Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maju-Mundur Proyek Abadi

Nasib investasi Inpex di Blok Masela, Laut Arafura, kian tak jelas akibat adu argumen di kalangan internal pemerintah. Jadwal produksi gas terancam molor dari target 2024.

26 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALFI Rusin buru-buru menginterupsi pernyataan Direktur Pembinaan Hulu Migas Djoko Siswanto. Dalam rapat di Hotel Atria, Gading Serpong, Banten, pada Kamis siang tiga pekan lalu, Alfi kurang sreg saat Djoko menyebutkan pertemuan itu hendak membahas opsi mana yang paling tepat untuk melanjutkan pengembangan Blok Masela di Laut Arafura, Maluku. Dua pilihan yang disodorkan: pengembangan lepas pantai (offshore) atau di darat (onshore).

"Saya bilang jangan begitu. Karena, bila pada akhirnya salah satu opsi dipilih (dalam pertemuan itu), akan muncul dugaan siapa pemain di belakang usulan tersebut," kata Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Minyak Indonesia ini, saat menceritakan kembali rapat tersebut, Kamis pekan lalu. Itu sebabnya Alfi mengusulkan agar pemerintah merusmukan kembali opsi mana yang memberi manfaat maksimal.

Tak cuma Ikatan Ahli Teknik Minyak Indonesia (IATMI) yang memberikan usul. Diskusi dua jam itu juga mendengarkan masukan dari pemangku kepentingan lain. Di antaranya pejabat dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), serta perwakilan operator Inpex Masela Ltd dan Shell Plc. Dari kalangan asosiasi profesi, ada Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Minyak dan Gas Bumi dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Adapun Forum Tujuh Tiga (Fortuga) ITB, kumpulan angkatan 1973 ITB, yang diundang karena kerap bersuara tentang Masela, absen dalam pertemuan itu.

Pertemuan tersebut menjadi arena tukar pendapat setelah pengembangan Blok Masela dikritik Rizal Ramli, akhir September lalu. Menteri Koordinator Kemaritiman ini ujug-ujug meminta SKK Migas mengkaji ulang rencana pengembangan Blok Masela setelah rencana pengembangan blok ini disampaikan ke Kementerian Energi. "Rencana ini harus dibahas komprehensif supaya menguntungkan Indonesia," kata dia di kantornya.

Ia mempersoalkan rencana Inpex dan Shell membangun fasilitas kilang gas cair terapung (FLNG) untuk memproses gas di laut. Alih-alih merinci alasannya, ia menuding pembangunan kilang bakal buang-buang duit. Sebab, selain butuh investasi jumbo hingga US$ 19,3 miliar, angka proyek itu bisa melonjak karena teknologi tersebut termasuk baru di dunia.

Ketimbang membangun kilang gas cair terapung, Rizal mengusulkan pembangunan pipa. Menurut perhitungan Rizal, dengan panjang pipa sekitar 600 meter ke Pulau Aru, operator cukup merogoh kocek sekitar US$ 14,6-15 miliar. "Manfaatnya banyak. Terjadi pengembangan wilayah, terciptanya lapangan pekerjaan baru, dan proyek lebih efisien," kata Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini.

Kritik Rizal mendapat dukungan koleganya di Fortuga. Menurut Yoga Suprapto, mantan Direktur Utama PT Badak NGL, proyek LNG terapung belum pernah dipraktekkan di Indonesia. Proyek LNG terapung, kata dia, juga belum ada yang terbukti beroperasi di dunia. Ia merujuk tiga kilang LNG terapung yang saat ini masih dalam tahap kontruksi, yakni FLNG Prelude milik Shell di Australia dengan kapasitas 3,6 juta ton per tahun, serta Petronas PFLNG 1 dan PFLNG 2 dengan kapasitas masing-masing 1,5 juta ton.

Pembangunan kilang terapung dinilai lebih banyak mudaratnya. Menurut Yoga, konsep ini bakal mematikan peluang industri petrokimia di Maluku. Padahal potensi gas berlimpah di Laut Arafura ini menjadi kesempatan menumbuhkan industri tersebut. "Dampak bila Masela dikembangkan di laut harus ditelaah lagi," ujar Yoga.

Merasa dapat catatan dari sana-sini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said batal membuat keputusan. Ia akhirnya menunjuk konsultan internasional dan memundurkan jadwal dari paling lambat 10 Oktober menjadi akhir Desember. Tujuannya agar ada masukan yang netral dari pihak profesional di luar SKK Migas dan operator yang selama ini menggeluti Masela.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi I G.N. Wiratmaja punya pendapat lain. Penunjukan konsultan ini karena SKK Migas dianggap hanya mengkaji faktor kelayakan teknis dan ekonomi. Padahal ada empat faktor lain yang perlu dikaji, yakni aspek risiko permodalan, efek ganda, jumlah kandungan dalam negeri, dan detail waktu pengembangan. Ia menuding SKK Migas hanya mengandalkan data dari operator, sehingga perlu keterlibatan pihak independen.

Amien Sunaryadi menampik tuduhan tersebut. Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2003-2007 ini, usul pengembangan Blok Masela telah melalui kajian selama setahun. Bahkan ia menugasi para anggota Tim Teknis SKK Migas untuk mencari rujukan dari perusahaan-perusahaan terbaik di luar negeri yang paham teknologi kilang gas terapung dan pipa. "Kalau soal regional development atau local content sudah dibahas. Kesimpulannya, pilihan terbaik untuk Masela adalah FLNG," ujarnya, Selasa pekan lalu.

* * * *

PERMOHONAN untuk mengembangkan Blok Masela sudah diajukan Inpex Corporation ke Badan Pengatur Hulu Migas sejak 1998, tak lama setelah perusahaan asal Jepang itu menemukan potensi gas di sana. Pada saat itu cadangan gas terbukti di Lapangan Abadi, laut Arafura, mencapai 6,05 triliun kubik.

Karena posisi sumber gas berada di kedalaman 400 meter dengan kondisi palung yang dalam, ada alternatif membangun pipa ke arah Darwin, Australia, lalu mendirikan kilang di sana. Aussie B. Gautama, pejabat SKK Migas yang paham proses tersebut, mengatakan cara itu paling masuk akal karena jarak sumber gas ke kota tersebut hanya 400 kilometer. "Sedangkan kalau mau membangun di Pulau Aru harus melewati palung," kata Aussie. Artinya, dari posisi 400 meter itu, pipa harus turun lagi ke 1.500 meter, baru naik ke permukaan.

Pemerintah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak usul itu. Alasannya, pengembangan Masela harus dilakukan sepenuhnya di Indonesia dengan pilihan di darat atau laut. Bila di darat, dari kedalaman 400 meter, pipa harus turun lagi ke kedalaman 1.500 meter, sebelum naik ke permukaan. Proyek pipa itu tetap membutuhkan investasi untuk membuat floating processing storage and offloading (FPSO), yang digunakan sebagai fasilitas memisahkan kondensat dari gas. "Ini akan lebih kompleks. Belum lagi harus membangun kilang di darat," ujar Aussie.

Karena itu sejak lima tahun lalu pemerintah sepakat pengembangan Masela menggunakan kilang LNG terapung berkapasitas 2,5 juta ton per tahun. Dengan opsi tersebut, gas dari dalam laut bisa langsung diproses di kapal. Tapi tiga tahun kemudian Inpex mengajukan revisi proyek. Perbaikan itu disampaikan setelah ditemukan tambahan cadangan di Lapangan Abadi, yang mengharuskan ada penambahan kapasitas kilang dari 2,5 juta ton per tahun menjadi 7,5 juta ton per tahun agar investasi efisien.

Proses pembahasan revisi dengan tim teknis SKK Migas baru rampung tahun ini. Aussie mengatakan rekomendasi plan of development (POD) tersebut mestinya sudah dinilai oleh Menteri ESDM Sudirman Said agar proyek bisa berlanjut jika produksi ditargetkan mulai 2024. Belum sempat diputuskan Sudirman, Rizal keburu mengeluarkan "jurus ngepret"-nya sehingga nasib pengembangan Masela semakin terkatung-katung. Aussie menghitung, setiap satu tahun kemunduran operasi, penerimaan negara US$ 3,5 miliar atau Rp 49 triliun tertunda.

Inpex Corporation tak bisa berkomentar banyak tentang tarik-menarik argumen di kalangan internal pemerintah itu. Tapi, menurut juru bicara Inpex, Arie Nauval, SKK Migas sudah melakukan kajian mendalam sehingga proyek Lapangan Abadi ini bisa membantu kebutuhan energi tanah air dan memberikan efek ganda bagi wilayah sekitarnya. "Selebihnya kami menunggu persetujuan pemerintah, sambil bersiap-siap masuk ke fase selanjutnya," kata Arie.

Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie, Robby Irfani


Mencari Mitra Menuju Masela

EMPAT bulan setelah daerah yang dipimpinnya mendapat hak partisipasi 10 persen, semangat Gubernur Maluku Said Assagaff tak pernah kendur. Dalam hampir setiap rapat, ia menyinggung rencana investasi di blok gas yang terletak di Laut Arafura.

Apalagi sudah banyak investor swasta yang menawarkan proposal kerja sama. "Tapi kami harus hati-hati mengambil keputusan," ujar Said, Kamis pekan lalu. Ia tak ingin keputusan itu ujungnya merugikan daerah. Itu sebabnya, Pemerintah Provinsi Maluku akan melibatkan konsultan independen.

Pemerintah Provinsi Maluku memang perlu menggandeng partner lain. Sebab, setelah Inpex Corporation mengajukan revisi rencana pengembangan, nilai investasi Blok Masela melonjak menjadi US$ 14 miliar.

Akibatnya, dana investasi yang mesti disiapkan untuk merealisasi penyertaan modal di Lapangan Abadi Masela turut menggelembung. Empat tahun lalu, Pemerintah Provinsi Maluku sudah menyiapkan dana Rp 14 triliun. Dana itu rencananya dikucurkan melalui badan usaha daerah, yakni PT Maluku Energi. Setelah nilai investasi membengkak, dana yang mesti disiapkan Pemerintah Provinsi Maluku melonjak menjadi US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 20,23 triliun.

Agar daerah bisa berpartisipasi, juru bicara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Elan Biantoro, menyebutkan pemerintah daerah sebaiknya bekerja sama dengan operator lapangan. Skema peminjaman dan pelunasannya, kata Elan, bisa diselesaikan secara business to business.

Meski opsi menggandeng operator blok diizinkan, pemerintah daerah perlu memastikan kerja sama tersebut tak membebani pihak mana pun. Menurut Elan, jangan sampai operator memandang kerja sama ini sebagai syarat tambahan yang harus dipenuhi Inpex. Apalagi Inpex sedang menanti hasil revisi rencana pengembangan Blok Masela dan permohonan perpanjangan kontrak.

Berbeda dengan Elan, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengusulkan Pemerintah Provinsi Maluku menggandeng perusahaan pelat merah, antara lain PT Pertamina (Persero) dan PT Saka Energy, anak usaha PT PGN (Persero). Mamit beralasan, dua perusahaan itu cukup berpengalaman mengelola blok migas. "Kerja sama BUMN juga lebih menjamin keuntungan negara ataupun pemerintah Maluku sendiri," ujarnya. Kerja sama dengan badan usaha milik negara itu bisa dilakukan dengan membentuk perusahaan patungan.

Solusi lainnya, kata Mamit, menggandeng perbankan pelat merah. Tujuannya agar pembiayaan bagi pemerintah daerah tetap mengucur dengan kredit ringan. Mamit menambahkan, pemerintah daerah juga bisa menggandeng PT Sarana Multi Infrastruktur untuk mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah.

Bila ketiga cara itu buntu, barulah pemerintah daerah bekerja sama dengan pihak swasta. Menurut Mamit, Kementerian Energi dan SKK Migas bisa terlibat untuk memeriksa kelayakan investor swasta tersebut. "Jangan sampai bekerja sama dengan perusahaan yang ekuitasnya buruk," katanya.

Menurut Said, pihaknya sudah mempertimbangkan berbagai solusi tersebut. Ia memang membuka peluang bekerja sama dengan PT Pertamina dan perbankan pelat merah. "Semua cara sudah kami pikirkan," ujarnya.

Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus