Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menyoroti langkah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang merombak jajaran direksi Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik atau Perum Bulog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menunjuk Wahyu Suparyono menggantikan Bayu Krisnamurthi sebagai Direktur Utama, dia menunjuk Mayor Jenderal (Purnawirawan) Marga Taufiq menjadi Wakil Direktur Utama dan Sudarsono Hardjosoekarto menjadi Direktur Human Capital menggantikan Purnomo Sinar Hadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pergantian direksi ini biasanya kerap terjadi karena beberapa faktor seperti habisnya masa jabatan, kinerja yang kurang memuaskan, atau adanya restrukturisasi perusahaan. Maka dari itu, diperlukan pembuatan KPI (key performance index) yang jelas dan terukur sehingga setiap tahun itu ada rapornya untuk melihat capaian-capaian,” kata dia saat dihubungi via aplikasi perpesanan, Rabu, 11 September 2024.
Ia mengatakan, KPI akan meningkatkan transparansi dan juga kepercayaan publik terhadap BUMN. Dengan adanya penilaian itu, kata dia, jabatan pimpinan BUMN ini akan lebih adil dan terkesan bukan karena jabatan politis semata.
“Bulog ini masih belum optimal dalam menyerap gabah dalam negeri. Buktinya lebih dari 70 persen cadangan beras pemerintah itu diisi oleh impor, bukan dalam negeri,” katanya.
Eliza menuturkan, adapun beberapa penyebab Bulog tidak optimal menyerap gabah atau beras petani itu karena adanya regulasi yang mengikat perihal jenis beras yang diterima Bulog. “Sedangkan petani ini untuk mengeringkan saja masih konvensional menggunakan cahaya matahari. Kurang penerapan teknologinya, ini menyebabkan rendahnya kualitas gabah yang dihasilkan dan ini mempengaruhi kualitas patahan beras,” kata Eliza.
Eliza juga menuturkan, untuk dari sisi harga atau HPP juga kurang adaptif terhadap perubahan biaya input pertanian dan tingkat inflasi, akibatnya petai lebih berminat menjual ke bandar yang harganya bisa lebih tinggi.
“Petani pun kebingungan menjual ke Bulog karena minimnya informasi dan harus mengeluarkan biaya transport. Kalau menjual ke bandar, bandarnya jemput bola. Petani tak pusing lagi mengirimkan barangnya dan tak mengeluarkan biaya ongkos ke Bulog. Gudang Bulog ini kan tak di setiap desa,” ujarnya.
Mengenai solusinya, kata dia, hal itu disesuaikan dengan tingkat inflasinya dengan adaptif untuk menjaga margin petani. “Menurut dia, Bulog jemput bola ke petani-petani. Dalam hal ini bisa bekerja sama dengan Pemda yang bisa memberikan subsidi angkutan dari lahan ke gudang Bulog dengan demikian Bulog bisa optimal menyerap gabah,” kata dia.
Eliza menuturkan, selain itu dari kasus demurrage beras juga bisa jadi pelajaran berharga bagi Bulog bahwa perencanaan yang matang dan koordinasi yang baik bisa dianggap penting.
“Adanya demurrage beras ini menunjukkan buruknya tata kelola impor beras. Kurangnya koordinasi antara Bapanas dengan Bulog dalam merencanakan impor serta persyaratan-persyaratan dokumen pendukung,” katanya.
Menurut dia, penyebab utama demurrage beras ini lebih disebabkan karena dokumen impor yang kurang lengkap dan sudah tidak valid. “Menjadi pertanyaan besar mengapa sampai bisa terjadi hal demikian. Perlu adanya investigasi khusus untuk mengidentifikasi persoalan ini, apakah ada unsur kesengajaan atau memang karena keteledoran,” kata Eliza.
Pilihan Editor: Budi Arie soal Jet Pribadi yang Digunakan Kaesang: Erina Lagi Hamil, Gak Boleh Naik Angkutan Umum