Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gaduh bapindo, eddy, tommy, sudomo

Sudomo adu argumentasi lawan baramuli, sumarlin bilang ia tidak mengindahkan katebelece. dan hutomo mandala putra sempat menjadi pemegang saham mayoritas PT Hamparan Rejeki, namun pada saat yang tepat ia meninggalkan bisnis yang macet ini.

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN pekan lalu, sekitar pukul 10 malam, empat pejabat tinggi berkumpul. Selain tuan rumah Harmoko yang Ketua Umum Golkar, hadir Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Panglima ABRI. Pertemuan yang tidak biasa ini sengaja diadakan, konon, untuk membicarakan perkara kredit macet. Benarkah? Menteri Harmoko membantah keras. Tapi salah satu peserta membenarkan hal itu pada sebuah media terbitan Jakarta. Dan topik yang dibicarakan adalah kredit macet Eddy Tansil -- bos Golden Key Group -- yang mencapai jumlah Rp 1,3 triliun. Menghadapi masalah yang pelik ini, para pejabat yang berkumpul Senin malam itu telah diminta mengusut tuntas setiap kredit macet, menindak tegas semua pejabat bank yang bersalah, dan tak kurang penting ialah melakukan pengamanan politis. Nah, apakah yang terakhir ini perlu? Menurut sebuah sumber, Pemerintah melihat bahwa kasus kredit macet, terutama setelah kasus Tansil merebak, bukan lagi soal ekonomi semata. Berbagai reaksi yang muncul di masyarakat telah menjurus ke bidang politik. Jadi diharapkan, pengamanan politis bisa membuat "airnya tetap jernih, tapi ikannya tertangkap". Atau dengan kata lain, tanpa ribut-ribut, kredit yang telanjur macet bisa kembali utuh ke kocek bank-bank pemerintah. Andaikata "strategi" tersebut benar, tak heran bila ada langkah-langkah "pengamanan segera" yang telah dilakukan Pemerintah. Misalnya perintah cekal (cegah tangkal) terhadap Eddy Tansil dan mitra usahanya, Koesno Achzan Jein. Langkah pengamanan juga dilakukan oleh instansi Pemerintah yang lain. Jaksa Agung Singgih, misalnya, telah menerjunkan intel-intel untuk menyelidiki kasus ini. Sedikit aneh adalah pernyataan Sanyoto Sastrowardoyo, Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BKPM. Senin malam pekan lalu, di depan Komisi VI DPR, Sanyoto menyatakan bahwa BKPM belum menerima laporan realisasi pembangunan tiga pabrik milik Eddy di Cilegon, Jawa Barat. Pernyataan itu berubah hari Jumat, ketika Sanyoto berucap bahwa proyek industri kimia milik Tansil semuanya jalan. Bahkan satu di antaranya (PT Hamparan Rejeki) hampir rampung dan siap beroperasi. Lebih jauh lagi, Sanyoto sekaligus memperkuat bantahan yang pernah dikemukakan Hutomo Mandala Putra. Dia membenarkan bahwa Humpuss tak lagi menjadi pemegang saham di PT Hamparan Rejeki. Saham Humpuss yang 84 lembar senilai Rp 8,4 miliar telah dijual ke Eddy Tansil. Humpuss? Benar. Nama yang muncul belakangan inilah yang semakin mengharu-biru perkara kredit macet Eddy Tansil di Bapindo itu. Soalnya, bukan cuma Ketua DPA Sudomo yang ikut mengantar Eddy Tansil ke pintu brankas Bapindo, tapi juga Tommy, bos Grup Humpuss. Hal itu diakui putra bungsu Presiden ini kepada banyak wartawan. Hanya saja, Tommy sekadar membantu membuatkan janji untuk Eddy Tansil, agar mudah berjumpa dengan direksi Bapindo. Jadi, ia tidak memberikan referensi ataupun katebelece, seperti yang diberikan Sudomo. Ihwal Humpuss yang akhirnya keluar dari kongsi itu, memang, mengundang banyak pertanyaan. Soalnya, Tommy melalui perusahaannya semula merupakan pemegang saham mayoritas. Ketika PT ini dibentuk, saham Humpuss tecatat mencapai 360 lembar senilai Rp 36 miliar atau 60% dari total saham Hamparan Rejeki. Tapi, tahun 1991, Humpuss menjual sebagian besar sahamnya kepada dua pemegang saham baru. Sehingga, tinggal 84 lembar, yang akhirnya dijual juga oleh Tommy ke Eddy Tansil, Agustus 1993. Menurut Tommy, biaya pembangunan Hamparan Rejeki yang dibujetkan dengan investasi Rp 214 miliar tampak terus membengkak, bahkan mencapai 100% dari anggaran. Apakah itu berarti biaya pembangunan pabrik acrylic fiber ini memuai menjadi Rp 428 miliar? Entahlah. Yang jelas, langkah Tommy banyak dipuji sebagai ayunan yang strategis. Sementara itu, Ketua DPA Sudomo -- bekas Menko Polkam -- cenderung melindungi Eddy Tansil (Eddy menyapa Sudomo dengan panggilan "Papi"). Menurut Sudomo, Eddy Tansil tidak menipu dan kreditnya belum termasuk ke dalam kelas macet. Sebab, proses pembangunannya hingga saat ini masih belum selesai dan akan terus berjalan hingga rampung. Dan Sudomo yakin, semua proyek itu kelak akan tuntas. Alasannya, ia kenal Eddy Tansil sudah sejak 1983, ketika masih menjabat Menteri Tenaga Kerja. Pada tahun 1990, Sudomo mengajak Eddy untuk mengalihkan sebagian hasil usahanya di RRC ke Indonesia. Waktu itu disarankan agar Eddy -- terlahir dengan nama Tan Tjoe Hong -- terjun ke industri petrokimia, yang pembangunannya memperoleh prioritas dari Pemerintah. Eddy setuju, dan seperti yang hangat dibicarakan orang, Sudomo pun menulis surat referensi ke Direksi Bapindo dan Menteri Keuangan Sumarlin. Dalam referensi itu, Sudomo tidak meminta agar permohonan kredit Eddy dikabulkan. Di surat, menurut bekas Menko Polkam itu, ia hanya menyebutkan bahwa pengusaha ini jujur dan bisa dipercaya. Tapi, "Kredit itu bukan mengucur lantaran adanya referensi dari saya. Itu semata-mata karena telah memenuhi persyaratan teknis. Seperti dalam hal agunan maupun feasibility study," demikian Sudomo merinci. Lebih jauh lagi, bekas Pangkopkamtib ini berani menjamin bahwa referensinya benar 100%. Tapi kalau terbukti melenceng, ia akan lebih dulu menindak Eddy, sepeti terjadi beberapa waktu lalu. Ketika itu, Sudomo menerima laporan bahwa Eddy bandel dan tidak membuat laporan berkala untuk Bapindo. "Saya langsung panggil dia dan akhirnya beres," kata Sudomo lagi. Untuk itu, Sudomo tak mengharap imbalan apa pun juga. Ia tak memilki saham -- baik atas atas namanya atau keluarganya -- di perusahaan petrokimia Grup Golden Key milik Eddy Tansil. "Saya siap diperiksa," Sudomo menandaskan. Selain Sudomo, bekas Menteri Keuangan Sumarlin adalah orang kedua yang cukup direpotkan oleh isu kredit macet Eddy Tansil. Penjaga gawang BPK ini semula menghindar dari wartawan. Tapi akhirnya Sumarlin membenarkan bahwa ia telah menerima semacam surat referensi dari Menko Polkam. Bedanya, Sumarlin tidak pernah mendisposisikan surat itu ke siapa pun. Termasuk kepada bankir pemerintah. "Saya tidak bisa dipengaruhi oleh siapa pun," katanya. Akan halnya Sudomo jelas terlihat kecewa terhadap Arnold Baramuli, anggota Komisi VII DPR RI, yang mengungkapkan kredit Goden Key ini ke permukaan. Kata Sudomo, tindakan itu tidak etis, karena membongkar rahasia bank. Maka, Sudomo berniat menggugat anggota Komisi VII yang juga pengusaha ini ke pengadilan. Kapan gugatan itu akan dilakukan? "Ya, nantilah," katanya tanpa memberi tahu waktu yang tepat. Ternyata, Baramuli tak gentar. "Silakan tuntut, asal jelas dasar hukumnya. Itu hak setiap orang, kok," katanya kalem. Bos Poleko Group ini (antara lain memiliki pabrik sampo Kao) berani berkata demikian karena merasa data-data yang dimilikinya tentang pinjaman Golden Key di Bapindo cukup lengkap dan sahih. Sambil menyembunyikan identitas sumber infonya, Baramuli berkisah bahwa seorang rekannya di Kadin telah menginformasikan nasib pengusaha kecil di daerah yang sulit memperoleh kredit dari bank. Mereka terlebih dulu dituntut untuk menyediakan agunan yang cukup. Sebaliknya, Eddy Tansil bisa dengan mudah memperoleh pinjaman US$ 430 juta, bahkan tanpa agunan yang memadai. Anggota Komisi VII ini penasaran. Ia kemudian mencari bukti dengan melakukan investigasi ke beberapa pejabat dan pengusaha. Akhirnya Baramuli yakin bahwa info itu benar adanya, setelah dengan diam-diam ia mengutus orang kepercayaannya ke lokasi pabrik milik Golden di Cilegon. Ketika itu, Oktober 1993, unit-unit pabrik masih berserakan. Jadi, dua tahun setelah usance L/C diubah menjadi red clause L/C dan seluruh kredit dicairkan (sekitar akhir 1991), di lokasi pabrik belum ada barang-barang modal yang seharusnya sudah dipasang dan beroperasi. Lalu Baramuli melakukan pengecekan silang ke Gubernur BI saat dengar pendapat 1 Februari lalu. Saat itu Soedradjad Djiwandono tak bersedia menjawab dengan alasan "tidak terlalu memahami". Tapi salah seorang direkturnya, Hendrobudiyanto, mengatakan bahwa kabar itu benar dan sedang dalam proses penyelesaian. "Berarti kan sudah terkonfirmasi," kata Baramuli. Itulah sebabnya, ia berani membuka kasus ini di forum DPR. Ia dan rekan-rekan komisinya merasa penasaran, kenapa Eddy yang tidak berpengalaman di industri kimia bisa memperoleh kepercayaan begitu besar. Dan bagaimana proses pengubahan usance L/C ke red clause L/C? Lalu, perusahaan milik siapa yang berlokasi di Hong Kong dan menarik kredit dari Bapindo ini? Hal-hal yang gelap seputar kredit macet Eddy Tamsil tak juga bisa tersingkap, karena Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad dan Dirut Bapindo Towil Heryoto tidak bersedia melakukan hal itu. Alasannya, "tak mau melanggar rahasia bank yang dilindungi undang-undang". Begitupun Gubernur BI, yang tak mau berkomentar barang sepatah pun. Namun, informasi yang dikejar Baramuli itu dibocorkan oleh kalangan bawah di Bapindo. Mengapa? "Karena tidak semua jajaran Bapindo (maksudnya di luar direksi) setuju dengan pengucuran kredit ini," kata sumber TEMPO yang menolak disebut namanya ini. Katanya, perubahan ke red clause L/C memang benar dilakukan oleh kepala cabang Bapindo Jakarta. Tapi itu atas persetujuan semua direksi. "Tanpa ada acc dari direksi, tak mungkin bisa jadi red clause," katanya yakin. Itu berarti, melibatkan semua anggota direksi Bapindo semasa "pemerintahan Subekti Ismaun", yang di dalamnya ada Towil Heryoto, Bambang Koentjoro, dan Syahrizal (kini Direktur Utama BTN). Sebagai bukti, si empunya cerita menunjukkan sebuah surat persetujuan permohonan kredit yang nilainya Rp 80 miliar. Di surat itu jelas terlihat tanda tangan dan paraf serta cap tanda setuju yang dibubuhkan 16 pejabat Bapindo. Konon pula perubahan ke red clause, yang nilainya ratusan miliar rupiah. Adapun dana yang telah masuk ke kocek Golden Key, ini pun masih simpang-siur. Ada yang bilang, dana kredit itu diperoleh dari penjualan bank's draft yang diterbitkan Bapindo dan dibeli oleh bank-bank pemerintah lainnya. Jadi, Bapindo sama sekali tidak mengeluarkan uang. Namun, versi lain mengatakan, bank's draft (semacam surat pernyataan utang yang akan dibayar Bapindo) sebenarnya tak ada. Jadi, seperti ditulis TEMPO pekan lalu, Bapindo tetap bertindak sebagai bank tunggal penyalur kredit, karena BDN dan Bank Ekspor Impor Indonesia tak bersedia terlibat. Adapun dananya diperoleh Bapindo dari sumber-sumber di luar negeri. Nah, justru inilah yang dikhawatirkan Baramuli. Kalau benar Bapindo meminjam dari sumber asing, apakah pada saat jatuh tempo (diperkirakan akhir 1994) Bapindo bisa punya duit sebanyak itu? "Kalau tidak, ini kan berarti negara yang harus membayar," ujar Baramuli mempersoalkan. Sampai di sini, inisiatifnya menemukan jalan buntu. Hak interpelasinya (hak bertanya) terbentur pada tembok yang tak nyata tapi ada. Satu hal, Eddy Tansil sudah dicekal. Tentang Bapindo, ya, tunggulah saja.Budi Kusumah, Dwi S. Irawanto, Sri Wahyuni, Bambang Aji, Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum