Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARAPAN Marti M.R. meraup untung di Bursa Efek Indonesia buyar di tengah jalan. Belum satu bulan berjalan, saham PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP), yang dibelinya pada Oktober lalu, anjlok di pasar saham. Fluktuasi harga saham yang tak wajar membuat Bursa Efek Indonesia menghentikan perdagangan saham PT Sekawan pada pertengahan November lalu.
Di lantai bursa, saham PT Sekawan sebelumnya aktif diperdagangkan. Itu yang membuat Marti—bukan nama sebenarnya—membeli saham tanpa perhitungan panjang. Perempuan 47 tahun itu membeli 195 lot dengan harga Rp 217 per lembar.
Rupanya, harga saham PT Sekawan anjlok hingga 60 persen kurang dari empat pekan. PT Sekawan diduga terlibat perdagangan semu. Terendusnya praktek ini membuat otoritas pasar modal menghentikan perdagangan saham PT Sekawan. Sejumlah investor retail seperti Marti mengalami kerugian. "Harga saham SIAP saat ini hanya Rp 80 per lembar dan tidak bisa dijual," kata Marti, Selasa pekan lalu.
Lima hari setelah mensuspen saham PT Sekawan, BEI membekukan aktivitas tiga anggota bursa, yakni PT Danareksa Sekuritas, PT Reliance Securities Tbk, dan PT Millenium Danatama Sekuritas. Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengatakan ketiganya ditengarai mengalami gagal bayar saham repurchase agreement (repo) atau gadai saham PT Sekawan senilai Rp 300-400 miliar.
Bukan kali ini saja Bursa Efek Indonesia menghentikan sementara perdagangan saham PT Sekawan. Februari lalu, otoritas pasar modal mensuspen SIAP akibat fluktuasi harga saham yang tidak wajar. Muncul kecurigaan, praktek "goreng" saham terjadi sehingga harga saham PT Sekawan naik-turun.
Untuk mencari dalang transaksi semu itu, BEI memeriksa 10 broker. Belakangan, tiga sekuritas tadi diizinkan kembali berdagang saham. Adapun saham PT Sekawan tetap dihentikan perdagangannya sampai sekarang. Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Anggota BEI Hamdi Hassyarbini mengatakan BEI mulai mengalihkan sasarannya kepada nasabah dan pemegang saham pengendali PT Sekawan.
Hamdi menyebutkan ada puluhan nasabah yang dicurigai sebagai pelaku perdagangan semu. Kecurigaan terhadap para pemegang saham pengendali juga semakin kuat. "Ada dua-tiga pemegang saham pengendali yang terlibat," katanya.
Saat ini saham PT Sekawan yang beredar di publik sekitar 46,06 persen. Adapun Fundamental Resources Pte Ltd memiliki 32,33 persen. Sisanya dimiliki Evio Securities 7,99 persen, PT Asabri 6,99 persen, dan UBS AG Singapore 6,63 persen.
BOBROKNYA saham PT Sekawan sudah diprediksi banyak sekuritas dan analis saham sejak perusahaan ini mulai menerbitkan hak memesan saham baru (rights issue). Seorang broker mengatakan melejitnya harga saham PT Sekawan tidak wajar karena tidak ditopang fundamental perusahaan. "Saham SIAP itu saham goreng-menggoreng," katanya.
Perdagangan semu saham PT Sekawan dimulai sejak perusahaan itu diakuisisi RITS Ventures Limited melalui skema backdoor listing pada Juni tahun lalu. Backdoor listing adalah cara perusahaan melantai di bursa dengan jalan mengakuisisi perusahaan terbuka. RITS Ventures Limited merupakan perusahaan tambang yang berpusat di British Virgin Islands, kawasan bebas pajak di Kepulauan Karibia.
Setelah aksi itu, PT Sekawan yang tadinya perusahaan percetakan dan perdagangan non-woven berubah menjadi perusahaan tambang dan energi. Produk non-woven adalah kain yang terbuat dari busa polypropylene untuk bahan baku pembuatan popok bayi, pembalut wanita, dan tisu basah. RITS sendiri tak lain pemegang saham PT Indo Wana Bara Mining Coal, yang mengantongi konsesi tambang dengan kandungan 533 juta ton batu bara di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Dengan aksi korporasi tadi, Rennier Abdul Rahman Latief—salah satu pemegang saham RITS sekaligus Chairman PT Indo Wana—diangkat menjadi Komisaris Utama PT Sekawan melalui rapat umum pemegang saham luar biasa, Juni tahun lalu. Rennier adalah bekas Presiden Direktur PT Lapindo Brantas.
Aksi backdoor listing RITS tidak mulus. Semula Rennier menyasar PT Perdana Karya Perkasa Tbk sebagai pintu masuk ke Bursa Efek Indonesia. Izin mengakuisisi PT Perdana Karya kandas karena tak mendapat restu dari Otoritas Jasa Keuangan.
Rennier tak menyerah. Ia lalu menggunakan jasa Eagle Capital untuk menembus perizinan OJK. Kali ini upaya Rennier berhasil. OJK merestui backdoor listing RITS dengan PT Sekawan. Seorang anggota bursa menilai restu OJK itu janggal. Alasannya, PT Indo Wana tercatat sebagai perusahaan yang dijaminkan atas utang Rennier kepada dua anggota bursa. Akibat pembayaran utang macet, modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) dua anggota bursa tergerus. Kasus ini sempat bergulir di OJK.
Seorang direktur salah satu anggota bursa mengatakan suksesnya backdoor listing RITS dengan PT Sekawan ditengarai karena pengaruh Erry Firmansyah, pemilik Eagle Capital yang juga Direktur Utama Bursa Efek Indonesia periode 2006-2009. Erry pun menduduki kursi komisaris independen di beberapa perusahaan emiten, termasuk di PT Sekawan.
Eagle Capital dikenal sebagai perusahaan yang mampu membereskan beragam kendala yang dihadapi emiten dan anggota bursa menghadapi perizinan di OJK. "Di kalangan anggota bursa, Eagle Capital ini semacam perusahaan jasa pengurusan STNK kendaraan bermotor," ujar seorang broker yang pernah menggunakan jasa Eagle.
Erry membenarkan peran Eagle Capital di balik kesuksesan backdoor listing RITS dengan PT Sekawan. "Eagle hanya membantu mencarikan pihak yang ingin mencari perusahaan terbuka," katanya kepada Tempo.
Adapun Rennier menolak memberikan jawaban. Pesan pendek yang dikirimkan Tempo tidak dibalas. Saat dihubungi, Rennier cuma mengatakan, "Saya sedang istirahat," katanya sambil buru-buru menutup telepon.
Setelah sukses dengan backdoor listing, PT Sekawan mengajukan izin ke OJK dan BEI untuk menerbitkan saham baru. Totalnya 23,4 miliar lembar saham atau senilai Rp 4,67 triliun. Mayoritas dana yang diserap lewat rights issue akan digunakan untuk bisnis batu bara.
OJK dan BEI menyetujui aksi korporasi itu. Saham baru PT Sekawan dibuka dengan harga Rp 200 per lembar pada Juli tahun lalu. Berperan sebagai penjamin emisi adalah PT Danareksa Sekuritas.
Seorang analis mengatakan langkah OJK dan BEI mengizinkan rights issue dinilai ceroboh. Sebab, tambang batu bara PT Indo Wana Bara belum berproduksi. Dengan situasi perdagangan batu bara yang lesu di pasar komoditas, rights issue tersebut diduga hanya akal-akalan untuk menyerap dana publik.
PT Sekawan tetap diizinkan menerbitkan saham baru. Pada listing pertama, saham dibuka pada harga Rp 200 per lembar. Harga saham terkerek hingga Rp 465 per lembar dalam penutupan pada 2014.
Banyak pihak di kalangan broker menilai kenaikan drastis saham ini diduga hasil goreng saham. Sebab, perdagangan saham ini tidak aktif di pasar reguler, hanya terjadi di pasar negosiasi. Di pasar negosiasi inilah sejumlah transaksi gagal bayar antar-broker dan nasabah terendus oleh otoritas pasar modal.
Gagal bayar disebabkan instruksi transaksi antara pembeli dan penjual tidak klop. "Penjual mengaku free of payment, pembelinya mengklaim delivery versus payment, akhirnya terjadi perselisihan," kata Hamdi Hassyarbini.
Dugaan goreng saham menguat setelah terkuaknya repo saham PT Sekawan. Seorang broker mengatakan saham yang digadai merupakan saham yang tidak laku di pasar. Jaminan gadai saham biasanya paling kecil 200 persen. Dengan harga saham di pasar mencapai Rp 465 per lembar, saham repo PT Sekawan dihargai Rp 200 per lembar.
Di tengah pemeriksaan OJK dan BEI, tiga direktur PT Sekawan tiba-tiba mengundurkan diri. "OJK seharusnya tidak mengizinkan mereka mengundurkan diri. Ini seperti mau cuci tangan," kata broker yang tersangkut gadai saham PT Sekawan hingga Rp 3 miliar ini. OJK dan BEI diharapkan mulai menindak emiten nakal yang selama ini tidak pernah tersentuh oleh pemeriksaan otoritas.
Erry Firmansyah, komisaris independen PT Sekawan, membantah tudingan ada perdagangan semu. "Jangan menuduh kalau tidak mengerti persoalan," katanya.
Adapun Nurhaida, anggota Dewan Komisioner OJK, mengatakan investigasi kasus ini belum bisa dibuka ke publik. Pemeriksaan sudah dilakukan dengan memanggil broker dan pemegang saham pengendali. "Seseorang yang dipanggil untuk klarifikasi pasti ada indikasi keterlibatan," ujarnya.
Analis saham dari Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo, berharap investigasi OJK dan BEI tidak "mati angin". Menurut dia, sanksi skandal perdagangan semu ini harus dijatuhkan hingga ke dalangnya. Hal ini bukan perkara sulit karena semua transaksi di bursa tercatat oleh sistem. Bila skandal ini menguap, pihak yang paling dirugikan adalah investor retail. "Tidak adanya investor retail yang melapor bukan berarti mereka tidak dirugikan," katanya.
Akbar Tri Kurniawan, Aditya Budiman, Danang Firmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo