Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Teriakan setelah bantuan disetop

Ribuan mahasiswa asal Irian Jaya terancam berhenti kuliah karena bantuan Belanda disetop. akibatnya, sebagian mereka pindah dari golkar.

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEKHAWATIRAN melanda diri Agu. Beasiswa kiriman Sinode GKI Irian Jaya, yang biasanya diterima tiap caturwulan, hingga pekan ini belum juga tiba. Padahal, cuma dari beasiswa itulah pemudi Irian Jaya, yang kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri Jakarta ini, menggantungkan nasib pendidikannya. Ayah dan ibunya cuma guru SD. Agu mendapat plafon beasiswa Rp 600.000 tiap empat bulan. Setelah dipotong biaya administrasi dan potongan lainnya, duit bersih yang sampai ke tangannya masih Rp 500 ribu atau Rp 1,5 juta setahun. Dari jumlah itu, sepertiganya ia jatahkan untuk ongkos kuliah. Sisanya dicukupcukupkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, pada Februari lalu, Pemerintah Indonesia mengumumkan diberhentikannya segala macam bantuan keuangan dari Pemerintah Belanda untuk seluruh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Salah satu yang terkena adalah Sinode GKI Irian Jaya, yang bergerak di bidang pendidikan. Sejak itu pula kiriman wesel dari Sinode GKI Irian Jaya buat sekitar 400 mahasiswa asal Irian, termasuk Agu, terhenti. "Saya kesal. Apa pemerintah sudah kaya sehingga tak butuh lagi bantuan dari Belanda," keluh Agu, yang kuliahnya menginjak semester empat. Yang ditunggunya kini adalah uluran tangan pihak lain. "Sinode berjanji akan mengusahakan sebisanya agar tetap bisa mengirimi kami uang," kata Agu. Di rumah kontrakan tempat Agu tinggal masih ada empat mahasiswa rekannya yang juga terhenti beasiswanya. Ribuan mahasiswa lainnya, baik yang kuliah di Irian Jaya maupun di daerah lain dan di luar negeri, mempunyai nasib serupa dengan Agu. Misalnya saja 1.150 mahasiswa yang tergabung dalam Yayasan Bina Teruna Bumi Cendrawasih (Binterbusih) yang dikelola Keuskupan Sorong dan Jayapura. Lalu, masih ada sekitar 300 mahasiswa yang kuliah di Institut Theologia Baptic Jayapura, Sekolah Tinggi Theologia Baptic Abepura, dan Sekolah Alkitabiah, Jayapura. Tak heran ketika kampanye PDI digelar pekan lalu di Jayapura, puluhan mahasiswa ikut nimbrung dan berteriakteriak bahwa mereka tak akan kuliah lagi lantaran beasiswa dihentikan. Bukan hanya mahasiswa yang punya keluhan. Pimpinan beberapa perguruan tinggi swasta di Irian ternyata menghadapi masalah dengan dihentikannya bantuan Belanda itu. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ottow & Geissler contohnya, 90 mahasiswanya terancam drop out karena tiada lagi beasiswa. Begitu pula nasib tiga dosen sekolah tinggi itu yang sedang kuliah pascasarjana di Korea Selatan, Filipina, dan Inggris. Menurut Ketua I STIE Ottow & Geissler, Calvyn Mansnembra, bantuan Belanda melalui Sinode GKI itu dipakai untuk pengembangan pendidikan di Irian Jaya. Total beasiswa yang disetujui pihak donatur Belanda untuk disalurkan kepada para mahasiswa adalah Rp 48 juta dan untuk para dosen sebesar Rp 95 juta setahun. Belum lagi rencana pembangunan fisik STIE itu yang perlu dana Rp 1,5 juta. "Jumlah ini tentu terlalu besar bila kami tanggung sendiri. Untuk gaji dosen saja kami kewalahan," tutur Mansnembra. Memang, untuk menutupi bolongnya dana itu ongkos kuliah bisa saja dinaikkan. "Tapi nanti yang menjadi korban mahasiswa. Mahasiswa di STIE ini 98 % berasal dari desadesa dan miskin," kata Mansnembra. Yayasan Ottow & Geissler, sebagai pengelola STIE itu, sudah mengajukan permohonan bantuan ke Freeport Indonesia, IJJDF (Irian Jaya Joint Development Foundation), dan sebuah lembaga keagamaan di Australia. Tapi sampai sekarang belum ada tanggapan balik. Mansnembra mengharapkan turunnya bantuan pemerintah. "Pemerintah harus tahu, penghentian bantuan pemerintah Belanda itu mengorbankan mahasiswa dan dosen," kata Mansnembra. Di Sekolah Tinggi Theologia (STT) GKI, Abepura, ada 20 mahasiswa yang terancam berhenti kuliah. Sebabnya, menurut Ketua STT GKI I.S. Keyne, Pendeta S. Sumihe, dana sebesar Rp 10 juta untuk para mahasiswa diploma dan strata I itu terpaksa disetop karena berasal dari Belanda. Masih untung bagi para mahasiswa pascasarjana, beasiswa tetap jalan karena masih ada gereja di Jerman yang menyantuni. Menurut Pendeta Sumihe, kebijakan Februari 1992 dari Pemerintah itu jelas membuat syok para penyelenggara pendidikan di Irian Jaya. Banyak kegiatan missi di sana yang didanai Belanda. "Kebijakan Pemerintah itu mempunyai pengaruh besar terhadap partisipasi gereja dalam pembangunan nasional, karena sekolah ini sepenuhnya ditanggung gereja," ujar Pendeta Sumihe. Keluhan senada dilontarkan Lukas Karl Degey, yang mengetuai Yayasan Binterbusih. "Pemerintah harus mengambil alih tanggung jawab sehingga para mahasiswa jangan menjadi korban," kata Degey. Mendengar adanya masalah tersebut, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin yang cuti untuk kampanye Golkar di Irian Jaya belum lama ini, sempat terkejut. "Wah, saya baru tahu kalau banyak mahasiswa asal Irian Jaya yang mendapat beasiswa dari bantuan Belanda," katanya. Sumarlin berjanji akan melaporkan masalah mahasiswa Irian Jaya itu dalam sidang kabinet di Jakarta. "LSM atau lembaga gereja yang menyalurkan beasiswa bantuan Belanda supaya menyiapkan datanya," ujarnya. Mudahmudahan begitu data rampung, beasiswa bisa mengucur lagi, entah dari mana asalnya. Ardian Taufik Gesuri, Sri Wahyuni (Jakarta), dan Kristian Ansaka (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus