Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai wanita muda yang pintar dan lulusan universitas, Mahsa sebenarnya bisa menjadi contoh sukses perempuan modern Iran. Tapi perempuan 30 tahun itu justru menjadi simbol tren baru perempuan Iran pecandu dadah atau narkotik dan obatobatan berbahaya.
Simbol tren itu merupakan masalah baru bagi Iran. Semakin banyak perempuan muda Iran menjadi pecandu narkotik: mereka kaya, berpendidikan, melek teknologi, tapi terjebak dalam kecanduan obatobatan terlarang, seperti methamphetamine, methadone, obat penenang, dan heroin.
"Saya punya impian besar, tapi semuanya telah hancur," kata Mahsa, seperti dilansir Financial Times, Jumat dua pekan lalu. Ia lulus dari sekolah menengah atas dengan predikat siswa terbaik, tapi orang tuanya memaksanya menikah pada usia 18 tahun. Dari pernikahan itu, Mahsa dan suaminya dikaruniai seorang putra. Usia pernikahannya hanya satu tahun dan berakhir dengan perceraian.
Mahsa kemudian melanjutkan pendidikan ke universitas dan mengambil jurusan psikologi. Namun nasibnya justru berakhir di pusat rehabilitasi kecanduan di Teheran tahun lalu. Akibat kecanduannya terhadap narkotik, Mahsa harus merogoh setidaknya 1 juta riyal (sekitar Rp 470 ribu) per hari untuk biaya pengobatan.
Setelah menjalani rehabilitasi lima bulan, ia dianggap bersih. Tapi ia menolak kembali ke keluarganya di Arak, Iran tengah, karena takut terhadap tekanan sosial yang akan diterimanya. "Tinggal di kota kecil, semua orang tahu saya adalah pecandu," katanya. "Saya malu."
Masalah narkotik bukan hal baru di Iran. Tingkat kecanduan di negara itu di antara yang tertinggi di dunia. Penyebabnya, Iran menjadi rute perdagangan ilegal narkotik dari Afganistan ke Eropa. Setidaknya 6 juta dari 77,7 juta penduduk Iran memiliki masalah yang berhubungan dengan obat terlarang.
Statistik resmi menunjukkan jumlah pecandu narkotik perempuan naik hampir dua kali lipat dalam delapan tahun terakhir. Sebanyak 9,3 persen populasi perempuan di Iran kini pecandu narkotik. Data lain yang mengkhawatirkan: lebih dari 50 persen perempuan pecandu itu diketahui mulai mengkonsumsi obat terlarang pada usia 1519 tahun.
Fenomena ini muncul antara lain karena teknologi, masalah sosial, dan pengaruh globalisasi. Kebanyakan perempuan muda Iran tumbuh dalam kebebasan dan terbukanya kesempatan menempuh pendidikan, tapi mereka masih terbelenggu nilainilai konservatif generasi tua.
Akses perempuan muda Iran ke Internet dan media sosial yang semakin tinggi membuat mereka berontak terhadap struktur tradisional dan aturan Islam yang ditanamkan dari orang tua. Mereka berusaha meniru dan mengadopsi norma yang lebih modern.
Kecanduan narkotik menyebabkan kasus perceraian di Iran meningkat, sedangkan jumlah perkawinan dan kelahiran justru menurun. Pada saat yang sama, akses perempuan terhadap pendidikan terbuka lebar. "Orangorang muda di bawah usia 25 tahun sebagian besar menikmati kebebasan yang sama dalam hal kegiatan sosial dan pendidikan. Tapi perempuan memiliki perspektif yang suram karena melihat tanggung jawab yang lebih besar ke depan," kata AmirHossein Yazdani, profesor psikologi.
Menurut dia, perempuan berpendidikan tinggi tak bisa menikmati kesempatan kerja yang sama dan berada di bawah tekanan untuk berperilaku seperti perempuan tradisional Iran. "Ini semakin mendorong kecenderungan baru untuk kecanduan narkotik," katanya.
Tren kecanduan ini sebenarnya berbanding terbalik dengan aturan ketat yang diterapkan pemerintah. Hukum di negara itu menetapkan pelaku pelanggaran narkotik dapat dijatuhi hukuman mati jika sedikitnya memiliki 30 gram narkotik.
Menurut Iran Human Rights, sepanjang 2013, pemerintah telah mengeksekusi 331 dari 687 tahanan karena kasus narkotik. Perserikatan BangsaBangsa dan negaranegara Eropa dianggap berperan secara tak langsung. Selama bertahuntahun negaranegara Eropa mendanai kepolisian Iran dan Pakistan dalam pemberantasan narkotik. Alasannya, kedua negara itu merupakan rute penting bagi pemasok untuk menyelundupkan narkotik.
Laporan dari Reprieve, badan amal yang berbasis di Inggris, menyoroti UNODC, badan PBB yang mengelola dana dari Inggris, Prancis, dan Uni Eropa, untuk menjalankan program pendukung unit antinarkotik di kepolisian Iran. Bantuan jutaan dolar yang digunakan untuk belanja alat pemindai, anjing pelacak, kacamata nightvision, dan kendaraan segala medan itu dianggap memfasilitasi ribuan eksekusi di Iran.
"Mereka yang dihukum mati bukanlah orangorang yang terlibat kartel, melainkan justru orangorang miskin dan rentan, anakanak, hingga penderita gangguan mental," kata Maya Foa, kepala penelitian Reprieve, seperti dilansir Middle East Eye, Jumat dua pekan lalu.
Rosalina (Financial Times, Middle East Eye, reprieve.org.uk)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo