Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ekspor Furnitur Terbentur Syarat Bahan Baku, HIMKI Perjuangkan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu Indonesia

Indonesia sebagai salah satu penghasil bahan baku furnitur terbesar di dunia memiliki keunikan tersendiri.

13 Maret 2023 | 05.00 WIB

Ilustrasi furnitur. Unsplash.com/Michael Bowning
Perbesar
Ilustrasi furnitur. Unsplash.com/Michael Bowning

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia atau HIMKI menyatakan ekspor furnitur ke Uni Eropa terhambat persyaratan bahan baku yang ketat. Ketua Presidium HIMKI Abdul Sobur menjelaskan pelaku usaha Indonesia harus memenuhi standar Forest Stewardship Council (FSC) jika ingin menembus pasar Benua Biru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ketika kami menembus ke pasar Eropa, kami harus mengikuti kaidah FSC. Harus betul-betul didapat dengan cara yang baik, dari hutan yang pohonnya ditanam, bukan liar. Ini yang menjadi PR kami," tuturnya dalam konferensi pers di Jakarta International Expo, Kemayoran pada Minggu, 12 Maret 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Padahal, tuturnya, Indonesia memiliki sertifikasi sendiri bernama SVLK atau sistem verifikasi dan legalitas kayu. Karena itu, HIMKI menyatakan akan memperjuangkan kesetaraan SVLK dan FSC agar ekspor kembali lancar.  "Kami berharap ini setara dengan FSC. Jangan mentang-mentang dari Asia jadi diremehkan," ucapnya. 

Terlebih, ia menilai Indonesia sebagai salah satu penghasil bahan baku furnitur terbesar di dunia memiliki keunikan tersendiri. Abdul menjelaskan hutan tropis Indonesia membuat pohon tumbuh lebih cepat berkali lipat dibandingkan negara lain. 

Misalnya, jika negara lain membutuhkan waktu 60 sampai 80 tahun untuk menumbuhkan kayu berdiameter 40 sentimeter, Abdul berujar di Indonesia kayu dengan ukuran yang sama bisa tumbuh hanya dalam lima tahun. Kondisi itu terjadi untuk kayu jati, mahoni, mindi, hingga pinus.

Kendati demikian, Indonesia tetap diminta mengikuti standar FSC. Sebab, menurutnya, pemerintah dan masyarakat Eropa lebih mempercayai FSC. Ditambah standar tersebut telah berlaku jauh lebih dahulu dari SVLK di Indonesia. 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengungkapkan hal serupa. Ia berujar, Uni Eropa memiliki syarat ketat ihwal ketelusuran atau traceability bahan baku produk furnitur. Hal utama yang ditentang Eropa adalah sumber bahan baku dari hutan ilegal. 

Airlangga pun meminta kepada Menteri Perindustrian dan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan untuk mengurus persoalan ini. Ia memerintahkan agar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang bisa mempercepat proses verifikasi kayu milik pengusaha di Tanah Air tanpa membebankan biaya. 

Ketua Umum Golkar itu menyarankan agar biaya pengurusan SVLK ditanggung oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Terutama untuk UMKM, anggarannya di KLHK," kata dia di Jakarta International Expo, Kemayoran, Kamis, 9 Maret 2023. 

   

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.                                                                                                  

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus