Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Menguatnya bursa Asia dan optimisme pasar menyambut pasar keuangan pada 2015 membuat indeks kembali menguat. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia dalam perdagangan hari pertama pada 2 Januari lalu menguat 15,82 poin (0,3 persen) ke level 5.242,77.
Analis dari PT Reliance Securities, Lanjar Nafi Taulat Ibrahimsyah, mengatakan pembukaan pasar Asia yang positif ikut berimbas terhadap IHSG. Selain itu, perdagangan efek yang dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo menambah optimisme pelaku pasar. "Indeks melanjutkan tradisinya menguat pada hari pertama perdagangan setiap awal tahun," kata dia akhir pekan lalu.
Euforia menyambut tahun baru berhasil menjaga laju positif IHSG yang telah menguat selama empat hari berturut-turut sejak 23 Desember 2014. Penguatan indeks saham ini mampu menutup sentimen negatif dari memburuknya data-data ekonomi pada awal bulan. Inflasi pada Desember melonjak ke 2,5 persen dan neraca perdagangan kembali defisit US$ 250 juta.
Menurut Lanjar, selain euforia awal tahun, pasar merespons positif kebijakan subsidi tetap bahan bakar minyak. Dengan adanya subsidi tetap, mekanisme subsidi BBM akan menyesuaikan dengan harga pasar. "Artinya, dana yang akan dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur tidak akan dikoreksi."
Diperkirakan, hari ini indeks akan bergerak cukup fluktuatif dengan ada potensi melemah. Alasannya, IHSG telah mengalami kondisi jenuh beli setelah mengalami reli panjang pada akhir tahun. "Pelaku pasar disarankan agar menjual di harga tinggi (sell on strength) atas saham-saham unggulan yang sudah naik tajam sepanjang 2014, misalnya konstruksi, infrastruktur, dan perbankan," kata Lanjar. PDAT | M. AZHAR
Data Ekonomi Bebani Kurs Rupiah
JAKARTA - Rilis data ekonomi pada awal bulan yang lebih buruk daripada ekspektasi memberi sentimen negatif bagi kurs rupiah. Dalam transaksi pasar uang akhir pekan lalu, rupiah ditutup melemah tajam 158 poin (1,27 persen) ke level 12.545 per dolar Amerika. Selain dipicu sentimen data dari dalam negeri, rupiah ditekan oleh penguatan dolar terhadap mata uang Asia.
Analis dari PT Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, mengatakan defisit perdagangan menjadi faktor utama penyebab pelemahan rupiah. "Pasar kecewa karena defisit perdagangan semakin membengkak, padahal sebelumnya estimasinya surplus tipis," kata Ariston akhir pekan lalu.
Neraca perdagangan pada November 2014 mengalami defisit US$ 425,7 juta, padahal pada bulan sebelumnya sempat mengalami surplus tipis US$ 20 juta. Defisit disumbang oleh penyusutan ekspor migas akibat turunnya harga minyak mentah dunia sejak kuartal keempat 2014.
Menurut Ariston, defisit perdagangan ini menunjukkan bahwa efek turunnya harga minyak mentah dunia mulai terasa. Harga minyak mentah dunia yang terus melemah memicu tekanan terhadap harga komoditas. "Sebagai negara yang mengandalkan ekspor berbasis komoditas, Indonesia sangat terbebani oleh turunnya harga minyak dunia."
Di sisi lain, inflasi pada Desember 2014 naik tajam 2,46 persen atau jauh di bawah estimasi para analis yang sekitar 2 persen. Sedangkan total inflasi tahun kalender periode Januari-Desember mencapai 8,36 persen. Inflasi menyebabkan imbal hasil rupiah yang dimiliki investor nilainya menyusut.
Ariston memperkirakan, hari ini rupiah akan bergerak di kisaran 12.460-12.600 per dolar Amerika. Jeleknya data dalam negeri akan membuat investor lebih berfokus melihat data-data ekonomi dari luar negeri, terutama Cina dan Amerika, yang banyak akan dirilis pekan ini. "Penguatan rupiah sangat sulit terjadi di tengah sentimen kenaikan suku bunga The Fed," ujarnya. PDAT | M. AZHAR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo