TINGKAT bunga deposito berjangka mulai kurang menggiurkan.
Sehari sesudah devaluasi rupiah, 1 April, berbagai bank devisa
swasta nasional dan asing mengerek tingkat bunga deposito hingga
20% setahun, termasuk untuk simpanan berjangka pendek -- 1-3
bulan. Itu berjalan sekitar dua minggu. Tapi sesudah itu banyak
bank mulai menurunkan tingkat bunga, menjadi sekitar 17%. Pekan
lalu malah merosot lagi. Citibank, misalnya, menurunkannya untuk
deposito berjangka 1 bulan dari 17% ke 15%, untuk yang tiga
bulan dari 16,5% ke 14,5%, dan untuk yang enam bulan dari 16% ke
15%.
Tindakan serupa malah sudah lebih dulu dipelopori Panin Bank.
"Kami sekarang sangat likuid," kata Direktur Panin Bank, Fuady
Mourad. Maksudnya, posisi rupiah mereka sudah kuat. Tindakan
devaluasi rupiah baru-baru ini rupanya berhasil menggiring
sebagian pemilik uang yang menyimpan di bank luar negeri dalam
bentuk dollar (biasanya AS) mencairkan kembali deposito mereka
dalam rupiah.
Namun, kembalinya rupiah yang diparkir di luar negeri itu
rupanya punya akibat sampingan juga: banyak bank dan lembaga
keuangan nonbank menjadi sarat dengan rupiah. Dan untuk mengerem
arus rupiah yang deras itulah agaknya bank-bank merasa perlu
menurunkan bunga depositonya.
Banyak yang tampaknya ingin istirahat dulu menerima simpanan
dalam rupiah, terutama yang berjumlah besar. Itu pula sebabnya
direktur Panin tadi sampai berkomentar: "Nasabah tentu tidak
akan senang kalau kami mengatakan tidak bisa menerima deposito
lagi." Menurut bankir itu, masih banyak juga orang yang antre
mau mendepositokan rupiah mereka.
Sampai kapan? Itulah soalnya. Kalau tingkat bunga deposito
cenderung semakin turun, bisa dipastikan sebagian nasabah akan
kembali was-was. "Kalau sampai turun di bawah 15% saya jadi
mulai berpikir untuk membeli rumah saja," kata seorang nasabah
sebuah bank swasta besar. Orang ini, kebetulan pejabat yang
tergolong jujur, baru saja mencairkan seluruh depositonya dalam
dollar AS di sebuah bank di Singapura. Dia merasa rugi karena
tingkat bunga dollar kini hanya sekitar 8,5% setahun untuk
deposito yang satu bulan. Setelah dihitung-hitung, dia
memutuskan merupiahkan saja seluruh depositonya, karena "lebih
untung menyimpan di Jakarta," katanya.
Tindakan memanggil kembali rupiah yang berkelana itu memang
dianjurkan pemerintah. Dan pemerintah tentu akan senang kalau
makin banyak pemilik rupiah menyimpan dalam deposito berjangka,
membeli saham di pasar modal atau membeli obligasi. Perputaran
rupiah akan lebih mudah dikontrol, dan tidak mengakibatkan efek
inflasi.
Dari ketiga bentuk simpanan itu, yang paling populer sampai
sekarang jelas deposito berjangka. Sebuah bank asing di Jakarta,
misalnya, memiliki volume deposito berjangka satu bulan sebanyak
70% dari seluruh penerimaan simpanannya. Keinginan menyimpan
hanya dalam sebulan, menurut seorang bankir asing, disebabkan
"sebagian besar nasabah masih punya perasaan tak menentu."
Pendapat itu tak seluruhnya benar. Para penyimpan jangka pendek,
selain pemilik 'uang panas', biasanya para pengusaha. Maka
selain bisa mengatur kebutuhan uang dalam sebulan, para
pengusaha itu juga kebagian bunga. Berapa besar andil para
pemilik 'uang panas' itu, yang disimpan dalam deposito sebulan,
sulit diketahui. Namun bisa dikatakan, deposito enam bulan ke
atas biasanya lebih banyak disukai para pemilik uang yang bukan
pengusaha.
Kini bank pemerintah ingin menaikkan tingkat bunga deposito yang
berjangka enam bulan -- dari 6% menjadi sekitar 8%, kabarnya.
Maksudnya, tentu saja, menarik lebih banyak penabung. Apakah
tindakan itu nanti akan berhasil, masih harus dibuktikan. Tapi
menurut Dirut Bank Duta Ekonomi, Abdulgani, kenaikan bunga
deposito yang 2% itu "belum berarti banyak untuk menyaingi bank
swasta."
Agaknya benar. Dengan tingkat bunga 6%, pelbagai bank pemerintah
ternyata hanya berhasil menyedot dana masyarakat sebanyak Rp
11,6 milyar (sampai Maret lalu), untuk deposito berjangka enam
bulan. Sebagian besar dana deposito bank pemerintah (Rp 849,7
milyar atau 93,8% dari total deposito yang Rp 905,3 milyar)
berasal dari deposito berjangka 24 bulan. Itu pun kebanyakan
terdiri dari simpanan yayasan pensiun pelbagai departemen,
instansi pemerintah maupun bank. Bunganya: 12-15% setahun.
Tingkat bunga deposito yang kurang menggiurkan dari bank swasta
bukan mustahil akan mendorong usaha spekulasi, yang mengandung
efek inflasi. Sebuah rumah di daerah Kemang, Jakarta Selatan,
yang sebelum devaluasi ditawarkan seharga Rp 180 juta, dan sulit
laku, sudah dengan gampang laku seharga Rp 250 juta sekitar dua
pekan lalu. Dan sebuah rumah baru dengan luas tanah 750 m2
di daerah Pulo Emas, Jakarta, yang sebelum 30 Maret masih
ditawarkan seharga Rp 140 juta, pekan lalu sudah laku dengan Rp
180 juta. Di kompleks perumahan mewah Pondok Indah lebih dahsyat
lagi. Harga semeter persegi tanah di sana rata-rata sudah di
atas Rp 150.000.
Kenaikan cukup besar itu memang belum bisa dikatakan akan
berjalan langgeng. Tapi setidaknya, gerakan orang menubruk rumah
mulai terjadi setelah rupiah banyak yang pulang. Dan usaha
spekulatif itu agaknya akan semakin terangsang kalau tingkat
bunga deposito semakin turun. Pemilik uang menganggur tentu akan
merasa lebih aman menyimpan hartanya dalam bentuk rumah atau
tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini