Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Hotel Vouk, Nusa Dua, Bali, Rabu, 11 September lalu, Bambang Gatot Ariyono dan Yunus Saefulhak menghadapi puluhan pengusaha tambang nikel yang sedang kesal. Dari pukul sepuluh sampai tiga sore keduanya menjelaskan percepatan pelarangan ekspor bijih nikel. “Yang memberikan sosialisasi Pak Bambang. Saya hanya menemani,” kata Yunus, Kamis sore, 12 September.
Yunus adalah Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara. Adapun Bambang menjabat Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut Yunus, salah satu perusahaan yang hadir di Bali adalah perwakilan Harita Group, yang sedang merampungkan fasilitas pemurnian di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Itu merupakan fasilitas kedua yang mereka bangun. “Pokoknya yang mau dan sedang bangun smelter nikel saja yang kami undang,” tutur Yunus.
Dua pekan sebelum pertemuan di Hotel Vouk, 28 Agustus lalu, Menteri Energi Ignasius Jonan menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Batubara. Isinya: penambang nikel yang sedang membangun smelter hanya bisa mengekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen sampai 31 Desember 2019. Keputusan ini keluar lebih cepat dua tahun dari rencana semula, yakni 11 Januari 2022.
Kementerian mengumumkan percepatan itu pada Senin, 2 September lalu. Seketika pendulang nikel nasional bergolak. Hujan interupsi merembet dan menghambur di Hotel Vouk sepekan setelah pengumuman percepatan. “Banyak yang bertanya, penghentian sejak kapan? Ya sejak 1 Januari 2020,” ucap Yunus menceritakan isi pertemuan itu.
Bola panas percepatan pelarangan ekspor bijih nikel itu sebetulnya sudah menggelinding sehari setelah peraturan menteri berubah. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengadu ke Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo.- APNI menilai keputusan pemerintah tidak adil. “Dampak jika ekspor bijih ditutup sebelum 2022 adalah terjadi monopoli harga domestik. Harus ada keberpihakan dari pemerintah kepada pengusaha lokal,” ujar Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey seusai pertemuan pada Kamis, 29 Agustus lalu. Selain itu, Meidy menambahkan, pelarangan tersebut membuat smelter yang sedang dibangun terancam kehilangan sumber dana.
Bambang berjanji meneruskan keluh-kesah APNI ke Komisi VII DPR, yang antara lain membidangi urusan energi. “Seperti disampaikan para pengusaha, ada kehilangan pendapatan negara yang cukup besar akibat kebijakan yang tumpang-tindih,” tutur Bambang, Kamis, 29 Agustus, ditemani politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Maruarar Sirait, dan politikus Golkar, Mukhamad Misbakhun, saat menerima APNI di gedung DPR.
Empat hari kemudian, Senin, 2 September, APNI kembali mengadu ke Bambang. Kali ini rombongan dipimpin ketua umumnya, Insmerda Lebang, pensiunan jenderal polisi bintang tiga yang juga komisaris Garuda Indonesia dan sejumlah perusahaan swasta.
TARIK-ULUR pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel sudah alot sejak pertengahan tahun ini. Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang menggelindingkan usul percepatan itu. Menurut Luhut, pelarangan ekspor bisa mendatangkan keuntungan berlipat dari nilai tambah pengolahan bijih nikel.
Saat ini harga bijih nikel yang diekspor hanya sekitar US$ 30 per ton, sementara bila menjadi feronikel bisa melompat sampai US$ 100 per ton. “Kita sudah terlalu banyak ekspor bijih nikel ke Cina, 98 persen diekspor ke Cina,” kata Luhut di kantornya di Jakarta, Selasa, 10 September lalu.
Luhut tidak keliru. Melirik data UN Comtrade, pusat data perdagangan internasional, nyaris semua nikel mentah Indonesia dikirim ke Cina. Tahun lalu, dari 19,7 juta ton ekspor, sebanyak 19,2 juta alias 97,4 persen berlayar ke Negeri Panda. Sisanya, sebanyak 450 ribu ton atau 2,3 persen ke Ukraina dan 55 ribu ton atau 0,3 persen ke Jepang.
Sampai di sana, bijih nikel Indonesia diolah menjadi besi mentah alias nickel pig iron (feronikel berkadar rendah) sebagai lapisan baja antikarat. Ketika nikel sudah menjadi baja, Indonesia mengimpornya dengan harga berkali lipat.
Sebagai perut nikel dunia, Indonesia punya peran. Pada 2018, perdagangan nikel dunia mencapai 53 juta ton. Indonesia menyumbang 19,7 juta ton, hanya kalah oleh Filipina, yang berkontribusi 24,5 juta ton. Dari 53 juta ton perdagangan dunia itu, Cina sendiri mengimpor 46 juta ton.
Maka, ketika Indonesia melarang ekspor bijih nikel sejak 2014, Cina menggelepar. Sebaliknya, produksi besi mentah Indonesia melompat dari hanya 3.000 ton pada 2014 menjadi 183 ribu ton pada 2017. Salah satu pemicunya dua raksasa besi mentah Cina, Tsingshan Group dan De Long Nickel, mendekati sumber bijih di Sulawesi dan membangun smelter.
Ekspor bijih dibuka lagi sejak 2017. Syaratnya, yang boleh diekspor hanya bijih dengan kadar di bawah 1,7 persen. Pendulang yang boleh mengekspor hanya yang sudah dan sedang membangun smelter.
Pada 2018, ada 37 perusahaan pemegang rekomendasi ekspor. Masalahnya, makin ke sini, beberapa dari puluhan pemegang rekomendasi ekspor itu mulai lancung. Fasilitas pengolahan diabaikan, tapi ekspor jalan terus.
Awal Mei lalu, Yunus Saefulhak mengatakan Kementerian Energi mencabut lima izin ekspor pendulang nikel. Mereka adalah PT Surya Saga Utama (rekomendasi 3 juta ton ekspor), PT Genba Multi Mineral (1,8 juta ton), PT Modern Cahaya Makmur (298 ribu ton), serta PT Lobindo Nusa Persada dan PT Integra Mining Nusantara (923 ribu ton). Izin rekomendasi ekspor lima perusahaan itu dicabut pada Maret 2019.
Seorang pejabat di Kementerian Koordinator Kemaritiman mengatakan pendulang yang mengemplang proyek smelter lebih banyak. Mereka adalah PT Ceria Nugraha Indotama (rekomendasi 2 juta ton), PT Macika Mada Madana (1,1 juta), dan PT Sulawesi Resources (1,9 juta ton). Yunus tidak menyebutkan tiga perusahaan ini. Tapi, menurut dia, ada beberapa perusahaan lagi yang kena tegur.
Yunus mengatakan, sejak Juni lalu, Kementerian Energi terus berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman. Dengan banyaknya pengemplang smelter, cadangan bijih nikel yang bisa dikeduk makin tipis, tinggal 648 juta ton dari cadangan terkira 2,8 miliar ton. Dua kementerian itu akhirnya bersepakat memajukan pemberlakuan larangan ekspor dua tahun lebih. “Ditambah lagi nanti industri prekursor baterai mobil listrik butuh pasokan bijih nikel kadar rendah (laterit),” ujar Yunus.
Empat kongsi perusahaan sudah mendengungkan rencana membuka fasilitas pengolahan laterit, yang melimpah di Sulawesi dan Maluku Utara. Perusahaan itu -Huayou Bahadopi (Morowali), QMB Bahadopi (Morowali), Halmahera Persada Lygend (Halmahera Selatan), dan Smelter Nikel Indonesia (Morowali). Setiap perusahaan secara berurutan membutuhkan pasokan laterit sebanyak 11 juta ton, 5 juta ton, 8,3 juta ton, dan 2,4 juta ton per tahun.
Luhut Pandjaitan (kanan) dan Budi Gunawan di Istana Negara, Jakarta, April 2017./ ANTARA/Puspa Perwitasari
ASOSIASI Penambang Nikel Indonesia tidak hanya mengadu ke DPR, tapi juga merajuk ke Badan Intelijen Negara. Dua sumber yang mengetahui kejadian itu mengungkapkan, APNI bisa menembus BIN berkat akses ketua umumnya, Insmerda Lebang. Pensiunan jenderal polisi bintang tiga itu diketahui kenal dengan Budi Gunawan, Kepala BIN.
Dari situ, BIN memanggil sejumlah kementerian dan lembaga ke Pejaten Timur, kantor badan telik sandi, pada Selasa, 3 September lalu. Yunus Saefulhak datang mewakili Kementerian Energi. Lebang dan Meidy Katrin Lengkey mewakili APNI. Hadir pula perwakilan Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Dalam pertemuan itu APNI melaporkan dugaan praktik oligopsoni yang mendera tambang nikel lokal. Smelter besar yang menyerap bijih nikel berkadar lebih dari 1,7 persen hanya ada dua: Virtue Dragon Nickel Industry (anak usaha De Long Nickel) di Konawe, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Mining Investment (Tsingshan) di Morowali, Sulawesi Tengah. Virtue menyerap 9 juta ton bijih domestik, sementara Tsingshan menyedot 36 juta ton dari total 60 juta ton bijih yang dibeli smelter nasional.
Masalahnya, kata Meidy, bila menjual bijih ke dua smelter itu, pendulang kena harga bersih setelah barang tiba di tempat pembeli (cost insurance freight). Harganya cuma US$ 25-26 per ton dengan kadar nikel 1,8 persen. Dipotong biaya lain-lain, pendulang menerima bersih US$ 15 per ton.
Harga itu jomplang dengan harga bijih ekspor, yang mencapai US$ 40 per ton di atas kapal (free on board). Juga masih jauh di bawah harga patokan mineral (HPM) pemerintah untuk nikel, yakni US$ 30 per ton.
Bila sedang apes, Intertek, penyurvei bawaan smelter, kerap menilai kadar nikel dari pendulang di bawah kesepakatan. Pendulang kena penalti. APNI, Meidy menambahkan, memprotes keras penggunaan penyurvei itu karena di luar lima surveyor yang mendapat izin Kementerian Energi. “Sejak 2017 kami meminta pemerintah mengatur harga domestik. Tapi katanya ini cukup business to business saja,” ujar Meidy.
APNI menghitung, dari praktik beli murah itu, Virtue mendapat selisih keuntungan sebanyak US$ 423 juta per tahun. Adapun Sulawesi Mining Investment beroleh US$ 1,692 miliar per tahun. “Apa enggak kaya raya mereka?” tutur Meidy.
Pemilik perusahaan tambang nikel di Kendari itu tidak tahu betul bagaimana ketua umum mereka bisa menembus Pejaten. Adapun Lebang, dihubungi sejak Jumat pekan lalu, 13 September, tidak menjawab soal pertemuan di BIN.
Yunus mengaku kaget APNI baru memaparkan data itu dalam pertemuan di Pejaten. Menurut dia, Kementerian Energi sudah meminta bukti temuan APNI tentang dugaan oligopsoni Virtue dan Sulawesi Mining Investment tiga bulan lalu.
Yunus berjanji pemerintah segera mengatur harga patokan nikel domestik, sekaligus tata niaganya, agar pengusaha tambang mendapat harga yang adil dari smelter nasional. Menurut Yunus, harga patokan dan tata niaga itu sudah ada, tapi belum mencakup sanksi-sanksi. “Kami mau penambang tetap hidup.”
Luhut Binsar Pandjaitan tahu APNI mengadu ke parlemen, juga ke BIN. Tapi dia bergeming. “Tidak ada urusan. Sekarang kau mau ekspor ke Cina atau bikin di dalam negeri?”
Rapor Merah Nikel Mentah
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo