Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gerda Taro mendapat julukan Si Rubah Merah Kecil karena menjadi fotografer perang wanita pertama di dunia yang dikenal dengan hasil jepretannya yang kritis, sensitif, berani dan sangat dekat dengan zona pertempuran. Gerda Taro Taro lahir pada 1 Agustus 1910, di kota Stuttgart, Jerman. Ia lahir dengan nama Gerta Pohorylle.
Baca: Ingin Selamat dari Perang Dunia III? Pindahlah ke Negara Ini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerda Taro mulai memotret momen-momen perang sipil di Spanyol yang berlangsung pada tahun 1936-1939. Nama Taro semakin dikenal dan diperhitungkan saat menghasilkan foto-foto perang eksklusif nan penting bersama kekasihnya yang juga seorang fotografer bernama Robert Capa. Battle of Brunete, dan Death in The Making, Red box of the Mexican Suitcase adalah karya-karya Taro yang dikenal dunia.
Gerda Taro. google.com
Dari banyaknya karya Gerda Taro yang terkenal, Republican militiawoman training on the beach adalah salah satu karya Taro yang berbeda, foto yang memperlihatkan seorang wanita sedang berlutut sambil memagang senjata api, ia adalah tentara wanita yang sedang berlatih menembak di sebuah pantai di kota Barcelona, Spanyol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taro tidak hanya mengambil gambar suasana perang saja, tapi juga memotret orang-orang yang terlibat dalam perang seperti para tentara laki-laki dan perempuan hingga anak-anak. Ia lebih memperlihatkan sisi kemanusiaan. Gerda Taro meninggal pada usia 26 tahun saat berusaha meliput pertempuran di Brunete, karena berada pada jarak yang terlalu dekat dengan zona perang ia tertabrak sebuah tank pada Juli 1937.
Perang masih terjadi di beberapa negara hingga saat ii. Beberapa fotografer perang pun sempat menceritakan pengalamannya memiliki profesi yang dianggap kebanyakan orang sangat menantang itu. Salah satunya adalah wartawan foto Eddie Adams. Ia memotret salah satu foto paling terkenal semasa Perang Vietnam, eksekusi seorang pria di tengah kekacauan Serangan Tet. Karya ini mengantarnya meraih penghargaan seumur hidup, tapi seperti yang ditulis James Jeffrey, foto tersebut juga menghantui fotografernya. Pistol itu masih kokoh berada di tangan si penembak sesaat setelah peluru meluncur ke dalam tengkorak sang tahanan. Sementara itu, seorang tentara tampak meringis ketakutan melihat pemandangan di depannya. Sulit untuk meredam rasa marah, dan rasa bersalah, ketika mengetahui seseorang berada di ujung kematian.
Pendaratan di Pantai Omaha, Normandy, Prancis, saat Operasi Overlord, 6 Juni 1944 saat Perang Dunia II.[Reuters]
Adegan itu terekam dalam sebuah foto karya Eddie Adams yang kemudian dikenal sebagai 'Eksekusi Saigon'. Para ahli balistik mengatakan foto itu menunjukkan peluru ditembakkan ke kepala tahanan dari jarak dekat dan cepat. Foto tersebut, yang mengabadikan aksi Brigadir Jenderal Nguyen Ngoc Loan menembak seorang tahanan Viet Cong, dianggap sebagai salah satu foto paling berpengaruh dalam Perang Vietnam.
Baca: Gerda Taro Muncul di Google Doodle, ini Kisah Hidupnya
Setelah diabadikan, foto itu dicetak ulang di seluruh dunia dan menjadi lambang kebrutalan dan anarki perang. Foto ini juga membangkitkan sentimen yang berkembang di Amerika tentang pertempuran yang sia-sia - bahwa perang di Vietnam tidak pernah dimenangkan. "Ada sesuatu yang alami dalam foto yang sangat mempengaruhi para pembaca dan hingga kini tetap diingat," kata Ben Wright, direktur asosiasi komunikasi di Dolph Briscoe Center for American History.
Adams mengatakan kesan pertamanya saat bertemu Loan adalah seorang "pembunuh berdarah dingin dan tidak berperasaan". Namun setelah berkeliling dengannya ke pelosok negeri itu, ia pun mengubah penilaiannya. "Ia adalah produk Vietnam modern," sebut Adams dalam sebuah surat yang dikirimkan dari Vietnam. Foto tersebut membuat Adams memenangkan penghargaan Pulitzer untuk kategori fotografi berita.
Namun, terlepas dari pencapaian mahakarya jurnalistik dan ucapan selamat dari dari para pemenang Pulitzer lainnya, Presiden Richard Nixon dan bahkan anak-anak sekolah di seluruh Amerika, foto tersebut menghantui Adams. "Saya mendapat uang karena telah memperlihatkan foto seseorang membunuh yang lain," kata Adams dalam sebuah acara penghargaan selanjutnya. "Dua nyawa melayang, dan saya dibayar untuk itu. Saya adalah seorang pahlawan.
Adams dan Loan tetap berhubungan, bahkan menjadi teman setelah jenderal tersebut meninggalkan Vietnam Selatan menuju ke Amerika Serikat setelah perang berakhir. Adams lantas mengembangkan karier fotografinya, memenangkan lebih dari 500 penghargaan foto jurnalistik dan memotret tokoh-tokoh terkenal termasuk Ronald Reagan, Fidel Castro dan Malcolm X. Namun, terlepas dari semua yang diraihnya setelah Vietnam, momen fotonya yang paling terkenal akan selalu ada bersama Adams. "Dua orang meninggal dalam foto itu," tulis Adams setelah kematian Loan akibat kanker pada tahun 1998. "Jenderal membunuh Viet Cong; saya membunuh jenderal dengan kamera saya."
Tentara Jerman mengisi peluru meriam antipesawat/antitank Flak 88 7,5 cm selama Perang Dunia II.[www.worldwarphotos.info]
Wartawan Foto Jack Picone pun menceritakan pengalamannya menjadi fotografer perang seperti dilansir Aljazeera.com pada 2015. Picone mengatakan orang terkadang menganggap bahwa fotografer pergi ke zona perang karena mereka adalah pecandu adrenalin. Ia merasa sebenarnya tidak masalah dengan pemikiran masyarakat itu. Menurut Picone, zona perang bisa menjadi tempat meningkatkan adrenalin untuk membantu Anda berpikir jernih ketika menghadapi bahaya. "Adrenalin itu dapat membuat Anda tetap hidup," kata Picone. Menurutnya, motivasinya untuk mendokumentasikan perang telah tidak hanya untuk mencari adrenalin saja seperti yang kebanyakan orang tuduhkan untuk para fotografer.
Baca: Mengenal Karya Fotografer Perang Perempuan Gerda Taro
Picone pernah bekerja di beberapa tempat paling berbahaya di planet ini seperti Angola, Rwanda, Somalia, Sudan, Liberia, Sierra Leone, Jalur Gaza, Israel, Soviet Asia Tengah, dan bekas Yugoslavia. Menurutnya, sebagian besar dari perang di daerah itu adalah perang yang tidak konvensional, di mana kelompok-kelompok bersenjata dan faksi-faksi pemberontak saling melawan dan para fotografer bisa meliput di kedua belah pihak. Di Irak atau Afghanistan misalnya, seorang fotografer dalam konflik yang kurang terstruktur dapat melintasi garis musuh.
Picone bercerita pada banyak konflik Afrika yang dia liput, fotografer dan wartawan sering tewas di blokade oleh tentara yang merasa bosan atau disertai mabuk. Bukan sebuah alasan rahasia para wartawan ini menjadi sasaran tembak. "Fotografer perang dapat membawa lebih banyak uang dan peralatan daripada tentara pemberontak. Uang itu jumlahnya bisa lebih besar dari pendapatan para tentara ini selama beberapa tahun," kata Picone.
Setelah lolos dari kematian beberapa kali ia mengatakan menurutnya mendokumentasikan perang benar-benar harus melibatkan lebih dari sekadar memotret tentara. Apa yang tampaknya secara eksponensial lebih penting adalah menceritakan kisah-kisah orang-orang yang tidak bersalah - anak-anak, wanita dan pria lanjut usia - terperangkap dalam baku tembaknya. "Saya mengalihkan fokus saya dari garis depan ke orang-orang biasa di ujung peperangan," kata Picone.
INTERNATIONAL CENTRE OF PHOTOGRAPHY | BBC | SUHAIMAH | ALJAZEERA | MT