WAJAH PT Astra International, kata orang, cermin dunia bisnis Indonesia. Perusahaan induk ini membawahkan 57 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang usaha mulai dari bidang industri (kendaraan bermotor, alatalat berat, elektronik, kimia), perdagangan, pertanian, perkayuan, pariwisata, sampai perbankan. Tak heran jika laporan keuangan Astra 1991, yang diungkapkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) di Hotel Borobudur Intercontinental, Jakarta, pekan lalu, sedikit banyak memaparkan kondisi bisnis Indonesia tahun silam. Dalam laporan keuangan Astra itu antara lain terungkap beban inventory yang mencapai Rp 1,1 trilyun menggelembung hampir Rp 200 milyar dibandingkan tahun sebelumnya. "Hal ini tidak hanya terjadi di Astra. Banyak perusahaan lain mengalami hal sama," ujar Direktur Keuangan Astra International, Rini Mariani Sumarno Soewandi. Sementara itu, piutang usaha Astra juga naik hampir 50% menjadi Rp 941 milyar. Masalahnya, kata Rini, penjualan tahun lalu cukup seret. Kendati omset Astra masih naik 14% dibandingkan tahun sebelumnya tercatat Rp 4.300 milyar toh mereka harus membantu para penyalur dengan jangka kredit sampai dua bulan. Akibat kebijaksanaan itu, beban utang jangka pendek Astra menggelembung dari Rp 1,5 trilyun menjadi Rp 2 trilyun lebih. Dalam kondisi keuangan seperti itu, ditambah lagi dengan situasi kebijaksanaan uang ketat, cukup mengherankan jika tahun lalu Astra masih saja agresif melakukan ekspansi. Tahun 1991, Astra telah melahirkan tak kurang dari selusin anak perusahaan. Itu tentu membutuhkan modal segar. Maka, utang jangka panjang Astra melonjak hampir 50% menjadi Rp 600 milyar lebih. Di antara sejumlah perusahaan baru itu terlihat beberapa nama menonjol, seperti PT Sarana Mutu Utama, tergabung dalam grup industri komponen otomotif Astra Investment Ltd., Toronto PT Astra Multi Finance, PT Federal International Finance (pembelian 77% saham), yang bergerak di bidang keuangan dan PT Suryaraya Wahana, yang berusaha di bidang perkayuan. Sementara itu, Astra, yang kini terlihat sudah serius bergelut di bisnis pertanian, melahirkan tiga perusahaan baru, PT Sari Lembah Subur, PT Sukses Tani Nusa Subur, dan PT Suryaraya Lestari, melengkapi 11 perusahaan yang telah didirikan pada 1990. Pelebaran usaha di bidang agribisnis ini memang keinginan bos Astra, William Soeryadjaya, sejak dasawarsa 1970. "Di agribisnis kita menanam rupiah, hasilnya dolar," katanya suatu ketika kepada TEMPO. Bisnis pertanian ini agaknya diharapkannya akan bisa mengimbangi bisnis Astra di industri otomotif, yang membutuhkan modal devisa sedangkan hasilnya adalah rupiah. Menurut juru bicara Astra, Palgunadi T. Setyawan, program ekspansi Astra ada dua jalur. Pertama, program industri strategis. Meski usaha ini dalam jangka pendek merugi, investasi akan jalan terus untuk memperkuat bisnis inti Astra. Itu sebabnya lahir antara lain PT Astra Multi Sales, PT Graha Kartika Kencana, keduanya untuk menunjang penjualan produk elektronik. Kedua, jalur finansial kalau usaha itu menguntungkan dalam jangka pendek, Astra akan masuk. Contohnya, pada PT Cheil Samsung Astra, yang membangun pabrik monosodium glutamate. Selain itu, tahun lalu, Astra telah terjun pula ke industri sepatu (PT Unitika Surya Industri Indonesia), dan industri pakaian jadi (PT Mitracorp Pacific Nusantara) guna mencari devisa. Satu hal yang cukup mengecewakan masyarakat pemegang saham Astra, penampilan tiap-tiap perusahaan itu tak dilaporkan. "Hal ini karena Astra telah berhasil menyusun suatu laporan keuangan secara terkonsolidasi," kata Palgunadi. Laporan konsolidasi ini, sebagaimana biasa dilakukan Pertamina, barangkali lebih efisien. Presiden Komisaris Astra, William Soeryadjaya, mendukung sistem laporan itu dan mengusulkan RUPS untuk menerimanya. Masyarakat umum, yang cuma memegang saham 13%, tentu saja tak bisa menolak. Namun, ada yang berpendapat bahwa penyajian laporan keuangan Astra kini agak ditutuptutupi. Laba dari tiap anak perusahaan Astra, misalnya, kini menjadi tidak transparan. Bahkan laporan keuangan Astra bisa bertentangan dengan laporan keuangan anakanak perusahaan Astra yang sudah go public, seperti PT United Tractors dan PT Astra Graphia. Di pasar bursa Jakarta, Rabu dua pekan lalu, misalnya, PT United Tractors dilaporkan mencatat laba Rp 40 milyar naik Rp 5 milyar dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi, dalam laporan keuangan Astra, dikatakan industri alatalat berat (hanya ada United Tractors) tahun lalu mengalami rugi sampai Rp 1,7 milyar. Mengapa bisa bertentangan? "Itu karena United Tractors tahun lalu telah menanamkan modal di PT Komatsu Indonesia untuk pembangunan pabrik casting. Astra adalah pemegang saham 60,76% di United Tractors," ujar Palgunadi. Mengenai betapa seretnya bisnis otomotif 1991 tergambar dari laba industri otomotif dan komponen otomotif. Industri komponen otomotif, tahun lalu, mencatat laba Rp 14,1 milyar (susut sekitar 27% dibandingkan tahun sebelumnya). Keuntungan di bisnis otomotif malah hanya Rp 3,9 milyar (turun sekitar 66% dibandingkan 1990). Keuntungan di bisnis jasa keuangan dan perkayuan masih lumayan masingmasing mencatat laba Rp 7,1 milyar dan Rp 1,9 milyar. Max Wangkar, Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini