DIAM-diam bertemu juga jalannya menyediakan rupiah untuk membiayai proyek pembangunan: lembaga pemberi kredit OECF (Overseas Economic Cooperation Fund) Jepang setuju ikut memikul sebaian pembiayaan rupiah yang biasanya ditanggung sepenuhnya APBN -- di samping memberi kredit yen. Jadi, bila suatu proyek anggaran rupiahnya semula dialokasikan 40%, dengan persetujuan baru itu OECF sanggup ikut menanggung separuhnya. Dengan begitu, sebuah proyek pemerintah yang benar-benar murni dibiayai rupiah APBN kelak bisa tinggal 10% atau 20% saja. Di saat kini rupiah sulit didapat dari sumber pajak dalam negeri -- sesudah harga minyak jatuh -- terobosan yang disetujui OECF belum lama itu jelas melegakan. Apalagi pemberi kredit memperbolehkan dana itu dipakai untuk mombeli bahan lokal maupun menutup biaya konstruksi. "Tapi tak boleh digunakan membayar pembebasan tanah, membayar pajak, membuat rumah untuk staf proyek, maupun membayar gaji," kata Hiroshi Yamada Senior Representative OECF di Jakarta. Menurut persetujuan, yang ditandatangani bulan September lalu itu, OECF menyatakan sanggup menyediakan pembiayaan lokal bagi 17 proyek konstruksi yang kini tengah berjalan sebesar hampir 5,3 milyar yen. Salah satu proyek itu adalah Tomang Flyover II and Interchange dengan biaya lokal 552 juta yen -- di samping kredit OECF 2,172 milyar yen. Kata Dirjen Bina Marga, Suryatin Sastromijoyo, proyek dengan komposisi pembiayaan baru itu secara resmi belum ada. "Tapi sebentar lagi akan terwujud," ujarnya. Yang menyenangkan, pembiayaan dana lokal dari OECF itu tetap dikenai bunga 3,5% setahun, dengan jangka pengembalian 30 tahun dan masa bebas mengangsur 10 tahun -- sama dengan syarat kredit valuta asingnya. Mekanisme penyaluran dana itu sendiri tampak sederhana. Mula-mula, OECF mentransfer yen yang dijanjikannya tadi ke Bank Indonesia. Bila kemudian pihak Ditjen Bina Marga memerlukan, yen tadi baru dikonversikan ke rupiah. "Jadi, masuknya yen tadi sesungguhnya juga merupakan penambahan devisa, sekaligus akan menambah jumlah uang beredar," kata seorang pejabat Bappenas. Singkat kata, rupiah yang keluar dari sana tidak membuat inflasi, karena bukan berasal dari pencetakan uang kertas baru. Bagi pemerintah, model pembiayaan semacam itu termasuk baru, dan tidak mudah mengusahakannya. Ikhtiar Prof. Widjojo Nitisastro, teknokrat senior Indonesia, konon, berperanan besar dalam meyakinkan perlunya Jepang menolong kesulitan ekonomi Indonesia. Berkat usaha itu, untuk tahun 1986 ini, OECF setuju memberikan tambahan 80 milyar yen -- 15,3 milyar yen di antaranya diberikan sebagai pembiayaan dana lokal. Merasa sukses melunakkan orang Jepang, usaha serupa kemudian dicoba dengan Prancis. Ternyata, negara itu meminta agar bagian dari dana lokal yang akan diberikannya dikenal syarat sebagai pinjaman kredit ekspor dengan bunga 8% dan berjangka pendek. Tentu saja, pemerintah menolak. "Syarat pembayarannya akan memberatkan neraca pembayaran," kata pejabat itu. Tapi dengan Bank Dunia pemerintah tampaknya tak mengalami kesulitan untuk melakukan pinjaman model OECF. Pada hakikatnya, pihak Bank Dunia sudah setuju untuk ikut memikul pembiayaan rupiah itu dengan syarat tidak digunakan untuk membebaskan tanah, membayar gaji, dan pajak. Toh, untuk gaji penyuluh di lapangan, Bank Dunia tak keberatan diambilkan dari situ kelak. "Mekanisme pemberian kredit dengan cara itu sedang kami bicarakan," kata seorang pejabat Bank Dunia di Jakarta. "Saya berharap Januari nanti sudah selesai dan mulai efektif." Selama ini komposisi bantuan yang diberikan lembaga itu valuta asing 60% lawan rupiah 40%. Hanya saja, dalam beberapa kasus tertentu, bagian dari Bank Dunia tadi bisa naik sampai 80%, misalnya untuk pinjaman sistem teknik bagi Perumtel. Bahkan pinjaman yang diberikannya untuk PJKA bisa 90%. Pihak Indonesia disebut pejabat Bank Dunia itu, "Lebih banyak mengambil inisiatif untuk memperbaiki cara pemberian bantuan itu." Jika nanti Bank Dunia setuju dengan konsep pemberian kredit model OECF itu, penjualan banyak barang lokal niscaya akan tertolong. Pemberi pinjaman sendiri secara berangsur juga memberikan kesempatan agar produk lokal, seperti tiang pancang beton maupun pipa, bisa digunakan untuk proyek yang mereka biayai. "Kalau toh industri dalam negeri belum mampu, kami tidak akan memaksa pihak pemberi kredit," kata Dirjen Suryatin. Tapi keluhan masih tetap datang: banyak proyek yang sudah disetujui di masa lalu kurang lancar penarikan kreditnya. Dari jumlah kredit OECF yang disetujui, 1.240 milyar yen, sekitar 30% belum ditarik. Untuk kredit dari Bank Dunia, jumlah yang belum dipakai malah lebih besar. Nah, untuk memperlancar pemakaian kredit itu, Presiden lalu membentuk Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-Proyek Pembangunan dengan Dana Luar Negeri (P4DLN) yang diketuai Menteri Negara PAN Saleh Afiff. Hasil kerja tim selama tiga bulan rupanya sudah muncul. Untuk pengurusan perizinan proyek-proyek PU, yang biasanya makan waktu sebulan, sekarang sudah bisa dirampungkan dalam tempo seminggu. "Kesulitan PU mengatasi lembaga di luar bisa dijembatani dengan tim ini," kata Soekrisno, Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Departemen PU. Juga ketika PU melaporkan lima proyek pengairannya menghadapi kesulitan dalam pembebasan tanah, Tim P4DLN lalu turun mengusahakan bantuan realokasi dananya. Kesulitan yang masih belum bisa terpecahkan adalah untuk memperpendek waktu negosiasi. Menurut pengalaman Dirjen Cipta Karya, Sunarjono Danudjo, negosiasi untuk menggolkan sebuah proyek biasanya berlangsung selama dua tahun. Waktu dan biaya kemudian jadi terasa mahal bila orang pemerintah harus terbang segala ke Manila karena Bank Pembangunan Asia tak punya perwakilan di Jakarta. "Baru tahun ketiga biasanya proyek bisa jalan lancar," kata Dirjen Danudjo. Pada akhirnya, meskipun dana sudah tersedia, yang menentukan terwujudnya sebuah proyek adalah urusan di belakangnya. Mengurus izin, membebaskan tanah, sampai mengurus konsultan yang disetujui kedua pihak. E.H. Laporan Biro Tokyo & JakartA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini