Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah E.C.W. Neloe dikenakan status tersangka pekan lalu, peluang untuk bertahan sebagai Direktur Utama Bank Mandiri bisa dipastikan tak ada. Teka-teki siapa yang akan naik menjadi orang pertama di bank berlogo pita emas itu baru terjawab Senin pekan ini.
Ada empat nama yang kerap disebut berpeluang menggantikan Neloe: Rudjito, Agus Martowardojo, Sigit Pramono, dan Gatot M. Suwondo. Tetapi siapa yang bakal benar-benar naik menjadi putra mahkota di Mandiri, hingga akhir pekan silam tak ada yang berani memastikan.
Situasi ini berbeda dengan saat pergantian direksi Jamsostek beberapa waktu lalu. Nama Iwan Pontjowinoto, yang kemudian terpilih sebagai direktur utama, sudah lama beredar. Unsur yang mengejutkan dalam pergantian direksi Jamsostek hanyalah waktu.
Pergantian direksi di Jamsostek kala itu berjalan bak revolusi. Pemberitahuan tentang rencana pergantian baru sampai ke telinga para komisaris dan direksi setelah jam makan siang, atau hanya berselang kurang dari dua jam dengan pengumuman perombakan direksi.
Kalau pergantian direksi di Jamsostek super kilat, perombakan para petinggi di tubuh Garuda Indonesia malah sempat tertunda-tunda. Indra Setiawan, direktur utama yang kemudian diganti, sempat mengalami perpanjangan waktu dinas hingga lebih dari delapan bulan. Sang pengganti, Emirsyah Satar, baru resmi dilantik pada awal April. Tak berbeda dengan Iwan di Jamsostek, Emirsyah juga praktis tak menghadapi pesaing yang tangguh ketika itu.
Waktu yang tak tentu, yang mengiringi pergantian direksi perusahaan pelat merah itu, disebabkan kewenangan dalam hal penggantian direksi BUMN ada di tangan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Jadi, kapan pun Sugiharto, sang menteri, berkenan, maka pergantian akan sah-sah saja. Kuasa yang begitu besar itu tertuang dalam UU Badan Usaha Milik Negara yang terbit tahun lalu.
Lantas bagaimana Sugiharto merekrut para calon direksi itu? Seorang sumber Tempo menyebutkan, ratusan riwayat hidup telah terkumpul di kementerian yang mengurusi perusahaan pelat merah. Para calon yang dianggap kredibel pun telah ditanyakan kesanggupannya oleh orang-orang kepercayaan Sugiharto sejak triwulan keempat tahun silam.
Mereka yang bersedia dan dianggap layak kemudian dites lagi oleh konsultan sumber daya manusia yang direkrut oleh Kementerian BUMN. Bentuk tes bagi para bos BUMN itu tentu tak seperti tes untuk karyawan kelas teri. "Tesnya itu berlapis-lapis," ujar Richard Claporth, Sekretaris Menteri Negara BUMN, kepada Kurniawan dari Tempo.
Rekomendasi dari para konsultan itu kemudian disampaikan kepada Menteri Negara BUMN, yang mengepalai tim evaluasi. Tim inilah yang mengocok nama-nama direktur yang akan terpilih. Mekanisme semacam ini pernah diceritakan oleh Iwan Pontjowinoto, Direktur Utama Jamsostek.
Dalam wawancara dengan majalah ini sepekan setelah terpilih, Iwan mengaku merasa terbantu karena ia juga telah mengenal sang Menteri dan beberapa tangan kanannya, seperti Aris Mufti, Staf Ahli Menteri Negara. "Jadi, saya tidak ditanya lebih terperinci," ujar Iwan.
Jalan singkat seperti yang ditempuh Iwan agaknya tak lagi tersedia. Awal bulan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 yang mengharuskan semua direksi perusahaan milik negara diangkat oleh Tim Penilai Akhir (TPA). "Keputusan ini untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja BUMN," kata juru bicara presiden, Andi Mallarangeng, dua pekan lalu.
Penerbitan inpres itu meluaskan kewenangan TPA, yang sebelumnya hanya mengurusi pengangkatan pejabat eselon I. TPA untuk pemilihan direksi dan komisaris BUMN ini dikepalai langsung oleh presiden, dengan wakil presiden sebagai wakilnya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara BUMN, Sekretaris Kabinet, dan Kepala Badan Intelijen Negara menjadi anggota tim bersama dengan menteri teknis yang membawahkan BUMN yang terkait dengan bidang kerjanya. "Wajar kalau menterinya ikut, karena kalau kinerja BUMN yang kita awasi jeblok nanti kami juga yang disalahkan," ujar Menteri Telekomunikasi dan Informasi Sofyan Djalil.
Kendati kewenangannya terpangkas, Sugiharto menyatakan tak akan ada perubahan. Ia menyebut inpres itu sesuai dengan aturan main tentang BUMN. "Kewenangan Kementerian BUMN tak berubah," ujar Sugiharto. Menteri yang sebelumnya berkarier sebagai profesional itu memandang inpres itu lebih sebagai payung politik bagi keputusan pengangkatan direksi dan komisaris BUMN.
Tak semua orang memiliki pandangan seperti Sugiharto. Beberapa sumber Tempo menyebut penerbitan kebijakan yang mengatur menyerahkan kuasa penentuan direksi BUMN ke TPA sebagai bentuk kekecewaan Presiden dan Wakil Presiden kepada Menteri Negara BUMN.
Seorang sumber Tempo yang dekat dengan lingkar pertama Istana menyebutkan, Presiden merasa terganggu dengan beredarnya surat berkop Menteri Negara BUMN. Surat tertanggal 26 Maret itu ditujukan kepada Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Surat itu intinya merupakan laporan dari Sugiharto tentang kemajuan rencana pemanfaatan sumber dana di badan usaha milik negara.
Yang membuat surat itu dirasa tak enak dibaca adalah rencana pemanfaatan dana, yang disebut untuk menopang pembangunan infrastruktur, dikaitkan dengan rencana pergantian direksi BUMN. Masih menurut surat itu, rencana itu telah digodok di rumah sang Menko. Pada pertemuan terbatas itu pula telah ditetapkan siapa-siapa saja yang akan naik menjadi direksi BUMN.
Surat itu juga menyebut bahwa kandidat direksi di Bank Mandiri, Pertamina, Semen Gresik, dan Pupuk Kaltim ada kemungkinan akan mengalami pergantian. Rencana itu terlihat semakin miring karena waktu pelaksanaan dipas-paskan dengan masa reses DPR dan kunjungan Presiden ke luar negeri. Ihwal kebenaran surat itu sempat ditanyakan oleh Kepala Badan Intelijen Nasional Syamsir Siregar kepada Aburizal dan Sugiharto dua pekan lalu. "Tapi mereka membantah," ujar sumber Tempo.
Bantahan kembali diulangi oleh Aburizal saat dimintai konfirmasi tentang kebenaran surat itu. "Pertanyaan Anda basi; itu surat palsu," ujar Aburizal singkat. Ia juga membantah dimintai konfirmasi oleh Syamsir mengenai kebenaran surat itu. Cerita senada juga terlontar dari Syamsir. "Tidak ada menteri yang diperiksa," ujarnya pendek. Ia malah mengaku tak tahu apa akan masuk ke dalam TPA atau tidak.
Para pejabat yang berwenang mengurusi pergantian direksi memang sangat hemat cerita perihal kasus itu. "Ini seperti pertarungan silat tingkat tinggi, tidak kelihatan siapa yang memukul dan dipukul," ujar seorang sumber Tempo yang terjaring untuk ikut dalam seleksi direksi BUMN.
Sekitar tiga bulan lalu, jauh hari sebelum inpres yang baru itu terbit, sumber ini sempat menceritakan soal akan cawe-cawe-nya TPA dalam penentuan direksi BUMN. Namun, kabar tentang keikutsertaan TPA dalam penentuan direksi BUMN saat itu masih dibantah, termasuk oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. "TPA hanya mengurusi pejabat eselon satu," ujar Jusuf kepada Wenseslaus Manggut dari Tempo.
Setelah pergantian direksi di Garuda, Jamsostek, dan hanya tiga pekan menjelang pergantian direksi di Mandiri, beleid tentang campur tangan TPA dalam penentuan direksi BUMN terbit juga. "Bagaimanapun, pengangkatan direksi BUMN harus lepas dari rasa suka atau tidak suka karena politis, pertemanan ataupun hal lain," ujar Jusuf.
Mudah-mudahan saja mereka yang duduk di TPA mengingat ucapan Jusuf.
Thomas Hadiwinata, Muhammad Nafi, Maria Ulfah, Yophiandi, Marta Warta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo