Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT berkop Gubernur Bank Indonesia yang dikirimkan pada 28 November 2013 itu menggegerkan Lembaga Penjamin Simpanan. Diteken Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, surat bernomor 15/41/DPBI-7 dan bersifat rahasia itu berisi sebuah kabar genting. Lembaga Penjamin Simpanan diminta segera menyuntikkan modal baru untuk PT Bank Mutiara Tbk.
Dalam suratnya, Agus menyebutkan bank yang dulu bernama Bank Century ini sangat memerlukan tambahan dana segar untuk mengerek angka rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). Hingga triwulan ketiga 2013, CAR Mutiara tersisa 5,43 persen--anjlok tajam daripada tiga bulan sebelumnya sebesar 11 persen.
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, bank dengan profil risiko peringkat 4-5 wajib menyediakan modal minimum 11-14 persen. "Nah, untuk mencapai CAR 14 persen, pemegang saham diminta menyetor modal hingga Rp 1,5 triliun," kata sumber Tempo.
Karena bukan perkara sepele, pemilik mayoritas saham Mutiara tidak langsung memenuhi permintaan Agus. Apalagi Komisioner LPS "gamang" penambahan modal itu akan menuai persoalan di kemudian hari. Sengkarut dana talangan Century senilai Rp 6,7 triliun sampai kini masih belum kelar. Pada saat yang sama, program penjualan Mutiara juga belum selesai.
Menurut sumber itu, surat Gubernur Bank Indonesia diteruskan LPS ke Badan Pemeriksa Keuangan. Tujuannya untuk meminta fatwa soal penambahan modal baru buat Mutiara. Selain itu, 13 Desember lalu, Ketua Komisioner LPS Heru Budiargo mengirim surat serupa ke pimpinan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Agus Djoko, mengaku pernah mendengar ada surat LPS itu. Wakil Ketua Komisi Keuangan Harry Azhar Azis membenarkan pernah mendapat surat serupa. "Isinya permintaan konsultasi," ujarnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Sejatinya, LPS tidak perlu meminta izin kepada siapa pun dalam penambahan modal. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS memberikan sejumlah kewenangan kepada lembaga ini untuk menyelesaikan dan menangani bank gagal.
Pasal 26 menyebutkan LPS dapat melakukan penyertaan modal sementara terhadap bank yang ditangani. Aturan ini dipertegas di pasal 33, soal kewajiban LPS melakukan penanganan terhadap bank dengan cara menyetor biaya penanganan sampai bank tersebut memenuhi ketentuan yang berlaku mengenai tingkat kesehatan bank.
Namun komisioner LPS tetap tidak pede. Menurut sumber tadi, kisruh pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun pada 2008 masih menjadi bayangan hitam. "LPS tidak mau disalahkan sendiri," katanya.
Agus menolak menjelaskan soal ini. "Saya belum bisa berkomentar," ucapnya Senin pekan lalu. "Jangan berspekulasi." Adapun Heru Budiargo menggelengkan kepala berkali-kali saat ditanyakan soal surat tersebut. "Tidak ada isu. Jadi tidak ada yang perlu dikomentari," ujarnya.
TERPURUKNYA modal Bank Mutiara bukan tanpa sebab. Tiba-tiba saja pembayaran kewajiban 10 debitor besar bank itu macet pada April-Mei lalu. Itu menjadi janggal karena bulan-bulan sebelumnya pembayaran mereka terbilang lancar. Walhasil, hingga September, status kredit sepuluh debitor tadi terjun dari kategori dua atau dalam perhatian khusus menjadi lima alias kredit macet.
Dari dokumen yang diperoleh Tempo, total outstanding utang seret dari sepuluh perusahaan itu mencapai Rp 840 miliar. Mereka adalah debitor "warisan" ketika kepemilikan dan manajemen Century masih dipegang Robert Tantular.
Robert divonis bersalah melakukan kejahatan perbankan dan dihukum sembilan tahun penjara oleh majelis kasasi Mahkamah Agung pada 2010. Hukuman ini lebih tinggi daripada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang memvonisnya empat tahun penjara dan mendenda Rp 50 miliar.
Kuasa hukum Bank Mutiara, Mahendradatta, menilai terlalu klise alasan debitor menunggak pembayaran kredit. "Mereka bilang bisnis sedang seret. Akan kami cek itu," ujarnya.
Dari dokumen tadi, disebutkan empat dari sepuluh debitor macet terafiliasi dengan Honggo Wendratno, pendiri dan pemilik PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Empat perusahaan itu adalah PT Selalang Prima Internasional, PT Polymer Spectrum Sentosa, PT Trio Irama, dan PT Catur Karya Manunggal. Saat dimintai konfirmasi soal itu, kata Mahendra, "Kami menduga memang ada afiliasi."
Masuknya Selalang ke rombongan debitor macet kembali menyeret mantan anggota DPR, Mukhamad Misbakhun. Dalam akta perusahaan terakhir, dia tercatat sebagai pemilik 99 persen saham dan 1 persen sisanya atas nama Franky Ongkowardojo. Politikus Partai Golkar itu duduk sebagai komisaris dan Franky menjadi direktur.
Data Bank Mutiara mencatat Selalang menunggak sekitar Rp 155 miliar plus bunga dan denda Rp 3,8 miliar. Polymer Spectrum berutang Rp 172 miliar serta bunga dan denda Rp 5,1 miliar. Trio Irama harus membayar Rp 16 miliar, ditambah bunga dan denda Rp 2,9 miliar. Sedangkan Catur Karya menunggak Rp 67,4 miliar plus bunga dan denda Rp 10,7 miliar. Tunggakan keempat perusahaan yang terafiliasi dengan TPPI itu Rp 411,5 miliar--48,9 persen dari total kredit seret (baca: "Kredit Lama, Macet Sekarang").
UPAYA menagih kewajiban Selalang dilakukan Bank Mutiara sejak beberapa bulan lalu. Sebuah rumah putih bergaya Belanda di Jalan Senopati Raya Nomor 10, Jakarta Selatan, yang sekarang menjadi kantor Selalang, jadi alamat bersurat manajemen Mutiara saat menagih pembayaran cicilan kredit. Surat terakhir dilayangkan Direktur Utama Bank Mutiara Sukoriyanto kepada Direktur Selalang Prima Franky tertanggal 1 November 2013.
Rabu pekan lalu, Tempo menyambangi kantor Selalang ini. Namun kondisinya sudah kosong melompong. Tidak ada satu pun penghuninya. Pagar besi digembok dari dalam.
Kendati menghilang dari kantornya, pemilik perusahaan pembuat bahan baku plastik ini beberapa kali muncul di kantor Bank Mutiara. Sumber Tempo mengatakan Franky dan Misbakhun datang memenuhi undangan bank untuk membicarakan penyelesaian utang. "Pernah datang berdua, kadang-kadang sendiri."
Saat ditagih, Misbakhun berdalih bisnis Selalang sedang seret. "TPPI berhenti berproduksi, yang membuat Selalang kesulitan mencari bahan baku," kata sumber itu menirukan Misbakhun.
Karena tak kunjung mendapat komitmen dari Selalang, manajemen Bank Mutiara telah melayangkan surat penegasan. Intinya, Selalang diminta menjual aset yang diagunkan, yaitu tanah dan bangunan di Jalan Senopati Raya Nomor 10, Jakarta Selatan, dan satu unit tanker, MT Anugrah Berlian, yang berada di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kedua aset itu diperkirakan bernilai Rp 85 miliar. "Belum ada jawaban dari Selalang atas surat tersebut," ucapnya.
Manajemen Bank Mutiara juga telah bernegosiasi dengan pemilik perusahaan. Beberapa di antaranya bisa diselesaikan dengan tingkat pengembalian 100 persen. Misalnya Tranka Kabel, yang telah dipailitkan, dan Cahaya Adiputra, yang menjual kaveling di lingkungan Kampung Gajah, Bandung.
Sekretaris Perusahaan Bank Mutiara Rohan Hafas tak menampik informasi tentang proses negosiasi dengan Misbakhun. Kendati begitu, dia menolak menjelaskan secara detail dengan alasan kerahasiaan bank. "Prinsipnya, kami terus berupaya menyelesaikan kredit-kredit yang macet," katanya.
Hingga berita ini ditulis, Misbakhun belum bisa dimintai tanggapan. Dia tidak menjawab pertanyaan tertulis yang dikirim lewat pesan BlackBerry. Zainuddin Paru, pengacara Misbakhun ketika mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung atas kasus surat utang dagang (L/C) Bank Century, tidak bisa memberi komentar. "Saya tidak lagi menangani kasus beliau."
Mahendradatta memberi tenggat hingga pertengahan Januari tahun depan bagi para penunggak untuk menyelesaikan utang. "Bila tidak ada niat baik yang nyata, akan saya sikat," ujarnya. "Kami akan mengambil tindakan hukum."
Hingga Kamis pekan lalu, "fatwa" penyuntikan modal dari BPK tak kunjung keluar. Komisi Perbankan DPR malah "melempar" permintaan konsultasi LPS ke pimpinan DPR.
Menurut Harry Azhar Azis, berdasarkan pertemuan internal Komisi, Rabu sore pekan lalu, diputuskan rapat konsultasi hanya untuk lembaga yang sebanding, seperti Mahkamah Konstitusi dan BPK. "Komisi tidak mengenal rapat konsultasi. Kalau dengan LPS seharusnya rapat kerja," katanya.
Namun LPS akhirnya mengambil jalan sendiri. Jumat siang pekan lalu, Komisioner LPS menyetujui penambahan modal untuk Bank Mutiara. Menurut Ketua Eksekutif LPS Robertus Bilitea, dengan penambahan modal itu, CAR Bank Mutiara sudah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. "Dapat dipastikan CAR Bank Mutiara di atas 14 persen sesuai dengan ketentuan Internal Capital Adequacy Assessment Process dalam kaitan Basel III," ucapnya.
Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Gustidha Budiartie, Martha Thertina
Kredit Lama, Macet Sekarang
KINERJA keuangan PT Bank Mutiara Tbk terjun bebas. Rasio kecukupan modal (CAR) bank yang dulu bernama Bank Century ini anjlok dari 11 persen pada triwulan pertama 2013 menjadi 5,43 persen pada triwulan kedua. Angka ini jauh di bawah ambang batas yang disyaratkan Bank Indonesia sebesar 8 persen.
Usut punya usut, terpuruknya Bank Mutiara ternyata disebabkan oleh macetnya pembayaran kewajiban sejumlah debitor lama senilai Rp 840,213 mil#00CCCCiar atau 82,7 persen dari total kredit seret. Mereka mendapat pinjaman dalam bentuk letter of credit (L/C) saat bank itu masih dimiliki Robert Tantular. Menjadi rumit karena ada sejumlah debitor baru yang pembayarannya ikut-ikutan macet senilai Rp 174,798 miliar.
Kronologi
2007
Robert Tantular, pemilik Century, memerintahkan pemberian fasilitas L/C senilai US$ 178 juta kepada 10 perusahaan. Empat di antaranya PT Polymer Spectrum Sentosa, PT Trio Irama, PT Selalang Prima Internasional, dan PT Petrobas Indonesia.
2008
Bank Century kolaps dan diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan melalui keputusan Komite Stabilitas Sektor Keuangan. LPS menyuntikkan Rp 6,7 triliun. Robert Tantular diterungku.
2009
Bank Century berganti nama menjadi Mutiara dan menyetujui restrukturisasi kredit debitor lama.
2010 hingga kuartal I 2013
Pembayaran cicilan utang berjalan lancar.
Oktober 2013
- Pembayaran cicilan mulai tersendat dan kredit masuk kategori 5 alias macet. CAR Mutiara anjlok menjadi 5,43 persen.
- Bank Indonesia meminta LPS menyuntikkan dana Rp 1,5 triliun.
November 2013
Kuasa hukum Mutiara melakukan penagihan.
November 2013
Batas akhir Bank Mutiara dijual dengan harga Rp 6,7 triliun. Setelah batas ini, Bank Mutiara dapat dijual di bawah harga itu.
20 Desember 2013
Tenggat akhir penyuntikan dana dari LPS.
Kinerja Keuangan (Rp Triliun) | |||||
2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013* | |
Aset | Rp 7,53 | Rp 10,78 | Rp 13,12 | Rp 15,24 | Rp 15,95 |
Dana pihak ketiga | Rp 5,95 | Rp 8,9 | Rp 11,19 | Rp 13,46 | Rp 14,1 |
Kredit | Rp 4,86 | Rp 6,30 | Rp 9,39 | Rp 11,15 | Rp 11,40 |
CAR | 10,02% | 11,16% | 9,41% | 10,09% | 11% |
*) = per Juli 2013
Debitor Lama
Selalang Prima Internasional
Manajemen: Misbakhun (komisaris), Franky Ongkowardjono (direktur)
Kredit: Rp 155,7 miliar
Bidang: impor kondensat Bintulu (sejenis produk turunan minyak bumi)
Polymer Spectrum Sentosa
Pemilik: Soelistijo Hidayat Wangsawidjaja dan Kalo Oentoro
Kredit: Rp 172,4 miliar
Bidang: perdagangan, distributor, ekspor dan impor
Trio Irama Manunggal
Manajemen: Ali Judhanita dan Mohammad Djuned Husen
Kredit: Rp 16 miliar
Bidang: distributor bijih plastik
Catur Karya Manunggal
Kredit: Rp 67,4 miliar
Bidang: industri sisa hasil polimer
Enerindo (eks Petrobas)
Manajemen: Rofik Suhud, Welliem Pattiapon (pemegang saham), Vishwa Sundararn (direktur utama) dan Hendarto Sukri (komisaris)
Kredit: Rp 174,6 miliar
Bidang: perdagangan bahan bakar minyak
Diduga terafiliasi dengan Robert Tantular
Tranka Kabel
Manajemen: Umar Zein (direktur)
Kredit: Rp 62,9 miliar
Bidang: produsen kabel power
Cahaya Adiputra Sentosa
Kredit: Rp 35,2 miliar
Kredit: kategori 5 (macet)
Sentra Indologis
Kredit: Rp 13,105 miliar
Bidang: logistik
Akasia
Kredit: Rp 84,891 miliar
Kategori: 3
Millennium Anugerah Sakti
Kredit: Rp 57,849 miliar
Debitor Baru
PT Glory
Kredit: 18,531 miliar
Penyebab: harga batu bara turun
PT Bunga Mas
Kredit: Rp 15,141 miliar
Penyebab: konflik pengurus dan pemilik
PT AMX Motor
Kredit: Rp 29,219 miliar
Penyebab: angka penjualan turun
PT Perintis IM
Kredit: Rp 7,616 miliar
Penyebab: pembayaran dari pemasok telat
PT Sumber Abadi
Kredit: Rp 46,854 miliar
Penyebab: side streaming
Kemindo Pratama
Kredit: Rp 17 miliar
Penyebab: konflik pengurus dan pemilik
Abdullah Said
Kredit: Rp 7,635 miliar
Penyebab: usaha bangkrut
R. Bambang Setiawan
Kredit: Rp 1,432 miliar
Penyebab: penghasilan menurun
Priscillia Georgia
Kredit: Rp 1,758 miliar
Penyebab: bangkrut
Tahal Abidin
Kredit: Rp 2,102 miliar
Penyebab: bangkrut
Naskah: Akbar Tri Kurniawan Sumber: Bank Indonesia dan Bank Mutiara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo