Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bau amis penyaluran kredit di Bank Mandiri mulai meruap setelah aparat berseragam cokelat menerima laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit yang sebenarnya bersifat rutin itu, tahun lalu, memfokuskan pada pengelolaan kredit di bank terbesar di Indonesia itu. BPK mengakui bahwa Bank Mandiri telah menerapkan sistem pengendalian internal yang baik dalam penyaluran kredit.
Kendati demikian, dalam puluhan transaksi penyaluran kredit, rambu-rambu itu seperti tak berfungsi. BPK menyoroti penyaluran kredit kepada 22 kelompok usaha. Nilai kredit yang diragukan oleh BPK itu mencapai Rp 12,2 triliun. Selain itu, BPK juga menyorot penghapusan kredit di Mandiri yang nilainya lebih dari Rp 3 triliun.
Dari hasil pemeriksaan BPK itu, kejaksaan sejauh ini baru menelisik kemungkinan pelanggaran hukum dalam pengucuran kredit ke empat debitor: Artha Group, Cipta Graha Nusantara, Lativi Media Karya, dan Siak Zamrud Pusaka. Atas pemeriksaan itu, Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe, Wakil Direktur Utama I Wayan Pugeg, dan Direktur Bidang Kredit Korporasi M. Sholeh Tasripan menjadi tersangka.
Berikut berbagai cerita ajaib yang ada di seputar penyaluran kredit kepada keempat debitor itu berdasarkan hasil pemeriksaan BPK.
Arthabhama Textindo dan Arthatrimustika Textindo
1. Arthabhama dan Arthatrimustika merupakan perusahaan afiliasi yang bergerak di bidang tekstil. Arthabhama merupakan perusahaan yang bermain di pemintalan benang, sedangkan Arthatrimustika di pemintalan, penenunan, pencelupan, penyempurnaan, dan percetakan. Keduanya sudah wara-wiri di industri tekstil selama lebih dari satu dekade.
Kredit yang disalurkan Mandiri untuk dua perusahaan ini terkait dengan penjualan aset kredit di BPPN. Arthabhama dan Arthatrimustika merupakan dua aset kredit yang dilelang dalam Program Penjualan Aset Kredit tahap I tahun 2002. Nilai nominal tagihan atas kedua perusahan itu Rp 476 miliar.
BPK mencatat adanya peralihan supercepat dalam pengambilalihan aset kredit Arthabhama dan Arthatrimustika. Pada 20 November 2002, konsorsium Tugas Sapta Daya dan Bank International Indonesia mengajukan penawaran Rp 60 miliar atas hak tagih kedua Artha itu. Sepekan kemudian, BPPN menyatakan konsorsium Tugas dan BII sebagai pemenang.
Di dalam Mandiri, BPK menemukan adanya nota tertanggal 26 November 2002. Isinya adalah usulan agar Mandiri memberikan fasilitas pembiayaan kembali porsi utang yang dapat ditanggung dari Grup Artha yang telah diambil alih oleh konsorsium Tugas. Hanya berselang dua hari, usulan itu disetujui.
Persetujuan yang secepat kilat itu mengundang tanya para pemeriksa BPK. Di atas kertas, Arthabhama dan Arthatrimustika bukan perusahaan ciamik. Laporan keuangan kedua perusahaan yang telah diaudit tahun 1999, 2000, dan 2001 itu menunjukkan bahwa modal kedua perusahaan telah terkuras habis.
Kerugian operasional yang harus ditanggung keduanya menyebabkan mereka harus menanggung defisit modal disetor yang sangat besar. Laporan BPK menyebut bahwa pada akhir tahun 2001, defisit Arthabhama telah menggunung hingga 877,96 persen dari modal disetor. Nilai defisit Arthatrimustika pada saat itu tak kalah mencemaskan, 796,17 persen dari modal disetor. Tak aneh jika BPK pun meragukan kelangsungan hidup kedua perusahaan itu.
Hasil temuan BPK itu sempat disanggah oleh Bank Mandiri. Menurut versi Mandiri, kerugian kedua Artha itu bukan disebabkan oleh kerugian operasional, melainkan rugi kurs. Kendati demikian, Mandiri mengakui perlu adanya pemberesan dalam prosedur pembiayaan kembali.
Cipta Graha Nusantara
2. Usia perusahaan ini baru serambut jagung ketika berhasil menggaet kepercayaan dari Mandiri. Laporan BPK menyebut Cipta baru berumur enam bulan ketika menggaet fasilitas kredit talangan Rp 160 miliar dari Mandiri pada Oktober 2002. Kredit talangan itu dimaksudkan untuk membiayai pengambilalihan aset kredit PT Tahta Medan yang dilelang oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Tahta merupakan perusahaan properti yang memiliki Hotel Tiara dan Tiara Tower.
Utang talangan itu direncanakan untuk ditutup, lagi-lagi dengan, kredit dari Mandiri. Menjelang tahun 2003 berakhir, Mandiri mengucurkan kredit investasi dalam valuta asing sebesar US$ 18,5 juta ke Tahta. Selain untuk melunasi kredit talangan, fasilitas kredit investasi itu juga untuk menyelesaikan pembangunan Tiara Tower serta renovasi Hotel Tiara. Uang yang diperoleh dari operasi Hotel Tiara dan Tiara Tower-lah yang akan digunakan untuk mencicil kredit investasi tersebut.
Kredit ini menyebarkan bau karena adanya ketidakjelasan tentang alur pengambilalihan aset kredit. BPK mencatat bahwa dalam nota analisis pemberian fasilitas kredit talangan yang disusun oleh pejabat Mandiri pada Oktober 2002, pemenang lelang aset kredit Tahta Medan adalah Manunggal Wiratama. Anehnya, dalam nota analisa pemberian fasilitas kredit investasi yang dipakai untuk menutup kredit talangan disebut bahwa pemenang lelang adalah Tri Manunggal Mandiri Persada.
Tri Manunggal kemudian melepas aset kredit Tahta ke Azalea Limited. Lalu, di mana keterlibatan Cipta? Dalam nota analisis kredit investasi yang baru terbit awal 2003, nama Cipta muncul sebagai pembeli aset kredit Tahta dari Azalea. Karena membeli dari tangan ketiga, harga yang dibayarkan oleh Cipta jadi membengkak. BPK menyebut harga beli aset kredit Tahta oleh Cipta US$ 6,9 miliar atau setara dengan Rp 62,3 miliar lebih tinggi daripada harga jual Cipta di BPPN.
Dalam keterangan kepada BPK, Mandiri mengatakan bahwa pemenang yang sebenarnya atas hak tagih Tahta adalah Tri Manunggal. Mandiri juga menyebut akan mengkonversi sebagian utang Tahta menjadi kepemilikan agar perusahaan tersebut mampu mencicil utang.
Untuk menelusuri patgulipat di balik pengucuran kredit ke Cipta, Kejaksaan telah menahan tiga orang yang terdaftar sebagai pengurus utama PT Tahta Medan. Belakangan, penyaluran kredit ke Cipta juga menyerempet nama Surya Paloh. Surya terseret karena seorang petinggi Grup Media diketahui ikut terlibat dalam Tri Manunggal. "Saya tegaskan tidak ada kaitan antara saya secara pribadi atau sebagai pimpinan Media Group secara langsung atau tidak langsung dengan PT CGN," kata Paloh membantah.
Lativi Media Karya
3. Perusahaan ini mendapatkan fasilitas kredit investasi dan kredit modal kerja dari Bank Mandiri senilai Rp 361 miliar. Berdasarkan akta perjanjian kredit antara Mandiri dan Lativi, terungkap bahwa kredit investasi sebesar Rp 211,075 miliar digunakan oleh Lativi untuk membiayai proyek pendirian stasiun televisi baru di Pulogadung. Sementara kredit modal kerja Rp 150,75 miliar untuk menambah modal kerja operasional.
BPK mengendus tiga penyimpangan dalam pengucuran kredit ke Lativi. Yang pertama adalah tidak adanya unsur kehati-hatian dalam penyaluran. Ada dua ketidakhati-hatian Mandiri yang disorot BPK. Pertama, ada dua perusahaan sekandung dengan Lativi yang tengah menjalani restrukturisasi utang di Bank Mandiri.
Ini bertentangan dengan aturan main penyaluran kredit. Mandiri seharusnya menghindari penyaluran kredit ke debitor yang memiliki reputasi pembayaran yang seret. Dalam jawaban ke BPK, Mandiri mengatakan bahwa pemberian kredit itu didasarkan atas analisis konsultan independen yang menyebutkan bahwa stasiun televisi swasta merupakan bisnis yang memiliki prospek.
Kekeliruan lain yang terteropong oleh BPK dalam penyaluran kredit ke Lativi adalah adanya pemberian bank garansi sebesar US$ 87.500. Bank garansi ini dibutuhkan oleh Lativi untuk menyewa satelit pemancar dari Telkom. Bank garansi itu diributkan oleh BPK karena Mandiri membebankan kewajiban baru itu kepada fasilitas kredit investasi. Mandiri mengakui adanya pelanggaran penggunaan kredit. Hanya, Mandiri beralasan, jika bank garansi tidak diterbitkan, Lativi tidak dapat beroperasi.
Keteledoran lain yang dilakukan oleh Mandiri dalam penyaluran kredit ke Lativi adalah fasilitas kredit modal kerja dicairkan sebelum debitor menyerahkan neraca pembuka, seperti yang disyaratkan dalam perjanjian pencairan kredit.
Siak Zamrud Pusaka
4. Penyaluran kredit ke Siak Zamrud merupakan bukti paling telak tentang betapa pengawasan kredit belum berjalan secara optimal di Bank Mandiri. Siak Zamrud merupakan perusahaan kontraktor minyak. Tiga tahun lalu, Siak Zamrud dan Mandiri menandatangani perjanjian fasilitas kredit dengan batas sebesar US$ 4.700.000.
Permohonan fasilitas kredit ke Siak dikabulkan oleh Mandiri setelah perusahaan itu mengaku memenangi kontrak worker service rig dari Caltex Pacific Indonesia. Siak juga menyerahkan dokumen yang menyerupai kontrak jual-beli antara Siak dan Petromat, perusahaan Belanda yang menjadi pemasok rig Siak.
Dari hasil pemeriksaan BPK, terungkap banyak kejanggalan yang tak dicermati oleh Mandiri. Kesalahan yang paling telak adalah Mandiri sama sekali tak menyadari adanya perubahan susunan pemegang saham di Siak. Nader Thaher, yang mengaku sebagai pemilik Siak, ternyata sudah menjual kepemilikannya di perusahaan itu saat menandatangani perjanjian kredit dengan Mandiri. Laporan BPK menyebutkan bahwa Nader menjual sahamnya pada Juli 2001, dan ia menandatangani perjanjian kredit dengan Mandiri atas nama Siak di awal tahun berikutnya. Nader sendiri telah ditahan oleh Kejaksaan Agung.
Berbagai jejak yang meragukan tentang keabsahan proyek Siak juga tak terendus oleh Mandiri. BPK sendiri menemukan banyak kejanggalan pada dokumen jual-beli antara Siak dan Petromat. Kontrak jual-beli senilai jutaan dolar itu, misalnya, ditulis dengan serampangan. Istilah purchase tertulis purchace. Keanehan lain adalah kontrak jual-beli Siak dan Petromat itu dibuat di atas surat berkop perusahaan Siak, yang merupakan pembeli. Dalam transaksi yang lazim, kontrak seharusnya dibuat di atas kertas berkop perusahaan pemasok.
Mandiri mengakui telah berupaya menyelamatkan kredit ke Siak. Satu upaya yang telah dijanjikan oleh Mandiri ke BPK adalah menarik kembali uang milik Nader Thaher sebesar US$ 1 juta di sebuah bank asing. Kuasa hukum Nader, Yan Amir Mustafa, malah menuduh upaya pengungkapan kebusukan penyaluran kredit ini bermuatan politis. "Sepertinya kejaksaan telah ditunggangi oleh kelompok tertentu yang memang menjadi pesaing klien kami," ujar Yan. Ia menyebut bahwa penyidikan ini telah menghabisi peluang kliennya untuk menjadi Gubernur Riau.
Thomas Hadiwinata, Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo