Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Faisal Basri Sebut Rupiah Menguat Bukan karena Penanganan Corona

Faisal Basri menilai penguatan rupiah dalam beberapa hari ini tidak terkait dengan kebijakan pemerintah dalam menangani corona.

10 Juni 2020 | 19.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai penguatan rupiah yang terjadi dalam beberapa hari terakhir tidak ada kaitannya dengan sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah terkait penanganan pandemi virus corona di dalam negeri.

"Jadi harus diingat bahwa rupiah menguat adalah refleksi dari pasokan dolar yang meningkat luar biasa masuk ke Indonesia dari utang global bonds. Tidak ada hubungannya dengan penanganan (pandemi Covid19) buruk atau tidak," kata dia dalam diskusi virtual Indef, Rabu 10 Juni 2020.

Faisal mengatakan, surat utang global yang masuk tersebut berupa valuta asing (valas), yang kepemilikannya 100 persen asing. Selain itu, juga berasal dari penerbitan surat utang (SUN) dalam bentuk denominasi rupiah dengan bunga yang tinggi.

"Pemerintah itu mengeluarkan surat utang dari denominasi rupiah bunganya tinggi sekali 7 persen - 8 persen," ujar Faisal Basri.

Banyaknya modal asing yang masuk ke Indonesia tersebut disebabkan oleh likuiditas di sejumlah negara menyusul terbitnya kebijakan quantitative easing dengan nilai ratusan triliun rupiah.
"Lalu mereka masuk ke Indonesia membeli surat utang pemerintah karena bunganya, tapi bukan untuk tujuan jangka panjang," ucap Faisal.

Menurut Faisal, sampai dengan Desember 2019, Indonesia adalah negara tertinggi di dunia yang local currency-nya dimiliki oleh asing dengan porsi sebesar 38,7 persen. Hal ini berbeda dengan Jepang, yang utang pemerintahnya lebih besar namun dipegang oleh masyarakatnya sendiri.

Faisal menilai, kejadian seperti ini akan tak berlangsung lama dan berbahaya bagi kesehatan likuiditas sistem keuangan nasional. Pasalnya, dengan penerapan new normal yang mulai berjalan, efeknya baru akan dirasakan bulan depan.

Pada saat itulah, kata Faisal, asing akan menjual kembali bonds yang dia pegang. "Dan nanti Bank Indonesia (BI) harus turun tangan. Nah, keluarlah cadangan devisa (untuk mencukupi likuiditas)," ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto menilai cara pemerintah dalam penanganan Covid-19 yang prudent dan berbasis data diapresiasi positif oleh pasar. Hal itu tercermin dari nilai tukar rupiah yang terus menguat dan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sempat menyentuh level 4.950.

"Apa yang kita lihat di mana nilai tukar rupiah sudah di bawah Rp 14.000 per dollar AS dan indeks harga saham yang naik menunjukkan apa yang dilakukan pemerintah dan Gugus Tugas berada pada jalur yang tepat,” kata Airlangga, melalui keterangan tertulis, Jumat 5 Juni 2020.

Walau nilai tukar maupun indeks akan berfluktuasi, Airlangga mengatakan, dengan cadangan devisa di Bank Indonesia yang mencapai US$ 130 miliar, menunjukkan adanya kepercayaan yang kuat terhadap perekonomian Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus