Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENTINGAN itu berbunyi 26 menit setelah pesawat AirAsia QZ8501 lepas landas dari Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya, menuju Singapura. Terekam jelas dalam cockpit voice recorder pesawat, bunyi itu merupakan peringatan bila rudder travel limiter (RTL) pesawat bermasalah. "Bunyinya tang tung tang tung," kata investigator senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Nurcahyo Utomo, Selasa pekan lalu.
Suara itu, menurut Nurcahyo, muncul hingga empat kali. Setelah bunyi keempat, flight data recorder QZ8501 mengindikasikan circuit breaker flight augmentation computer (FAC) dicabut. Akibatnya, dua FAC pesawat tidak berfungsi sehingga autopilot dan autothrust pesawat tidak aktif. Saat itu, pesawat terbang di ketinggian 32 ribu kaki di atas permukaan Selat Karimata.
Indikasi itu mirip dengan kejadian tiga hari sebelumnya di Bandara Juanda. Saat itu teknisi AirAsia mencabut circuit breaker FAC setelah rudder travel limiter pesawat bernomor registrasi PK-AXC tersebut rusak. RTL tak lain alat pengatur kecepatan belok ekor pesawat. Circuit breaker tak jadi soal bila dicabut di darat, tapi fatal jika dilakukan saat pesawat terbang.
Rusaknya RTL, menurut KNKT, memantik petaka sehingga pesawat yang terbang pada 28 Desember 2014 itu terempas di Selat Karimata. Hampir satu tahun setelah petaka itu terjadi, Komite resmi mengungkap hasil penyelidikan jatuhnya pesawat AirAsia pada Selasa pekan lalu. Menurut Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, kecelakaan pesawat yang menewaskan 162 penumpang dan kru itu bukan faktor cuaca.
Menurut Nurcahyo, akibat circuit breaker dicabut, mode penerbangan yang tadinya dikendalikan komputer beralih menjadi alternate law. Sejumlah proteksi pesawat Airbus A320-200 hilang. Pesawat, misalnya, bisa kehilangan daya angkat.
Setelah mode autopilot tidak berfungsi, badan pesawat terguling 54 derajat. Sayap kiri pesawat membujur ke bawah. Beberapa detik kemudian, peringatan stall mendenging. Saat itu Kapten Iriyanto duduk di kokpit sebelah kiri. Kopilot Rémi-Emmanuel Plesel, warga negara Prancis, memegang kendali terbang.
Saat hidung pesawat mendongak 9,5 derajat, Kapten Iriyanto sempat berteriak pull down beberapa kali. "Setiap kapten teriak pull down, hidung pesawat makin ke atas," ujar Nurcahyo. KNKT menemukan joystick sebelah kanan milik kopilot terus ditarik. Akibatnya, hidung pesawat menanjak 44,3 derajat hingga 38 ribu kaki dengan kecepatan 11 ribu kaki per menit.
Tidak sampai satu menit setelah hidung pesawat mendongak, badan pesawat kembali terguling hingga minus 104 derajat. Menurut Nurcahyo, Kapten Iriyanto berusaha menstabilkan pesawat. Kopilot Plesel juga tetap berusaha menerbangkan pesawat. Kedua pilot itu berhasil menstabilkannya ketika masih berada di ketinggian 28 ribu kaki atau satu menit setelah pesawat terguling untuk yang kedua kalinya.
Tapi pesawat mulai jatuh di ketinggian antara 28 dan 29 ribu kaki. Satu menit kemudian, pesawat anjlok hingga ketinggian 17 ribu kaki. Semenit berselang, rekaman suara di kokpit mati. Pesawat jatuh dengan kecepatan rata-rata 12 ribu kaki per menit. "Sampai akhir, kedua pilot masih berusaha mengontrol pesawat," kata Nurcahyo.
DUA belas bulan menyigi kecelakaan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi menemukan komponen RTL pesawat AirAsia itu sudah 23 kali ngadat sepanjang tahun lalu. Sejak Oktober 2014, alat pengatur kecepatan belok ekor pesawat itu makin bawel. "Pada Desember 2014, sembilan kali kerusakan terkait dengan RTL," ujar Nurcahyo.
Berdasarkan data logbook pemeliharaan maskapai yang diperoleh Tempo, sejak 12 Desember 2014, RTL rusak berulang kali. Bukan hanya RTL, elevator actuator model (ELAC) I atau sistem kendali yang mengatur naik-turun pesawat juga rusak berkali-kali. Tujuh hari kemudian, teknisi AirAsia menulis laporan bahwa kerusakan RTL masuk kategori C. Komponen itu mesti diganti dalam waktu sepuluh hari.
Menurut Nurcahyo, gangguan pada RTL sebenarnya tidak mengganggu penerbangan. Namun peringatan gangguan itu bisa mengganggu kokpit selama penerbangan.
Pilot senior Sadrach Maruasas Nababan menguatkan pernyataan Nurcahyo. Menurut Sadrach, fungsi RTL cuma meredam keolengan pesawat saat berbelok. Pesawat tetap bisa menikung dengan aileron, yang letaknya di ujung tiap sayap. "Tapi belok sempurna itu kombinasi antara rudder dan aileron," kata Sadrach saat dihubungi pada Kamis pekan lalu.
Belakangan, KNKT menemukan akar masalahnya. Setelah bangkai ekor PK-AXC bisa ditarik, bagian itu lalu digotong ke Sekolah Tinggi Penerbangan di Curug, Banten. Rudder yang letaknya di ekor kemudian dikirim ke markas Airbus di Prancis. "Ternyata ada solderan yang retak pada electronic module RTL," ujar Nurcahyo.
KNKT menyimpulkan kecelakaan pesawat ini terdiri atas kombinasi lima faktor. Dari solderan RTL yang retak, sistem perawatan AirAsia yang tidak mampu mendeteksi kerusakan berulang, circuit breaker FAC dicabut, terputusnya aliran listrik yang menyebabkan mode terbang beralih ke alternate law, sampai pengendalian manual oleh pilot. "Tapi kerusakan RTL itu adalah awal masalah," kata Nurcahyo.
Seorang pejabat Kementerian Perhubungan mengatakan kelalaian perbaikan RTL itu buntut lemahnya pengawasan dari principal maintenance inspector Kementerian Perhubungan. Inspektor pesawat PK-AXC itu disebut-sebut belum punya lisensi teknisi (AMEL) A320. "Dia cuma punya lisensi buat pesawat latih kecil," ujar pejabat itu, Kamis pekan lalu.
Direktur Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan Muhammad Alwi membantah jika anak buahnya disebut lalai dan belum berlisensi. Menurut dia, anak buahnya sudah mengantongi lisensi A320 sejak empat tahun lalu. "Tidak sembarangan. Untuk mendapatkan lisensi harus sekolah," kata Alwi saat dihubungi. Kerusakan itu, menurut dia, juga sudah diketahui anak buahnya. Alwi menjamin pesawat PK-AXC laik terbang.
PT Indonesia AirAsia membantah tak memperbaiki kerusakan RTL. Mereka mengatakan sudah mereparasinya sesuai dengan panduan Airbus. Kerusakan itu, di mata AirAsia, juga belum masuk kategori kerusakan berulang. "Kerusakan dikategorikan berulang jika terjadi lebih dari sekali dalam tujuh sektor penerbangan atau selama tiga hari," begitu menurut rilis AirAsia melalui e-mail, Kamis pekan lalu.
Namun logbook perawatan PK-AXC menunjukkan RTL rusak pada 12 dan 14 Desember 2014. RTL rusak lagi pada 19 dan 21 Desember 2014. Kerusakan RTL berturut-turut terjadi pada 24 dan 25 Desember 2014. Tulisan tangan Kapten Iriyanto di logbook PK-AXC pada 25 Desember 2014 masih menyimpan catatan kerusakan itu.
Khairul Anam, Akbar Tri Kurniawan
Dua Puluh Menit Menghunjam Karimata
KERUSAKAN rudder travel limiter memicu kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501. Gangguan alat pengatur kecepatan belok ekor pesawat itu menyebabkan pesawat terkapar di Selat Karimata, 20 menit kemudian. Jatuh dari ketinggian 29 ribu kaki atau 8.839 kilometer, pesawat menyentuh permukaan Selat Karimata dengan kecepatan 12 ribu kaki per menit.
05.35 WIB Pesawat Indonesia AirAsia QZ8501 nomor registrasi PK-AXC lepas landas dari Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya, menuju Singapura.
06.01 WIB Rudder travel limiter (RTL) mulai bermasalah. Keluar pesan di layar monitor kokpit untuk menghidupkan kembali dari awal flight augmentation computer (FAC) 1 dan 2.
06.09 WIB RTL bermasalah lagi.
06.11 WIB ATC Jakarta mengidentifikasi QZ8501 dan meminta pilot melaporkan cuaca yang buruk.
06.11.49 WIB Pilot mengakui kondisi cuaca yang buruk dan meminta izin terbang lebih tinggi.
06.13.40 WIB RTL bermasalah untuk ketiga kalinya. Pilot me-restart FAC 1 dan 2.
1. 06.15.35 WIB RTL bermasalah untuk keempat kalinya. Pada saat yang sama, ATC Jakarta mempersilakan pilot naik ke ketinggian 34 ribu kaki. Setelah gangguan ini, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menemukan indikasi circuit breaker FAC 1 dan 2 dicabut.
06.16.43 WIB Peringatan mode autopilot mati.
2. 06.16.53 WIB Pesawat berguling 54 derajat, sayap kiri membujur ke bawah. Pesawat berada di ketinggian 31.952 kaki.
06.16.54 WIB FAC 2 hidup kembali.
06.16.55 WIB Peringatan pesawat stall.
3. 306.17.02 WIB Sudut hidung pesawat mendongak 9,5 derajat.
06.17.15 WIB Kapten Iriyanto berteriak: "Pull down... pull down!"
06.17.17 WIB Peringatan stall muncul kembali selama empat detik.
06.17.22 WIB Kapten Iriyanto berteriak pull down tiga kali.
4. 06.17.23 WIB Hidung pesawat mendongak dengan sudut 44,3 derajat di ketinggian 35.568 kaki.
06.17.25 WIB Kapten Iriyanto berteriak: "Pull down... pull down!"
06.17.25 WIB Kopilot Rémi-Emmanuel Plesel berkata dalam bahasa Prancis: "Apa ada yang salah?"
06.17.33 WIB Kopilot Plesel: "TOGA (take off go away)."
5. 06.17.41 WIB Kapten Iriyanto: "Ya, Tuhanku!" Badan pesawat terguling hingga mencapai sudut -104 derajat. Sayap kiri pesawat membujur ke bawah. Pesawat berada di ketinggian 37.796 kaki.
06.17.51 WIB Kapten Iriyanto: "Pelan-pelan... pelan-pelan...."
06.18.23 WIB Kapten Iriyanto: "Pull... pull." Pesawat sudah jatuh dari ketinggian 28.340 kaki.
06.19.10 WIB Kapten Iriyanto: "Pull up... pull up."
06.19.10 WIB Ketinggian pesawat terekam pada 17 ribu kaki.
06.20.36 WIB Rekaman di kokpit berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo