bola bundar. Fotografer legendaris Henri Cartier-Bresson segera mengetahui di depannya adalah sebuah peristiwa unik.

Di halaman sebuah seminari di Maynooth, Leinster, Irlandia, tiga pastor muda itu, masih mengenakan jubah, tampak tengah bersiap bermain sepak bola.

Bresson kemudian mengarahkan kameranya untuk menangkap momen itu. One decisive moment, seperti yang selalu dikatakannya. Ia menahan napas, berupaya setenang mungkin merekam momen di bawah salib Kristus itu. Ia terus menunggu sebelum akhirnya menerkam puncak momentum yang ia harapkan. Satu orang telah mengganti jubah hitamnya dengan kostum bola lengkap. Sedangkan dua lainnya tampak mulai menanggalkan pakaian. Gotcha!

Fotografer Prancis itu memberi judul Irlandia 1962 untuk foto hitam-putih yang menggugah dan lucu. Inilah konsep fotografi decisive moment—merekam momen menentukan—yang disuguhkan Bresson. Konsep ini telah diusung Bresson ke pojok-pojok dunia selama puluhan tahun.

Foto ”tiga pastor gaul” itu menunjukkan bahwa sepak bola telah merambah wilayah-wilayah yang tak terduga. Ia tak mengenal kata batas. Semua orang dikunjungi, semua tempat dijejaki. Tak cuma kota, tapi juga kampung-kampung desa. Tak cuma melenakan penonton di stadion-stadion, tapi juga para penggemar di sudut-sudut rumah ibadah.

Karya fotografer yang sempat merekam Indonesia pada 1949 itu merupakan satu di antara 50 foto yang dipamerkan di Pusat Kebudayaan Jerman, Goethe Institut, Jakarta, dari 9 Juni hingga 8 Juli. Mengambil tema ”Bahasa Bola”, pameran ini menampilkan foto-foto karya fotografer Magnum Photo, agensi foto bergengsi yang berkedudukan di Paris, Prancis. Dan rangkaian foto yang dipamerkan adalah hasil seleksi dari sekitar 4.000 lembar foto karya 25 fotografer agensi tersebut.

Sejak berdiri pada 1947, Magnum memang memberi napas baru bagi profesi fotografer. Agensi foto yang didirikan oleh tiga serangkai itu—Henri Cartier-Bresson, David Seymour, Robert Capa—memperkenalkan dunia kebebasan demi menolak segala bentuk tekanan media massa. Kreativitas fotografer tak bisa dibatasi, apalagi ditentukan lewat order para editor di media cetak. ”Magnum berjuang untuk membebaskan fotografer dari tirani para editor majalah dan koran,” kata Capa.

Kebebasan itu telah mengantarkan para fotografer Magnum merekam denyut kehidupan di berbagai negara. Khusus tentang sepak bola, mereka menangkapnya dari sudut pandang berbeda. Karya fotografer Iran, Abbas, misalnya, merekam demam bola yang melanda kaum Hawa di negeri para mullah itu pada 1998.

Foto bidikan pria kelahiran Teheran pada 1944 itu menangkap suasana para siswi SMA yang bermain sepak bola di halaman sekolahnya. Mengenakan abaya hitam, bersepatu hitam dengan kaus kaki warna-warni, mereka tampak gembira bermain bola. Lewat foto itu, Abbas yang bergabung dengan Magnum sejak 1981 itu tak cuma hendak menyampaikan bahwa sepak bola telah melampaui batas-batas gender, tapi juga mengatasi berbagai keterkungkungan. Pemerintah Iran, misalnya, melarang kaum perempuan menonton langsung pertandingan sepak bola di stadion.

Sepak bola juga tak dibatasi usia. Itu tampak dalam foto jepretan fotografer Inggris, Peter Marlow. Foto itu merekam seorang kakek tengah berjemur di sebuah pantai di Paris. Sang kakek tidur telentang, beralaskan tikar, dan berbantalkan bola. Marlow, yang merekam adegan itu pada 1992, melukiskan bahwa sepak bola merupakan olahraga sepanjang usia.

Fotografer David Alan Harvey, 62 tahun, asal Amerika, juga menyajikan tema sepak bola dan usia. Hanya, bidikan Harvey pada 1987 itu merekam sepak bola dan anak-anak. Nun di sebuah desa terpencil di Cile, Amerika Latin, seorang bocah tampak duduk di bangku kayu seraya memandang bola dengan bergelora.

Ya, bahasa bola memang telah melampaui batas-batas ruang dan waktu. Juga bermacam kondisi dan latar belakang sosial. Di Afganistan yang tengah bergolak, misalnya, sepak bola tetap hadir. Fotografer muda Jerman, Thomas Dworzak, yang mengembara ke negeri itu pada 2001, merekamnya dengan baik. Pria 33 tahun itu memotret para pemuda di Fayzabab, Badakhshan, yang tengah asyik bermain bola dengan latar perbukitan tandus nan memukau.

Dalam kecamuk perang pun sepak bola tak mati. Ini terekam lewat lensa kamera fotografer perang asal Inggris, Philip Jones Griffiths. Pada 1983, saat Amerika menginvasi Grenada di Amerika Tengah, Griffiths merekam sepak bola di antara ketegangan perang. Seorang pria tampak asyik memainkan bola, sementara di belakangnya tank pasukan Amerika menderu.

Pria itu seperti abai atas bahaya yang mengintai. Lewat bidikannya itu, Griffiths ingin mengutarakan: dalam kondisi apa pun, bola itu tetap bergulir, meski amukan perang siap melumatnya.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus