PRESIDEN Soeharto telah pulang dari Banda Aceh, Rabu pekan lalu. Kenangkenangan yang ditinggalkannya bukan hanya peresmian proyek pengendalian banjir Krueng Aceh senilai Rp 138,7 milyar. Pak Harto juga menyumbangkan 10.000 kaset lagu kebangsaan Indonesia Raya dan delapan lagu perjuangan. Kenangan kaset lagu kebangsaan yang disuguhkan untuk 470 pesantren di Aceh itu diterima secara simbolis oleh dua orang santri. Keduanya adalah Mukhtaruddin dari Pesantren Istiqomatuddin, Darul Muarif, Kuta Baru, Aceh Besar, dan Maysarwaty Wali dari Pesantren Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan. Selepas kunjungan Presiden, mungkin lagulagu bernapaskan kebangsaan itu akan berkumandang, dihafalkan para santri di seluruh Aceh. Karena, selain Padamu Negerinya Kusbini, ada juga lagu GebyarGebyar ciptaan almarhum Gombloh, yang sangat merakyat itu. Maklum, pada sampul kaset berlukiskan bendera Merah Putih itu ada juga tulisan tangan Pak Harto: "Teruntuk saudaraku tercinta sebangsa dan setanah air di Propinsi Aceh". Kaset itu dikirim kepada pesantren bukannya tanpa alasan. Wartawan TEMPO, Marhiansyah, yang melongok tiga pesantren di sana pekan lalu, menemukan beberapa kenyataan. Di Pesantren Istiqomatuddin, contohnya, tak pernah dilakukan upacara bendera. "Misalnya, seperti yang setiap pekan dilakukan di sekolah umum," ujar Teungku Tantawy Jauhari, seorang pengurus pesantren itu kepada TEMPO. Suasana serupa terasa pula di Pesantren Ruhul Fatah, Seulimeum, 42 km dari Banda Aceh. Seorang santrinya, Idris, 25 tahun, tersipusipu ketika diminta menyanyikan Indonesia Raya. "Saya tak begitu hafal," tuturnya. Bahkan, A. Rahman, rekan Idris, mengaku sama sekali tak bisa. Ini memang gambaran umum di pesantren tradisional Aceh. Latar belakang inilah yang membikin Kodam I Bukit Barisan memprakarsai sarasehan yang diikuti 121 pesantren di Kuta Krueng, Pidie, Aceh, awal Mei lalu. Hasilnya, menarik. Mereka berhasil menyusun kebulatan tekad yang diberi nama Pancadaya Pesantren. "Yang terpenting, mereka berikrar menjadikan pesantren sebagai benteng Merah Putih," kata Pramono kepada TEMPO. Padahal, ketika Pramono dilantik menjadi Pangdam, Juni 1990, suasana kemerahputihan masih rada memprihatinkan. Waktu itu, menjelang 17 Agustus, terdengar isu bahwa di pedesaan Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie rakyat diancam GPK untuk tidak mengibarkan bendera Merah Putih. Konon, malah akan berkibar bendera Aceh Merdeka. Tiga kabupaten ini semula dikenal sebagai basis GPK. Untung satuan ABRI kerja sama dengan aparat sipil segera turun ke lapangan. Penduduk di 3.000an desa itu diminta tetap mengibarkan Merah Putih. Kesulitan muncul. Banyak rakyat desa yang tidak punya bendera. "Saya minta para Bupati mencetak bendera Merah Putih dari kertas dan membagikannya pada penduduk," kata Pramono. Ternyata, Merah Putih tetap berkibar. Pengalaman seperti itu yang membuat Pangdam mencari solusi sehingga pesantren pun diliriknya. GPK memang berbeda dengan DI/TII pada masa Daud Beureueh yang bergerak di hutan. "Hingga antara pohon dan orang DI mudah dibedakan," kata Pramono. Pada era GPK menjadi sulit, karena mereka berada di tengah rakyat. "Jika dikejar, mereka lari masuk pesantren," lanjut Pramono. Bukannya Pramono tidak mengakui peranan pesantren Aceh sebagai perwujudan sosiokultural umat Islam. Misalnya, baik pada masa perjuangan penegakan maupun pengisian kemerdekaan. "Pada zamannya, pesantren adalah alternatif yang strategis sebagai pusat komando perjuangan," katanya. Akibatnya, pesantren tradisional cenderung menutup diri dari arus modernisasi. Tak heran, misalnya, banyak pesantren tradisional di Aceh belum memasukkan PMP, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, dan Bahasa Indonesia dalam kurikulumnya. Akibatnya, wawasan kebangsaan dan kenegaraan mereka tak setebal sekolahsekolah umum di luar Aceh. "Kondisi ini tentu saja merupakan lahan yang rawan dijangkiti bibit separatis," kata Pramono. Warna kehidupan pesantren tradisional Aceh memang monoton. Usai salat subuh di Pesantren Ruhul Fatah, misalnya, 800 santriwan dan 700 santriwati mulai membuka kitab kuning. Pukul 07.00 sarapan pagi. Lalu, mereka mengaji kitab kuning lagi hingga salat lohor dan berlanjut hingga pukul tiga sore. Setelah istirahat sampai magrib, selepas isya pengajian dilanjutkan lagi tanpa kursi dan meja. Tampak sang pengajar, Teungku, di atas tikar dikelilingi para santri dengan metode sorongan. Artinya, tak memakai metode klasikal, seperti di sekolah umum. Bahasa pengantar adalah bahasa Aceh atau Arab. Bahasa Indonesia jarang digunakan. Para santri juga mudah dikenali dengan sarung dan serban atau peci lebainya. Gambaran ketertutupan itulah yang ingin dikuakkan Pramono. Tentu saja, kerja besar ini akan melibatkan Kanwil Departemen Agama dan Departemen P dan K Aceh. "Paling tidak usai pemilu, kurikulum baru bisa disusun," ujar Pramono. Tentu juga termasuk menggalakkan upacara mengerek bendera dan lagu Indonesia Raya serta pelaksanaan penataran P4 di segenap pesantren. Untuk menanamkan wawasan berbangsa dan bernegara, Pramono akan minta bahan penataran itu ke pusat. Ini yang disebutnya sebagai program jangka panjang, sedikitnya untuk sepuluh tahun mendatang. "Saya berobsesi, kelak tak lagi terdengar semacam GPK di Aceh," katanya. Maksudnya, setelah mereka bisa mengumandangkan Indonesia Raya dan mengibarkan Merah Putih. Bersihar Lubis dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini