Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mundur Teratur Sebelum Dicopot

Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito akhirnya lempar handuk. Banyak blunder dan target yang tak masuk akal.

7 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA butuh beberapa jam bagi Menteri Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro untuk memutuskan: ia menerima pengunduran diri Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito. Selasa siang pekan lalu, Sigit menyampaikan langsung surat pamitnya itu. Kepada Bambang, dia minta agar tak lagi menempati posisinya tersebut pada hari berikutnya.

Permintaan itu seperti setengah memaksa. Tak banyak waktu bagi Bambang untuk menimbang, karena pada subuh esok harinya itu ia harus berangkat melawat ke Jepang. Itu sebabnya, Selasa siang itu juga Bambang berdiskusi dengan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dan Sekretaris Jenderal Hadiyanto. Keputusan diambil: pengunduran diri Sigit disetujui. Dia pun menunjuk Ken Dwijugiasteadi sebagai pelaksana tugas Dirjen Pajak. Ken adalah Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak.

Bambang tak ragu lagi melepas Sigit. Ia sudah mengantisipasi, sehingga cepat saja menjawab. Apalagi bukan kali ini saja Sigit menyampaikan niatnya untuk undur diri. Kepada Tempo, Rabu malam pekan lalu, Sigit bercerita, meski dalam suasana yang tak serius, secara lisan ia berulang kali meminta agar diganti. "Misalnya saat pertemuan eselon I membicarakan cash flow," Sigit menyebut salah satu momen ketika ia mengeluhkan tekanan berat target pajak yang dipikulnya.

Pada 4 November lalu, Sigit merilis penerimaan pajak yang bisa ia kumpulkan mencapai Rp 774,5 triliun. Jumlah itu baru 59 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 sebesar Rp 1.294,25 triliun.

Ketika itu ia masih yakin akan mampu mengejar penerimaan sebesar Rp 300 triliun lagi dalam tempo dua bulan, atau minimum 85 persen dari target. Itulah batas paling bawah yang bisa ditoleransi bagi kinerja Dirjen Pajak.

Nyatanya, sampai saat meminta mundur, Sigit menghitung paling banter pajak yang bisa diperoleh sampai akhir tahun nanti hanya 80-82 persen. Itu pun masih terlalu berat. Sebab, hingga awal Desember ini, argo pajak baru mencapai Rp 860-an triliun atau 66,8 persen dari target. "Saya menyadari saya tidak berhasil."

Sigit menjelaskan, angka 85 persen yang bisa ditoleransi itu semacam "permakluman" dari Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tak ada aturan baku soal ini. Sigit menuturkan, sudah dua kali ia meminta maaf secara langsung kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Yang pertama pada Juli lalu, ketika Sigit memperkirakan terjadi short fall penerimaan sehingga mungkin ia hanya akan mampu mencapai 90 persen dari target. Waktu itu, kata dia, Presiden dan Wakil Presiden masih bisa menerima. Sebab, prediksi belanja negara pun tidak akan sampai 93 persen dari pagu Rp 1.984 triliun.

Pada evaluasi kedua, Oktober lalu, Sigit kembali meminta maaf karena ia terpaksa mengoreksi lagi janjinya. Kali ini ia menghitung paling mentok hanya akan sanggup memperoleh 85 persen dari target pendapatan. Sejak itu, tekanan yang ia rasakan semakin besar. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan pun mulai memberi sinyal agar ia mundur bila tak mampu lagi memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.

Hingga akhir November, Sigit menyadari toleransi 85 persen dari Jokowi dan Jusuf Kalla itu pun bakal meleset lagi. "Malu rasanya meminta maaf yang ketiga kali kepada Bapak Presiden dan Wakil Presiden," ujar Sigit. Ia tahu diri, lebih baik minta mundur sebelum dicopot.

* * * *

DILANTIK pada 6 Februari 2015, Sigit sempat disebut dan diharapkan bisa mengawal reformasi fiskal di pemerintah Kabinet Kerja. Sarjana teknik geodesi dari Institut Teknologi Bandung ini terpilih lewat proses panjang sistem lelang yang dipopulerkan Jokowi sejak masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Panelis Panitia Seleksi Dirjen Pajak menilai Sigit memiliki kemampuan, integritas, dan rekam jejak yang baik untuk memimpin lembaga penerimaan negara terbesar ini. "Waktu itu ada beberapa nama lolos seleksi diserahkan ke Menteri Keuangan, dan namanya yang dipilih Presiden," kata mantan anggota Panitia Seleksi yang juga mantan Menteri Keuangan, M. Chatib Basri, kepada Tempo pada Kamis pekan lalu.

Persoalannya, menurut Chatib, rekam jejak dan kriteria personal itu saja tak cukup menopang kinerja Sigit. Target yang dipatok sudah kadung selangit, tapi perekonomian justru terus melambat sepanjang tahun ini. Banyak sektor yang tekor. Daya beli masyarakat melemah. Ujungnya, kemampuan masyarakat membayar pajak pun ikut terseret turun.

Beberapa kali proyeksi pertumbuhan ekonomi diturunkan, dari target semula di APBN 2015 di angka 5,7 persen produk domestik bruto. Pada awal tahun, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan 5,4-5,8 persen. Kemudian, pada Mei lalu, bank sentral mengoreksi proyeksi pertumbuhan menjadi 5,0-5,4 persen. Angka ini pun kembali diturunkan lagi menjadi hanya 4,7-5,1 persen pada Agustus lalu. "Dirjen Pajak terbaik pun belum tentu mampu mengejar target (Rp 1.200 triliun) di tengah ekonomi melambat dan harga komoditas turun seperti sekarang ini," ujar Chatib.

Lain Chatib, lain pula penilaian Menteri Bambang Brodjonegoro terhadap pencapaian Sigit. Menurut Bambang, selain karena kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan, melesetnya target perolehan pajak lebih disebabkan oleh kurang jitunya jurus-jurus Sigit dalam menjaring potensi penerimaan. "Banyak meleset strateginya," kata Bambang melalui pesan pendek yang ia kirim dari Jepang.

Sigit mengakui sejumlah strategi andalannya tak berjalan mulus, bahkan gagal diluncurkan. Dua yang paling signifikan, menurut dia, adalah batalnya penerapan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 1 Tahun 2015, atau dikenal dengan PER-01. Aturan itu berisi kewajiban bank menyampaikan bukti potong pajak atas bunga deposito dan tabungan nasabah bank.

Dengan PER-01 itu, Direktorat Jenderal Pajak berharap dapat menganalisis potensi kekayaan wajib pajak dibandingkan dengan laporan pemberitahuan (SPT) yang mereka buat. Jika ada ketidaksesuaian, petugas bisa menggali peluang penerimaan baru. Jika ini berjalan, Sigit berani menargetkan tambahan pajak Rp 120 triliun.

Apa lacur, PER-01 yang seharusnya berlaku mulai 1 Maret 2015 dicabut oleh Menteri Bambang pada 13 Maret. Ada kekhawatiran aturan ini akan memicu kaburnya dana ke luar negeri. "Pertimbangannya karena dasar hukumnya belum memadai," kata Bambang saat itu.

Andalan Sigit yang lain adalah pengenaan pajak pertambahan nilai atas transaksi jalan tol dan perubahan Undang-Undang tentang Bea Meterai. Tapi strategi ini pun tak bisa jalan. Akhirnya Sigit hanya bisa melakukan pembenahan internal untuk mengejar setoran.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan target pajak tahun ini memang terlampau muluk. "Ada banyak blunder," ucap Prastowo. "Pemerintah menyatakan 2015 sebagai tahun pembinaan, sementara di luar merebak wacana tax amnesty. Akibatnya orang jadi wait and see," ujarnya. "Lalu 2016 sebagai tahun penegakan hukum, tapi akan ada pemutihan pajak. Ini kesalahan desain."

Sebagai pengganti Sigit, Ken Dwijugiasteadi tak mau ikut-ikutan menyerah. Dia mengaku akan berupaya maksimal mengejar 85-87 persen target hingga akhir Desember. "Insya Allah bisa. Pak Menteri memerintahkan saya demikian."

Agus Supriyanto

Target Banding Realisasi (Triliun Rupiah)

APBN 2015Realisasi*APBN-P 2015
Pertumbuhan5,8%5,7%4,73%
Penerimaan 1.793,61.761,61.109 (71%)
-Pajak1.201,71.294,25806 (59%)
Belanja2.039,51.984,11.408 (63%)
Defisit245,9 (2,21%)222,5 (1,9%)-

*Oktober 2015

Target dan Realisasi Penerimaan Pajak (Triliun Rupiah)

Tahun TargetRealisasi
2014*1.246,11.143,3 (91,75 persen dari target)
2013*1.148,41.148.365
2012**1.016,2980.518
2011**878,7873.874
2010**743,3723.307
2009**651,9619.922

* Apbn-p
** Lkpp
Sumber: diolah Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus