Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Perdagangan dan Perindustrian India Piyush Goyal menarik lengan Enggartiasto Lukita. Ia lalu mengajak Menteri Perdagangan Indonesia itu bergeser ke tepi ruangan. Pada hari terakhir Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN Ke-51, di Bangkok, Thailand, Selasa, 10 September lalu, keduanya berbincang serius. “Berita baik untuk Anda. Sudah berlaku mulai hari ini,” ucap Goyal menyampaikan kabar gembira, seperti diceritakan Enggartiasto kepada Tempo, Jumat, 13 September lalu.
Kabar baik yang dimaksud Goyal adalah tentang produk minyak kelapa sawit suling (refined, bleached, and deodorized palm oil) Indonesia. Pemerintah Indonesia meminta India memberlakukan bea masuk komoditas tersebut sama dengan produk serupa asal Malaysia. India bukan anggota kelompok negara-negara Asia Tenggara. Tapi mereka dipertemukan dalam agenda konsultasi Menteri Ekonomi ASEAN dengan Rusia, India, Kanada, dan ASEAN +3.
Saat ini tarif masuk komoditas yang sama asal negeri jiran lebih murah karena kedua negara memiliki perjanjian perdagangan bilateral India-Malaysia Implement Comprehensive Economic Cooperation Agreement. Dengan dasar itu, produk sawit asal Malaysia cuma dipungut bea masuk 45 persen. Sedangkan produk asal Indonesia dikenai tarif 50 persen.
Perbedaan tarif yang berlangsung sejak 2018 itu membuat ekspor sawit Indonesia ke India jeblok. Sebab, harga minyak sawit Indonesia menjadi tidak kompetitif. Kementerian Perdagangan mencatat, tak sampai setahun sejak aturan bea masuk yang berbeda itu berlaku, penerimaan ekspor Indonesia berkurang US$ 600 juta lebih (sekitar Rp 8,4 triliun).
Padahal India adalah pasar ekspor utama sawit Indonesia. Seperempat volume pengapalan minyak sawit Indonesia ke luar negeri ditujukan ke India. Pada 2017, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), minyak sawit yang dikirim ke India mencapai 7,62 juta ton. Setahun berikutnya, penjualan ke India berkurang menjadi 6,71 juta ton, seiring dengan mulai berlakunya kebijakan perbedaan bea masuk.
Kondisi pada tahun ini lebih parah. Hingga paruh pertama 2019, minyak sawit yang diekspor ke India baru 2,5 juta ton, turun hampir 20 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Ketua Umum Gapki Joko Supriyono memprediksi, hingga akhir tahun nanti, volume ekspor tak akan melonjak tajam. “Paling cuma sampai 4 juta ton,” katanya.
Enggar menjelaskan, dalam konsep kebijakan baru penyamaan tarif tersebut, pemerintah India menaikkan bea masuk minyak sawit suling asal Malaysia menjadi sama dengan Indonesia, yakni 50 persen. Indonesia semula berharap tarif baru yang berlaku sebesar pungutan kepada Malaysia, yaitu 45 persen.
Menurut Enggar, India meminta Indonesia maklum. Jika penyamaan dilakukan dengan menurunkan tarif menjadi 45 persen, India akan kehilangan pendapatan. Jika hal itu yang diajukan, Enggar menambahkan, akan sulit mendapat persetujuan pemerintah India. Sebaliknya, bila tarif disamakan menjadi 50 persen, India tidak hanya memenuhi komitmen kepada Indonesia, tapi juga mendapat tambahan kas.
“Bagi kita, poinnya adalah adanya lapangan bermain yang adil,” Enggar menegaskan. Dengan perlakuan yang sama, ia optimistis nantinya ada peningkatan penerimaan dari ekspor minyak sawit ke India sekitar US$ 500 juta per bulan.
Semula Indonesia hanya mendapat janji pemerintah India akan merampungkan regulasi mengenai tarif tersebut bulan ini. Tapi, menjelang berakhirnya pertemuan para menteri ASEAN, Goyal memberikan kepastian bahwa secara administrasi bea masuk produk minyak sawit Indonesia dan Malaysia sudah setara.
Joko tak terlalu antusias mendengar kabar yang menurut Enggar menggembirakan itu. Ia menilai Indonesia telat membuat perjanjian dengan India. Malaysia telah meneken perjanjian perdagangan bebas (AFTA), yang akan ditingkatkan menjadi kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA).
Joko mengaku telah lama mengusulkan hal tersebut. Tapi pemerintah dinilai kurang berjuang. Padahal Presiden Joko Widodo sudah beberapa kali menyampaikannya kepada Perdana Menteri India Narendra Modi. “Kalau Presiden sudah ngomong, artinya masalah ini serius,” ujar Joko. Ia mempertanyakan Kementerian Perdagangan, yang ia nilai kurang serius. “Ini enggak bisa ngomong saja harus dinegosiasikan.”
Joko berharap kebijakan penurunan bea masuk minyak sawit berlaku segera. Sebab, regulasi itu akan menjadi sia-sia bila diberlakukan tahun depan. Mulai 2020, India dan ASEAN masuk periode pasar bebas.
Enggartiasto Lukita/Tempo/Ratih Purnama
KEBIJAKAN penyamaan bea masuk merupakan bagian dari komitmen Indonesia dan India merealisasi perjanjian perdagangan bebas ASEAN-India Free Trade -Agreement (AIFTA). Sebelumnya, Enggartiasto Lukita bertemu dengan Menteri Perdagangan, Industri, dan Penerbangan Sipil India Suresh Prabhu di New Delhi pada 22 Februari 2019. Mereka menyepakati pertukaran penurunan bea masuk produk minyak sawit suling dengan gula mentah (raw sugar).
Sebagai imbal balik atas kebijakan penyamaan tarif minyak sawit, Indonesia berkomitmen menyamakan bea masuk gula mentah India dengan Thailand dan Australia. Selama ini ada perbedaan tarif masuk sebesar 5 persen antara India dan dua negara tersebut. India meminta bea disamakan supaya memiliki peluang kompetisi sama.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Perubahan Nilai Tarif Berdasarkan AIFTA. Enggar bercerita, ia mengusulkan Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan baru tersebut. Ia meyakinkan Kementerian Keuangan bahwa hal itu tak akan merugikan Indonesia. Sebab, sumber pasokan yang semula hanya berasal dari Thailand dan Australia bakal bertambah dari India.
Namun ada masalah menyangkut angka International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis atau ICUMSA, yang biasa dipakai untuk mengukur tingkat kemurnian gula mentah. Makin rendah angka ICUMSA, kualitas gula makin bagus dan warnanya lebih putih. Sebaliknya, tingginya angka ICUMSA menandakan rendahnya kualitas gula, yang ditunjukkan dengan warna yang lebih keruh.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Gula Impor, produk yang boleh didatangkan dari luar negeri adalah gula mentah dengan ICUMSA di atas 1200. Adapun gula yang tidak boleh diimpor adalah yang memiliki ICUMSA di bawah 200 karena tergolong gula konsumsi, bukan untuk diolah kembali.
Persoalannya, Enggar melanjutkan, pabrik-pabrik di India menghasilkan gula dengan ICUMSA rata-rata 600. Karena itu, mereka biasanya “mengotori” produknya agar angka ICUMSA meningkat sehingga memenuhi standar impor Indonesia. Menurut Enggar, hal itu sebenarnya merugikan kedua negara. Eksportir India, misalnya, mesti “mengotori” produknya yang telah murni. Sedangkan importir Indonesia harus mengolahnya kembali. “Dua-duanya keluar biaya, jadi tidak efisien.” Karena itu, Kementerian Perdagangan akan merevisi aturan ICUMSA gula impor.
Industri pengguna gula mentah menyambut baik kebijakan pembukaan keran impor dari India itu. “Berarti makin banyak sumber pasokan, makin kompetitif,” ucap Koordinator Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi Dwi Atmoko Setiono.
Di sisi lain, Kementerian Perindustrian mengingatkan, penyesuaian standar ICUMSA itu akan lebih memudahkan industri di Indonesia untuk mengolah gula mentah menjadi produk dengan ICUMSA di bawah 200 alias gula konsumsi. Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas khawatir gula mentah hanya akan diproses sederhana, kemudian dijual sebagai gula konsumsi.
Bila itu terjadi, produsen gula lokal yang paling kena dampak. Karena itu, kata Enny, diperlukan penyesuaian standar ICUMSA gula kristal putih dan gula kristal rafinasi untuk meminimalkan kekhawatiran tersebut.
RETNO SULISTYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo