Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Garuda Melepas Armada Jumbo

Garuda Indonesia masih memiliki daya tawar di mata lessor karena menghadapi kondisi kahar.

25 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pesawat Garuda Indonesia di Terminal 3 Sukarno Hatta, Tanggerang, Banten. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Garuda Indonesia mengembalikan 80 pesawat kepada lessor.

  • Pengembalian pesawat dilakukan untuk memangkas beban operasi.

  • Garuda akan menghadapi gugatan wanprestasi akibat pengembalian pesawat.

JAKARTA – Restrukturisasi bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memasuki tahap baru. Maskapai penerbangan pelat merah ini mengembalikan armada dalam jumlah besar kepada lessor dan membatalkan pembelian pesawat baru demi memangkas beban keuangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan dari Cirium yang diterbitkan oleh Flight Global menyebutkan Garuda Indonesia akan mengembalikan 80 pesawat, rata-rata pesawat berbadan lebar atau wide body, termasuk yang tarif sewanya sudah turun. Garuda juga membatalkan pesanan 90 unit pesawat baru. Saat dimintai tanggapan soal ini, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, menyatakan restrukturisasi terus berjalan. “Semua masih dalam diskusi,” kata dia, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampai awal tahun ini, Garuda Indonesia mengelola 142 unit pesawat, yang terdiri atas 12 unit milik sendiri dan 130 unit armada sewaan dari lessor. Mayoritas armada Garuda adalah buatan Boeing, yaitu 74 unit B 737 dan 10 unit B777-300ER. Garuda juga mengoperasikan 27 pesawat Airbus A330, 18 unit Bombardier CRJ-1000, serta 13 unit ATR-72.

Maskapai penerbangan Garuda Indonesia di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, 7 Juni 2021. TEMPO/Tony Hartawan

Laporan Cirium juga menyebutkan rencana Garuda untuk menghapus pesawat Boeing B777-300ER dan 7 unit Airbus A330-200 dari daftar armada perusahaan. Ada juga rencana pengurangan 8 unit Airbus 330-300. Garuda menyewa pesawat wide body itu dari beberapa lessor, seperti ALAFCO asal Kuwait, Altavair dari Amerika Serikat, serta ICBC Leasing, Cina. Adapun Airbus A330-200 disewa dari Air Lease, Aircastle, Avolon, Carlyle Aviation Partners, CMIG Leasing, DAE Capital, serta TrueAero. Satu-satunya pesawat Boeing 737 Max juga akan dikembalikan ke Bocomm Leasing.  

Presiden Direktur Aviatory Indonesia, Ziva Narendra Arifin, mengatakan pemangkasan armada harus dilakukan demi mengurangi beban operasi. Apalagi, kata dia, arus penumpang sedang surut karena pandemi Covid-19. “Khusus Boeing 777, Airbus 330, Bombardier CRJ, dan ATR-72, performanya terus menurun,” ujarnya, kemarin. Meski tergolong pesawat wide body, produktivitas Airbus A330, menurut Ziva, tetap positif karena efisien untuk penerbangan domestik jarak jauh serta untuk pesawat carter kargo ukuran besar.

Ziva mengakui bahwa Garuda akan menghadapi gugatan wanprestasi akibat pengembalian dan pembatalan kontrak pemesanan itu. Namun, kata dia, Garuda dan semua maskapai penerbangan masih memiliki daya tawar secara hukum karena keadaan kahar Covid-19. Menurut dia, lessor kini sedang merugi, meski tak separah maskapai penerbangan. “Rugi target sales, namun rata-rata lessor memiliki likuiditas hingga 10 kali lipat dari jumlah aset yang dipinjamkan. Jadi, sepertinya akan mudah mencari pengguna lain,” tutur Ziva.

Ihwal perkara hukum, Garuda masih berhadapan dengan beberapa lessor, seperti SMBC Aviation Capital Limited dan AVAP Leasing (Asia) Pte Ltd di beberapa pengadilan arbitrase.

Dosen hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan manajemen Garuda harus bisa mengajak lessor bernegosiasi. “Tidak bisa menang sendiri, penandatanganan kontrak dulu tanpa prediksi akan ada pandemi,” kata dia.

Anggota Komisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dewan Perwakilan Rakyat, Andre Rosiade, mendesak manajemen Garuda memangkas biaya leasing pesawat sebanyak mungkin. Dia mengatakan pendapatan dari 40 pesawat Garuda yang terbang saat ini hanya US$ 72 juta per bulan. Padahal beban perawatan dan penyimpanan pesawat mencapai US$ 80 juta per bulan. “Fokus saja dulu mengembalikan pesawat,” ucapnya.

Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan pemerintah pun menunggu kajian perseroan terhadap semua konsekuensi hukum. “Kami minta manajemen Garuda Indonesia mempelajari, dan setelah tahu langkahnya, barulah pemerintah menyusun rekomendasi.”

FRANCISCA CHRISTY ROSANA | YOHANES PASKALIS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus