REGULASI baru akan muncul? Itulah yang terdengar dari Departemen Perindustrian. Kali ini yang akan diproteksi adalah mono ethylene glycol (MEG), serat sintetis, salah satu bahan baku tekstil, yang selama ini menjadi primadona ekspor. Tahun 1992, misalnya, devisa yang diperoleh dari tekstil dan garmen mencapai US$ 5,8 miliar. Departemen Perindustrian mengajukan dua alternatif. Pertama, perlindungan berupa kenaikan bea masuk tambahan, dari 0% menjadi 10%. Ini berarti, jika ditambah dengan bea masuk pokok 10%, MEG terkena pajak 20%. Alternatif kedua, tidak menaikkan bea masuk, tapi harga jual MEG dalam negeri ditetapkan 20% di atas harga impor. Usul dari Departemen Perindustrian bermaksud melindungi satu- satunya pabrik MEG di Indonesia: PT Yasa Ganesha Pura (YGP). Ketika pabrik yang menelan investasi Rp 360 miliar lebih ini dibangun, dua tahun silam, harga MEG dunia memang cukup tinggi. Maka, pihak YGP pun merasa optimistis harga MEG akan mencapai US$ 1.250 per ton. Tahun ini, saat pabrik berkapasitas 100 ribu ton itu berproduksi, harga MEG dunia ternyata anjlok. Yang dituding menjadi gara-gara adalah banjirnya pasok MEG di pasaran. Akibatnya, harga MEG impor menukik hingga US$ 430 per ton. Keruan saja importir kita lebih suka membeli MEG impor selain harganya lebih murah daripada produksi YGP, kualitasnya juga lebih bagus. Maka, agar bisa tetap bernapas, YGP akhirnya mematok harga US$ 500 per ton. Tapi itu tak cukup. Bulan Mei lalu, perusahaan yang sahamnya dimiliki anak-anak pejabat dan PT Gajah Tunggal itu meminta perlindungan kepada Departemen Perindustrian, dan diterima Juni silam. Kabarnya, Departemen Keuangan dan Departemen Perdagangan akan menyetujui usul Departemen Perindustrian, memberikan perlindungan khusus terhadap YGP. Tentu saja kaum produsen serat sintetis di sini umumnya merasa keberatan jika tarif bea masuk MEG dinaikkan. Sebab, itu akan menyebabkan harga serat sintetis dalam negeri juga akan naik. ''Kami sudah kehilangan uang banyak akibat dumping serat sintetis dari Korea dan Taiwan. Sekarang Pemerintah mau menaikkan tarif bea masuk MEG,'' kata Fukuda, anggota Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia. Ia mungkin benar. Maklum, saat ini Indonesia dibanjiri serat sintetis dumping dari Taiwan, Korea Selatan, dan RRC, yang harganya sekitar US$ 1,5 per kilogram sekitar 30 sen dolar lebih murah dari produksi dalam negeri. Nah, apa jadinya jika surat keputusan tentang kenaikan tarif bea masuk MEG itu nanti keluar? Jelas, itu merupakan pukulan kedua terhadap 11 produsen serat sintetis dalam negeri, setelah dibanjiri dumping dari beberapa negara pesaing. Yang tampak berhati-hati dalam menanggapi rencana itu adalah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Sekalipun industri tekstil akan dibebaskan dari regulasi itu kalau impor serat sintetisnya akan diekspor lagi dalam bentuk tekstil, ''API termasuk yang keberatan jika MEG dikenai bea masuk tinggi karena melemahkan kemampuan kompetisi tekstil kita,'' kata Sekjen API, Benny Sutrisno. Menurut Benny, selain soal harga, kualitas dan ketepatan waktu penyerahan barang juga merupakan pertimbangan lain bagi industri tekstil. Bambang Aji dan G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini