Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak orang menghela napas lega saat membaca data terbaru ekonomi Tiongkok, Senin pekan lalu. Biro statistik Cina menyampaikan ekonomi tumbuh 6,9 persen pada kuartal ketiga 2015, sedikit di atas perkiraan analis sebesar 6,7 persen. Pemerintah Cina pun mengklaim target pertumbuhan 7 persen untuk 2015 bakal tercapai.
Sayangnya, hawa optimisme ini tidak bertahan lama. Banyak analis sekarang justru ragu terhadap statistik Cina. Mereka, sejak devaluasi yuan sebesar 1,9 persen pada 11 Agustus lalu, yakin bahwa pelemahan ekonomi Tiongkok sebenarnya jauh lebih parah ketimbang versi data resmi. Berikutnya, perasaan cemas kian menghantui pasar setelah lembaga investasi terkemuka Goldman Sachs menegaskan bahwa empasangelombang ketiga krisis dunia sudah tiba.
Setelah gelombang pertama melanda Amerika pada 2008-2009, dan yang kedua menghantam zona euro hingga tahun lalu, kini gelombang ketiga akan menggenangi negara-negara berkembang. Masalah terbesar yang berpotensi memicu tsunami ketiga ini adalah gunung utang.
Menurut perhitungan HSBC yang dilansirThe Economist, rasio utang korporasi nonfinansial negara-negara berkembang rata-rata mencapai 90 persen produk domestik bruto. Di Asia, rata-rata rasio itu bahkan mencapai 125 persen. Sekitar sepertiga utang itu dalam dolar Amerika Serikat.
Dalam keadaan ekonomi lesu, beban korporasi membayar utang akan semakin berat. Depresiasi mata uang negara berkembang juga membuat beban pembayaran utang dalam dolar semakin tak terperikan.
Korban yang sudah jatuh adalah Sinosteel, BUMN Tiongkok pedagang besi. Sinosteel gagal membayar bunga obligasinya yang jatuh tempo pada Selasa pekan lalu. Pemerintah Cina tentu tak akan membiarkan ada BUMN-nya bangkrut. Tapi sinyal buruk Sinosteel ini sudah menjadi peringatan awal yang bikin merinding. Sekadar catatan, total utang BUMN Cina mencapai US$ 11,3 triliun.
Di Indonesia, tekanan utang korporasi juga sudah terasa. Bukan hanya utang korporasi yang jatuh tempo selama setahun ke depan senilai US$ 42 miliar, yang dapat menjadi sumber penekan kurs rupiah (Tempo, 18 Oktober 2015), secara keseluruhan peningkatan beban pembayaran utang luar negeri sudah terasa sekarang ini.
Statistik Bank Indonesia terbaru menunjukkan rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri dalam rangka investasi langsung sudah mencapai 56,32 persen pada akhir kuartal kedua 2015. Ini jauh di atas patokan aman BI yang menggariskan batas 30-33 persen.
Berbagai sentimen negatif ini membuat penguatan rupiah mendadak kehilangan daya dorong. Setelah sempat kuat di level 13.288 per dolar Amerika, 15 Oktober lalu, nilai rupiah berdasarkan kurs tengah BI pelan-pelan semakin lemah, 13.640 pada 22 Oktober.
Sejauh ini belum tampak sinyal positif yang dapat mendorong rupiah. Ada kabar, pemerintah akan menerbitkan deregulasi yang jauh lebih progresif dengan mengatur kawasan ekonomi khusus secara lebih bebas, sehingga lebih menarik buat investor. Tapi rencana itu masih terbelit tarik-ulur di sidang-sidang kabinet. Pemerintah agaknya masih belum percaya bahwa tsunami krisis global yang ketiga sejak 2008 sudah di depan mata.
Kontributor Tempo
KURS Rp per US$
Pekan lalu 13.418
13.491
Penutupan sesi I, 23 Oktober 2015
IHSG
Pekan lalu 4.507
4.644
Penutupan Sesi I, 23 Oktober 2015
INFLASI
Bulan sebelumnya 7,18%
6,83%
Sept. 2015 YoY
BI RATE
Pekan sebelumnya 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
31 Agustus 2015 US$105,4 bn
US$ billion 101,7
30 Sept, 2015
PERTUMBUHAN PDB
2014 5,0%
5,1%
Target Pemerintah 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo