TAK seorang pun menyangka bekas Menko Ekuin Ali Wardhana akan "muncul" dari balik tumpukan data yang selama ini mendominasi meja kerjanya di Departemen Keuangan, Jakarta. Ia tidak hanya "muncul", tapi angkat suara. Dan pendapatnya mengejutkan banyak orang. Pada Sidang Pleno ke-7 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Banjarmasin, awal pekan silam, Ali Wardhana, yang kini bertugas sebagai penasihat Pemerintah, menggelar kenyataan tentang utang luar negeri Indonesia dan beban yang ditimpakannya pada neraca transaksi berjalan. Diingatkannya bahwa debtservice ratio (DSR atau perbandingan kewajiban membayar utang dengan perolehan dari ekspor) kita sekarang, sudah sekitar 34%. Jumlah utang luar negeri komersial yang dilakukan oleh swasta selama lima enam tahun terakhir memang sangat meningkat, hingga mencapai US$ 23 milyar. Jika ditambah dengan utang Pemerintah (sebagian besar berjangka panjang danmenengah), utang atau outstanding debt kita seluruhnya US$ 78 milyar. Maka, Ali Wardhana berucap, "Masalah pengelolaan utang luar negeri atau debt management menjadi sangat penting." Soal debt management yang lebih baik, sebenarnya sudah disinggung dalam Laporan Bank Dunia Mei lalu. Hal itu sekarang ditegaskan lagi oleh Ali Wardhana, bahkan di depan forum ISEI, yang sebagian anggotanya aktif sebagai pengambil keputusan di pemerintahan. Maka, adalah penting untuk menelaah, sejauh mana Pemerintah telah mengurus perkara utang tersebut. Sejak Tim PKLN (pinjaman komersial luar negeri di bawah ketua Menko Ekuin Radius Prawiro) bergerak -- berdasarkan Keppres No. 39 tahun 1991 -- gelombang utang luar negeri yang mengancam neraca transaksi berjalan segera reda. Tapi tidak lama. Mungkin juga reda, tapi semu. Apalagi sejak proyek olefin Chandra Asri, yang sempat dijadwalkan kembali oleh Tim PKLN, kemudian dibolehkan jalan terus. Kendati dengan status PMA sebagai salah satu syarat untuk tidak ditunda fakta menunjukkan bahwa mayoritas pemiliknya tetap Prajogo Pangestu dkk. Kemungkinan perubahan status menjadi PMA itu pun kemudian dibuka oleh Pemerintah untuk proyek besar yang lain. Dengan demikian mereka bisa memasukkan modal dari luar negeri. Sebagian bisa berupa equity, tapi sebagian lagi tentu berupa dana pinjaman dari bank. Berarti, sebagai utang harus dibayar oleh perusahaan itu di Indonesia. Banyak pengamat menilai bahwa cicilan utang semacam ini juga ikut mempengaruhi transaksi berjalan. Apalagi kalau produk yang bersangkutan bergantung pada pasar lokal (berpendapatan rupiah). Seorang pejabat Departemen Keuangan mengatakan kepada TEMPO bahwa yang diaturoleh Tim PKLN adalah pinjaman oleh Pemerintah atau swasta yang ada kaitannya dengan badan usaha milik negara (BUMN). Jadi, kalau proyeknya macet dan tak mampu mencicil pinjaman, Pemerintah terpaksa turun tangan. Ini bahaya. Yang juga dikontrol oleh Tim PKLN adalah pinjaman komersial yang dilakukan oleh bank-bank, terutama bank Pemerintah. Pinjaman mereka diatur dengan ketentuan posisi devisa neto, yang mewajibkan aktiva valuta asing maksimal 20% dari modal. "Jadi, kalau swasta mau pinjam ke luar negeri tanpa melalui bank, terutama bank Pemerintah, tetap masih boleh. Apakah pinjamannya sampai Rp 2 trilyun atau lebih," kata pejabat senior tersebut. Ia menegaskan, "Utang komersial kita belum parah. Pak Ali Wardhana itu kancuma kasih nasihat agar kita tetap waspada." Benarkah? "Jumlah utang komersial itu sendiri tidak bisa dipastikan, karena setiap hari angkanya berubah," katanya melanjutkan. "Bahwa ada kenaikan, itu betul. Dari seluruh pinjaman (Pemerintah dan swasta) yang sekarang jumlahnya US$ 78 milyar, porsi utang komersial sudah 40%-nya. Ini jauh meningkat dibandingkan periode 1980-an, ketika masih sekitar 10%," katanya menjelaskan. Tim PKLN bertugas mengontrol agar jumlah utang komersial tidak meningkat lagi. Soalnya, kecenderungan ini berdampak menaikkan suku bunga. Hal itu punsudah diakui kalangan pengusaha. Mereka sekarang dikenai bunga pinjaman 6-7% untuk pinjaman dolar, atau sangat jauh di atas Libor (London Inter Bank Offered Rate, yang sekitar 4%). Padahal, sebelum zaman uang ketat yang menyebabkan banyak swasta mencari dana ke luar negeri mereka masih dikenai bunga pinjaman rata-rata 1% di atas Libor. Menurut Ali Wardhana, itu bukti bahwa pinjaman kita sudah amat banyak atau over exposed. "Cerminan dari overexposed adalah margin yang terlalu tinggi," katanya, ketika diwawancarai TEMPO di Jakarta. Muangthai dan Malaysia bisa memperoleh kredit dengan rentang (spread) dari Libor nol koma sekian persen. Kita sekarang jauh di atas 1%. "Ini merupakan aba-aba bahwa utang kita terlalu banyak," Ali menegaskan. Sementara itu, bank di luar negeri biasanya memiliki country ceiling atau batas tertinggi jumlah pinjaman bagi negara tertentu. Kalau jatahnya habis, sementara yang berminat masih banyak, akan muncul persyaratan tambahan. Lebih lagi merepotkan, karena seperti kata seorang pejabat Departemen Keuangan, utang komersial umumnya berjangka pendek. "Kalau sudah begitu, dampaknya membebani neraca pembayaran kita. "Menurut Ali Wardhana, kalau pinjaman luar negeri itu menuntut pembayaran yang menimbulkan defisit transaksi berjalan sampai 4% dari GDP kira-kira US$ 4,5 milyar maka itu sudah terlalu tinggi. Tim PKLN harus berusaha menurunkan dengan mengerem pinjaman. Kenyataan sekarang menunjukkan -- ini berdasarkan angka dari sumber TEMPO di Departemen Keuangan -- defisit transaksi berjalan pada tahun 1991-1992 diperkirakan mencapai US$ 4,7 milyar. Angka ini lebih tinggi US$ 620 juta (16,8%) dari defisit transaksi berjalan 1990-1991. Kalau tak ada Tim PKLN barangkali defisit itu lebih membengkak lagi. "Untuk menekan defisit, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan ekspor dan menghemat pengeluaran devisa," sumber itu menambahkan. Agaknya bertolak dari kondisi suram itulah, Ali Wardhana mengusulkan agar Tim PKLN, yang terdiri dari 10 menteri dan gubernur Bank Sentral, supaya menjadi lembaga yang bekerja permanen. "Supaya bisa terus-menerus melakukan pengawasan. Kalau utang luar negeri kita tidak diawasi secara ketat, kejadian lama akan terulang," ujarnya. Ia mengingatkan penjadwalan proyek-proyek Pertamina pada tahun 1975 dan 1983 yang terpaksa dilakukan karena tekanan utang. Namun, usul itu terdengar aneh bagi Sjahrir, pakar ekonomi dan Ketua Yayasan Padi Kapas. "Ini konyol. Ketika dibentuk tim tersebut bersifat sementara, saat situasi genting. Bukan untuk selamanya," tukasnya gusar. "Kalau dibuat permanen akan menambah birokrasi." "Sjahrir berpendapat bahwa sebaiknya Pemerintah meningkatkan aktivitas Dewan Moneter. Lembaga ini terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Sentral, Menteri Perdagangan, dan Ketua Bappenas. "Dewan Moneter yang harus menjaga stabilitas moneter, bukan membuat Tim PKLN menjadi permanen," ujarnya seakan mengoreksi gagasan yang dipandangnya salah itu. Ketika Dewan Moneter dibentuk pada tahun 1968, tugasnya antara lain memang menjaga stabilitas moneter dan mengatur uang beredar supaya jangan berlebihan. Utang luar negeri waktu itu belum banyak dan para teknokrat pun tidak menyangka kalau kemudian swasta berlomba-lomba cari utang ke mancanegara. Bagi Ali Wardhana, bisa saja Tim PKLN digabung ke Dewan Moneter. Katanya, untuk mengawasi secara terus menerus dan permanen, tak perlu lembaga khusus atau birokrasi baru. Bahwa Tim PKLN terdiri dari banyak menteri dibentuk, tak lain agar ada koordinasi kerja. "Soalnya setiap menteri ingin memprioritaskan proyeknya. Kalau mereka digabung, semua akan tahu berapa dana dan kemampuan kita," katanya. Yang juga penting tentu sikap waspada, selain kesatuan persepsi tentang bagaimana utang komersial harus dikelola. Mohamad Cholid, Bambang Aji, dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini