Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEWAT layar video, dari Cepu, Jawa Tengah, Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan memantau pengapalan perdana produk paraxylene dari kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang berada di Tuban, Jawa Timur, Jumat dua pekan lalu. Pengiriman bahan baku plastik ini menjadi babak baru perusahaan petrokimia itu setelah berhenti beroperasi dua tahun lalu. "Kini kilang Trans Pacific Petrochemical sudah beroperasi kembali," katanya.
Setelah pemilik lama TPPI, Honggo Wendratno, dilengserkan pada Desember 2012, Pertamina menjadi pengelola baru perusahaan itu. Pengalihan pengelolaan perusahaan yang memiliki utang jumbo tersebut sempat diwarnai tarik-ulur yang tajam. Honggo tidak mampu membayar ketika seluruh utang TPPI yang mencapai Rp 17 triliun jatuh tempo.
Utang tersebut tidak bisa direstrukturisasi lagi karena pembayarannya sudah beberapa kali dijadwal ulang. Utang-utang tersebut bermasalah sejak krisis moneter pada 1997. Pengambilalihan oleh Pertamina merupakan bagian dari pelunasan utang TPPI kepada perusahaan pelat merah itu.
Utang TPPI itu tersebar ke banyak pihak. Tagihan paling besar datang dari Pertamina, yakni US$ 589 juta. Selain itu, TPPI masih punya utang kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebesar US$ 169 juta, PT Perusahaan Pengelola Aset Rp 3,26 triliun, serta kreditor lain, seperti UOB dan JGC Corporation. Total utangnya mencapai US$ 1 miliar.
Namun ternyata bukan hanya itu kewajiban macet yang mesti ditanggung TPPI. Awal pekan lalu kembali ramai dibicarakan tumpukan utang macet empat perusahaan yang diduga terafiliasi dengan TPPI di Bank Mutiara yang mencapai Rp 411,5 miliar. Sumber Tempo mengatakan utang yang kini masuk kategori lima alias kredit macet itu adalah warisan dari manajemen lama—saat masih bernama Bank Century.
Empat debitor macet Mutiara itu adalah PT Selalang Prima Internasional, PT Polymer Spectrum Sentosa, PT Trio Irama, dan PT Catur Karya Manunggal. Semuanya bergerak di sektor industri petrokimia. Menurut sumber itu, pengucuran kredit tersebut tak lepas hubungan dekat Robert Tantular, pemilik lama Century, dengan Honggo. "Mereka berkawan sangat dekat," katanya.
Kuasa hukum Bank Mutiara, Mahendradatta, tidak membantah soal keterkaitan antara empat perusahaan ini dan Trans Pacific Petrochemical Indotama. "Kami menduga kuat empat perusahaan itu terafiliasi dengan Honggo," ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Soal kedekatan Robert dan pendiri TPPI sejatinya sudah terungkap dalam Audit Investigasi Bank Century Badan Pemeriksa Keuangan pada 2009. Audit ini dilakukan pasca-pengambilalihan Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) setahun sebelumnya. Dalam audit itu diketahui Polymer Spectrum Sentosa mendapat fasilitas pengucuran kredit tidak melalui prosedur perbankan yang lazim.
Dalam audit BPK itu juga disebutkan kredit yang diterima Polymer karena ada perlakuan istimewa pemilik dan Direktur Bank Century, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Honggo juga terseret karena memberi jaminan pribadi atas kredit itu dengan menggunakan jabatannya sebagai Direktur Utama PT Polytama Propindo, salah satu anak usaha TPPI.
Polymer Spectrum mendapat fasilitas kredit perdagangan (L/C) sebesar US$ 18 juta (sekitar Rp 216 miliar) dengan jaminan berapa standby L/C dari Standard Chartered Bank, Singapura, dengan nilai setara. Jaminan itu masih ditambah dengan personal guarantee Honggo. Kucuran kredit itu digunakan Polymer untuk bertransaksi dengan Grains and Industrial Products Trading PTE Ltd.
Bank Credit Suisse, Jenewa, bertindak sebagai bank penjamin dan Credit Suisse, Singapura, menjadi bank koresponden. Ketika utang jatuh tempo pada 8 Januari 2009, Polymer ternyata tak sanggup melunasinya. Celakanya, jaminan senilai US$ 1 juta pun tidak dapat dieksekusi. Kini utang Polymer masih tersisa Rp 172,4 miliar.
PT Selalang Prima Internasional, yang pernah menyeret mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Mukhamad Misbakhun, juga tercatat di audit BPK. Pada November 2007, Selalang memperoleh fasilitas usance L/C sebesar US$ 22,5 juta (sekitar Rp 270 miliar) untuk membeli Bintulu kondensat dari Grains and Industrial Products Trading. Jatuh tempo utang itu setahun kemudian.
Dari audit BPK itu juga terungkap uang hasil penjualan Bintulu tersebut ternyata diinvestasikan ke Kellett Investment Incorporated, perusahaan investasi dan future trading yang berkantor di Hong Kong. Krisis finansial yang melanda Amerika dan Eropa pada 2008 membuat Kellett tak mampu mengembalikan duit Selalang.
Utang Selalang sebetulnya sudah direstrukturisasi pada November 2009. Selalang telah membayar US$ 8 juta. Selebihnya dilunasi secara bertahap dengan jaminan rumah yang jadi kantor Selalang di Jalan Senopati 10, Jakarta Selatan; tanker; dan piutang usaha senilai US$ 5 juta. Namun utang kembali macet. Menurut dokumen yang diperoleh Tempo, kewajiban Selalang yang belum terbayar mencapai Rp 155,7 miliar.
Untuk menelusuri hubungan Selalang dengan Honggo, Tempo menyambangi kantor Trans Pacific di lantai 25 Gedung Mid Plaza, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Seorang petugas keamanan gedung membenarkan bahwa Selalang terafiliasi dengan TPPI. "Dulu kantornya di sini. Surat untuk Selalang juga masuk ke TPPI," katanya. Sebelum pindah ke Jalan Senopati, Selalang berkantor di gedung ini. Misbakhun tak menjawab telepon dan pesan melalui BlackBerry Messenger.
Sebagai pengelola baru Trans Pacific, Pertamina belum mau berkomentar soal utang macet tersebut. Menurut Direktur Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin, perseroan berfokus menjalankan kilang. "Kami tidak mau berandai-andai tentang soal piutang Bank Mutiara," ucapnya. "Masalah legal harus hati-hati."
Sekretaris Perusahaan Bank Mutiara Rohan Hafas memastikan akan tetap menagih kewajiban para debitor macet itu. Soal pergantian pemilik dari Honggo ke Pertamina, kata dia, Mutiara akan mengecek kesepakatan soal pengalihan kewajiban kepada bank. "Setelah itu, baru kami pikirkan cara penagihannya."
Gustidha Budhiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo