PENERBANGAN niaga di Indonesia maju pesat berkat deregulasi. Tapi kemajuan itu tidak diimbangi oleh lembaga pendidikan yang mencetak tenaga pilot. Jumlah pesawat terbang semakin banyak, sedangkan tenaga andal yang mampu membawanya ke angkasa kurang memadai. Tak usah heran bila pucuk pimpinan perusahaan penerbangan sama-sama mengeluh. Di tengah simposium New Concept In Education For Today's Airline Pilot di Pusdiklat Garuda Indonesia di Jakarta pekan lalu Menteri Perhubungan Azwar Anas mengungkap hal itu. Tahun 1991 tercatat hanya ada sekitar 1.910 pilot, sedangkan pesawat yang harus diterbangkan berjumlah 782 buah. Bila idealnya sebuah pesawat diterbangkan bergiliran oleh 10 pilot, maka mestinya ada kira-kira 6.000 pilot. "Sekarang terjadi ketimpangan. Satu pesawat hanya dioperasikan oleh tiga orang," kata Azwar. Tak kurang pentingnya apa yang diucapkan oleh Direktur Merpati Nusantara Airlines, Ridwan Fataruddin. "Sebelum tutup tahun 1992 ini kami membutuhkan 40 pilot baru," katanya pada Kompas. Karena sulit mencari pilot lokal, mereka terpaksa merekrut pilot asing. Begitu pula Garuda Indonesia, yang belum mencapai perbandingan ideal antara jumlah pesawat dan pilot. Tahun 1989 ia baru memiliki 600 pilot untuk menerbangkan 74 pesawat jet. Entah bagaimana, terbetik kabar tentang beberapa pesawat DC-10 yang terpaksa menganggur karena pilot tak ada. Tapi Direktur Utama Wage Mulyono mengatakan bahwa hal itu bukan berarti perusahaannya kekurangan pilot. "Pilot- pilot kami yang biasanya menerbangkan pesawat berbadan lebar sedang menjalani pendidikan," begitu alasannya. Yang belum mengeluh adalah PT Sempati Air. "Untuk mengoperasikan 12 pesawat -- 7 Fokker-100 dan 5 F-27 -- kami memiliki 126 pilot," kata Kapten Boedi Rahardjo, Direktur Operasi Sempati. Tiga di antara mereka adalah tenaga kerjaasing. Tapi untuk mengoperasikan tiga Boeing 737 dari Jepang, Sempati kini mendidik 30 calon pilot lokal di Kuala Lumpur, Malaysia. Azwar Anas memperkirakan Indonesia membutuhkan hampir 3.000 pilot baru hingga tahun 1995 -- berarti rata-rata 1.000 pilot tiap tahun (terhitung sejak 1992). Semula kebutuhan itu diharapkan dapat dipenuhi melalui lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, seperti PLP Curuk atau Duri Kosambi Garuda. "Nyatanya lembaga-lembaga itu hanya mampu mencetak 90-150 pilot per tahun," ujar Azwar. Tak dapat tidak, harus dicarikan jalan keluar yang lain. Untuk itu, Departemen Perhubungan, misalnya, akan meminjam sedikitnya 24 perwira penerbang dari TNI Angkatan Udara. Azwar juga tak mengharamkan tenaga asing. "Tapi mereka hanya dipakai pada masa transisi. Masa kerjanya pun hanya tiga bulan sampai satu tahun," begitu niat Azwar. Padahal inilah yang ditentang oleh pilot-pilot lokal. Kehadiran pilot asing setidaknya menyulut kecemburuan. Wage Mulyono mengakui, pilot asing digaji lebih tinggi daripada pilot lokal. Tapi ia tak menyebutkan perbandingannya. Tahun 1989, ketika pilot Garuda menuntut kenaikan gaji, seorang kapten pilot B 747 hanya menerima sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Sedangkan rekannya di Singapore Airlines mendapat Rp 5,78 juta. Priyono B. Sumbogo dan Ivan Harris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini