Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eduardus Cornelis William Neloe tentu tak pernah membayangkan kariernya sebagai bankir akan berakhir di Gedung Bundar. Rabu pekan lalu, Kejaksaan Agung resmi menyatakan Direktur Utama Bank Mandiri itu bersama Wakil Direktur Utama I Wayan Pugeg dan Direktur Korporasi M. Sholeh Tasripan sebagai tersangka. Ketiganya diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam menyalurkan kredit kepada lima debitor. Kelima perusahaan itu adalah Siak Zamrud Pusaka, Arthabhama Textindo, Arthatrimustika Textindo, Cipta Graha Nusantara, dan Lativi Media Karya.
Akhir yang tragis untuk seorang bos bank terbesar di Indonesia yang memulai kariernya di Bank Dagang Negara (BDN), yang kemudian melebur ke dalam Bank Mandiri, pada 1966, itu. Senin pekan ini, Neloe harus hadir mempertanggungjawabkan kinerja Mandiri di depan rapat umum pemegang saham sepanjang 2004. Lumayan kinclong, memang. Pada tahun itu, Mandiri mengeduk keuntungan bersih Rp 5,26 triliun, naik 14,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Tapi, kinerja yang lumayan itu toh tak banyak menolong Neloe dan dua anggota direksi lain. Hampir pasti, rapat umum pemegang saham itu bakal menggusur Neloe. Sejumlah nama sudah disebut-sebut akan menggantikannya, di antaranya Direktur Utama BNI Sigit Pramono, Direktur Utama BRI Rudjito, dan Direktur Utama Bank Permata Agus D.W. Martowardojo. Direktur Pelaksana Bank Mandiri I Wayan Agus Mertayasa disebut-sebut bakal menjadi kuda hitam.
Tergusurnya Neloe bermula dari audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dimulai pada 14 Juni 2004 dan berakhir pada 10 September 2004. Dalam laporan BPK yang berjudul Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Kredit dan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK pada PT Bank Mandiri disebutkan sejumlah kelemahan pengelolaan Bank Mandiri, terutama menyangkut pengelolaan kredit. Pemeriksaan ini meliputi pengelolaan dana senilai Rp 12,46 triliun dan US$ 202,94 juta (sekitar Rp 1,9 triliun).
Temuan BPK itu kemudian ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Setelah memeriksa sejumlah saksi, termasuk Neloe dan Pugeg, Kejaksaan kemudian menetapkan mereka sebagai tersangka. Selain ketiga bos Mandiri, empat tersangka lain sudah dibui. Mereka adalah Nader Taher (Siak Zamrud Pusaka), serta petinggi Cipta Graha Nusantara, masing-masing Komisaris Utama Saiful, Direktur Utama Edison, dan Direktur Keuangan Diman Ponijan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Hendarman Supanji menceritakan, pihaknya sudah menyiapkan segepok laporan tim penyidik plus surat rekomendasi yang menyetujui kesimpulan tim tentang perubahan status ketiga direksi itu. "Laporan itu saya sampaikan sekitar 16.30 WIB setelah Jaksa Agung kembali dari Istana Negara," katanya. Sejurus kemudian, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, R.J. Soehandoyo, merilis kabar itu kepada pers.
I Wayan Pugeg mengaku terkejut bukan kepalang mendapat kabar itu. "Apa yang saya kerjakan sesuai dengan posisi saya. Jadi, saya bukan yang berperan utama," kata Pugeg. Adapun Neloe tak bisa dimintai tanggapan meski sudah disambangi ke rumah dan kantornya. Kontak telepon dan pesan singkat Tempo juga tak dijawab meski telepon genggamnya terdengar aktif. Sholeh Tasripan yang biasanya tak sulit dihubungi, ponselnya juga tak terdengar aktif sejak berita itu mencuat.
Pugeg tentu boleh membela diri, namun Hendarman hakul yakin ada ketentuan dalam penyaluran kredit yang sengaja dilanggar. Penetapan status tersangka itu diperoleh berdasarkan hasil penyelidikan dan keterangan saksi mengenai keterlibatan mereka dalam proses pengucuran kredit bermasalah senilai Rp 1 triliun kepada lima debitor tadi.
Pihak Kejaksaan Agung memang tak mau banyak bicara soal materi kasus kredit bermasalah itu. Sebab, kata Kasubdit Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Arnold Angkouw, pihaknya khawatir bila materi penyelidikan itu dibuka justru akan mempersulit tugas pemeriksaan para jaksa selanjutnya. "Saya kira pernyataan Jaksa Agung yang menyebut kredit itu sejak awal memang dibuat tidak lancar sudah sangat jelas," ujarnya. Kredit yang dikeluarkan dengan tingkat kehati-hatian yang rendah itu akhirnya macet karena penggunaannya juga tidak sesuai.
Kredit kepada Citra Graha Nusantara senilai Rp 166,5 miliar, misalnya, disetujui hanya selang satu hari setelah surat permohonan dibuat pada 23 Oktober 2002. Dalam nota kredit, uang sebanyak itu plus modal Rp 22,5 miliar sedianya akan digunakan debitor untuk membangun Tiara Tower dan merenovasi Hotel Tiara di Medan. Tapi hingga BPK memeriksa fisik proyek pada 17 Juli 2004, upaya pembangunan gedung itu tak ada kelanjutannya (lihat Empat Sandungan Neloe).
Kejanggalan juga tampak dari temuan BPK pada kredit kepada Nader Taher atas nama PT Siak Zamrud Pusaka pada 2002. Soehandoyo mengungkapkan, perjanjian kredit dengan debitor ini tidak sah karena Nader tak berwenang lagi di PT Siak. Ia telah menjual perusahaan ini enam bulan sebelum akta kredit ditandatangani. "Mereka (ketiga direksi tersangka) jelas memiliki peran," kata Soehandoyo. Nader mengajukan akta lama perusahaan itu dan memalsukan dokumen seolah-olah dia telah melakukan pembiayaan sendiri atas pembelian peralatan pengeboran minyak.
Dari hasil penyelidikan tim itu, Soehandoyo sedikit mengungkapkan peranan Pugeg dalam kasus ini. Ia menyebutkan, ada butir perjanjian kredit yang tak dipenuhi tapi debitor tetap memperoleh kredit. Dari pemeriksaan Pugeg, tim penyidik juga mengungkap lebih dalam duduk perkara kasus kredit ini hingga akhirnya penyidik tahu siapa yang harusnya dipegang hingga dijadikan tersangka. "Tindakan ini bisa dibenarkan," katanya.
Pugeg sendiri tak menerima jika dirinya disebut-sebut orang yang paling berperan dalam kasus kredit itu. "Sebab saat itu saya belum menjadi wakil direktur utama," ujarnya. Sejak akhir 2000 hingga medio 2003, dirinya masih menjadi direktur risk management sehingga perannya saat itu tidak besar. Pugeg juga mengaku ketika itu dirinya adalah pemegang keputusan tahap kedua setelah hasil kajian dan pengecekan data dari unit bisnis menunjukkan persetujuan kredit. "Karena unit bisnis sudah menganalisis semuanya, makanya saya setujui," kata Pugeg.
Ketua Tim Pengacara Bank Mandiri, Sulistyo, juga menilai penetapan status tersangka ketiga direksi itu merupakan langkah yang terburu-buru karena dari hasil audit BPK itu belum ada bukti yang cukup kuat untuk melakukan penyidikan. "Seharusnya Kejaksaan Agung melakukan investigasi terlebih dahulu sebelum menetapkan status mereka sebagai tersangka," ujarnya. Pihaknya juga mempertanyakan letak kerugian negara dalam kasus ini karena jaminan kredit itu lebih dari 125 persen sehingga bila kredit itu macet maka sewaktu-waktu jaminan itu bisa dieksekusi.
Namun, bagi Arnold Angkouw, Kejaksaan Agung berani menetapkan ketiga direksi itu sebagai tersangka karena sudah punya bukti. Sesuatu yang mustahil bagi Kejaksaan Agung menetapkan status tersangka itu tanpa bukti. "Bukti-bukti itu sudah kami amankan dan kami mempertaruhkan reputasi Kejaksaan Agung atas keputusan ini." Karena itu, pihaknya tak ragu meningkatkan kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan. Pemeriksaan atas ketiga tersangka pun akan digelar pekan ini.
Menurut rencana, pemeriksaan akan digelar Senin ini, namun tim advokat ketiga tersangka memohon pengunduran waktu pemeriksaan. Sebab, di hari yang sama, ketiga tersangka harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban pembukuan 2004 dalam RUPS. "Pemeriksaan hari Senin tetap dijadwalkan," kata Hendarman. Tapi bila ketiga tersangka tak datang, pihaknya akan mengirim surat panggilan kedua pada Selasa (17/5) untuk jadwal pemeriksaan Kamis (19/5). Bila tak datang juga, akan dilakukan pemanggilan terakhir secara paksa.
Tim pengacara, kata Sulistyo, sudah mempersiapkan diri mendampingi para tersangka pada pemeriksaan nanti. Ia juga optimistis bila tak ada fakta yang menyebabkan Neloe dan dua direksi lainnya melakukan tindak pidana korupsi. Hendarman pun tak kalah gentar. Meski tak bersedia mengungkap materi penyelidikan, laporan BPK sudah memberi gambaran yang terang tentang adanya perbuatan melawan hukum. Terlebih laporan BPK itu sudah diklarifikasi dengan alat-alat bukti. "Pemeriksaan penyidik memang rahasia, tapi di pengadilan semuanya akan terbuka."
Kasus ini agaknya bakal menjadi bola liar. Selain pemilik dan direksi dua debitor tadi, tiga debitor lain masih belum disentuh. Ada nama Abdul Latief dalam Lativi Media Karya. Di samping itu, sejumlah nama besar juga tersangkut dengan debitor-debitor yang diperiksa BPK. Beberapa di antaranya adalah Aburizal Bakrie dalam pengucuran pinjaman kepada Bakrie Telecom atau Aksa Mahmud dalam kasus kredit kepada Semen Bosowa Maros.
Masih belum jelas sampai ke mana sodokan bola liar Mandiri ini akan menggelinding. Yang pasti, inilah momentum buat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membuktikan bahwa pemerintahannya serius menangani kasus korupsi.
MT, Taufik Kamil, Mawar Kusuma, Yura Syahrul
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo