Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki, Eddy Martono, menanggapi soal awacana pemutihan lahan sawit dari pemerintah yang bakal ditargetkan pada September 2024i.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia tidak setuju dengan rencana pemerintah soal pengembalian lahan sawit ke fungsi hutan disebut sebagai pemutihan. "Saya tidak setuju dengan kata-kata pemutihan, ini bukan pemutihan," kata Eddy saat di acara halal bihalal Gapki di hotel Sharing-La, Jakarta Pusat pada Selasa, 30 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto meminta kementerian dan lembaga terkait untuk memprioritaskan legalisasi lahan sawit dalam kawasan hutan. Pemerintah saat ini sedang memproses pemutihan hutan melalui mekanisme Undang-Undang Cipta Kerja.
Eddy menyebut ada 569 perusahaan anggota Gapki yang perkebunan sawitnya masuk dalam kawasan hutan dengan tanah seluas 810 hektar dari 3,2 juta total yang diklaim masuk kawasan hutan.
"Ini kalau dikatakan pemutihan 110 B (Undang-Undang Cipta Kerja) kalau dibaca itu yang tidak punya izin. Sementara anggota Gapki itu semua punya izin lokasi, IUP juga punya, tapi yang belum punya memang HGU (Hak Guna Usaha) dan tiba-tiba dalam perjalanan masuk ke kawasan hutan itu harus mengurus pelepasan kawasan hutan tapi dianggapnya belum punya izin pelepasan kawasan hutan," paparnya.
Mekanisme 110 A dan 110 B adalah mekanisme pemutihan lahan sawit yang diatur di Undang-undang Cipta Kerja. Pasal 110 A berlaku untuk perkebunan di kawasan hutan yang memiliki izin lokasi atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan sebelum adanya Undang-undang Cipta Kerja. Sementara pasal 110 B berlaku untuk penyelesaian terhadap perkebunan dalam kawasan hutan yang belum memiliki perizinan di bidang kehutanan.
Selanjutnya: Sementara lahan sawit keseluruhan nasional yang masuk dalam mekanisme pasal....
Sementara lahan sawit keseluruhan nasional yang masuk dalam mekanisme pasal 110 B sebanyak 2,4 juta dan 1,2 Juta yang masuk pasal 110 A. Eddy menyebut dengan rencana pemerintah itu bakal ada hasil perkebunan yang berkurang dan pendapatan yang menghilang.
"Kalau kami rata-ratakan punya produksi minyak sawit per hektar 3 ton maka tinggal kalikan saja 2,4 juta. itu yang akan hilang," ujarnya.
Eddy tidak setuju dengan diksi pemutihan karena meski masuk dalam pasal 110 A dan 110 B, anggotanya diklaim tidak melakukan pelanggaran, hanya tumpang tindih masalah izin yang pernah dibuat.
Kemudian, Eddy mengklaim rata-rata nasional usia tanaman sawit 15 sampai 17 tahun mulai tahun 2005 dan yang telah ditanam petani Gapki sudah memiliki SHM.
"Makanya saya tidak setuju dikatakan pemutihan. Kecuali kalau semua melanggar masalahnya posisinya perusahaan itu ada izin paling tidak izin lokasi IUP dan beberapa ada yang sudah ada HGU, petani juga punya SHM," ujarnya.
Eddy menyebut potensi denda yang harus dibayarkan ke pemerintah untuk penerapan pasal 110 B di kisaran Rp 100 sampai Rp 130 juta per hektar. Sementara pasal 110 A hanya dikisaran Rp 6,5 juta.
Pemberitahuan soal penetapan kebun sawit itu termasuk pasal dan berapa denda yang harus dibayarkan sudah otomatis dikirim pemerintah ke email pengusaha. Eddy mengatakan anggotanya setelah menerima email itu diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan dengan melampirkan bukti yang kuat. Dia juga tidak memungkiri jika seorang pengusaha bisa dapat pemberitahuan tanahnya terkena di dua pasal. "Misalnya sudah ada teman dapat 110 A luasnya misalnya dia kena 1.000 hektare. Kok ditagih 400, berarti yang 600 hektar bisa masuk 110 B, gitu saja," tuturnya.