Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah diskusi itu, Said Iqbal mulai kesal. Dalam acara yang digelar salah satu stasiun televisi swasta pada Selasa malam tiga pekan lalu itu, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ini mengaku tercengang mendengar pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.
Program berdurasi 120 menit sudah separuh jalan. Bicara melalui sambungan telepon, Hanif menyatakan tak ada masalah lagi dengan revisi Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Hari Tua (JHT), yang belakangan menuai kontroversi. "Beliau bilang tak ada penolakan dari buruh. Katanya semua sudah setuju," ujar Said bercerita kembali kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Said jelas tak sependapat. Sebab, sejak peraturan digodok hingga diluncurkan pada 1 Juli lalu, serikat buruh acap tak dilibatkan dalam merumuskan kompromi. Satu-satunya pertemuan terjadi pada September 2013. Persamuhan antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja ketika itu melahirkan surat kesepakatan yang isinya menyetujui agar dibuat petunjuk operasional Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui peraturan pemerintah.
Mereka juga setuju koordinasi selanjutnya akan dipimpin Menteri Ketenagakerjaan dan pembahasan mengenai isi peraturan dilakukan dengan melibatkan semua pihak, termasuk perwakilan buruh. "Tapi, setelah itu, kami tak diajak bicara," kata Said. "Bagaimana kami bisa menyetujuinya?"
Baru pada Selasa pagi, 7 Juli lalu, para buruh diundang oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Muji Handaya. Dalam kesempatan itu pun lagi-lagi pemerintah bukan hendak membuka kembali ruang diskusi. Selama hampir dua jam pertemuan, menurut Said, Muji hanya menyinggung bahwa pemerintah telah menggelar pertemuan tripartit pada September dua tahun lalu itu. Dia juga memberi tahu akan ada revisi, tapi tanpa menjelaskan detailnya. "Ini kebijakan setengah hati."
Pokok soal bagi para buruh tak melulu pada proses pembahasan yang kerap tak mengajak mereka. Kegusaran organisasi dan serikat pekerja semakin memuncak ketika mereka mengetahui kebijakan yang diterbitkan pemerintah berubah dari yang sebelumnya dibicarakan. Salah satunya mengenai batas waktu pencairan dana jaminan hari tua yang diperpanjang menjadi sepuluh tahun, dari sebelumnya hanya lima tahun, dengan masa tunggu satu bulan.
Menurut Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat, aturan ini sangat memberatkan buruh. Apalagi kebanyakan pekerja kini hanya berstatus kontrak atau tenaga alih daya. "Kalau baru setahun bekerja dan dipecat, masak harus menunggu sepuluh tahun untuk mencairkan dananya yang tidak seberapa itu?" ujarnya.
Mirah bukannya tak paham tentang hak pesangon bagi karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Tapi, menurut dia, bagaimanapun pekerja bakal mengharapkan duit JHT yang mereka tabung sebagai penyambung hidup. Sebab, faktanya banyak perusahaan di dalam negeri yang mangkir membayar kewajiban pesangon, sementara hingga kini tak ada sanksi tegas atas pelanggaran semacam itu.
Poin lain yang jadi masalah adalah besaran dana yang boleh dicairkan setelah 10 tahun kepesertaan, yakni hanya 10 persen dari saldo JHT. Pilihan lain bagi peserta adalah mengambil dana jaminan 30 persen untuk bantuan perumahan. Mirah menyebutkan aturan itu merenggut hak pekerja atas uang hasil keringat mereka.
Menanggapi protes itu, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya mengatakan tak ada yang keliru dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 tersebut. Sebab, merujuk pada Pasal 37 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, pencairan dana JHT hanya bisa dilakukan jika peserta memasuki usia pensiun 56 tahun, meninggal, cacat total, atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. "Lalu ada ayat yang mengatakan pencairan sebagian bisa dilakukan setelah menjadi peserta sepuluh tahun," ujarnya.
Alasannya, aturan ini dirancang untuk memastikan pekerja mendapatkan skema perlindungan pada hari tua. Dengan pencairan sebagian, pemerintah berharap masih ada sisa dana yang bisa digunakan selepas pensiun, pada masa-masa pekerja sudah tak lagi produktif.
Elvyn menganggap ada salah kaprah pemahaman karyawan atas waktu pencairan dana jaminan sosial dalam aturan terdahulu. Dalam skema Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau Jamsostek, penarikan dana memang bisa dilakukan paling singkat lima tahun kepesertaan, plus sebulan masa tunggu. Tapi ada klausul lanjutan berupa pengambilan yang hanya diperbolehkan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja. "Jadi bukan berarti untuk semua peserta."
Meski harus patuh pada undang-undang, pemerintah belakangan melunak. Baru dua hari peraturan diterapkan, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Hanif dan Elvyn melakukan revisi. Menurut Elvyn, Presiden memikirkan kepentingan pekerja yang sudah kesulitan di tengah situasi perekonomian yang lesu dan banyaknya kebutuhan menjelang Lebaran.
Bahkan, melalui surat instruksi Menteri Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan diminta mencairkan dana jaminan sosial bagi pekerja yang diberhentikan sebelum 1 Juli 2015. Apa boleh buat, lembaga ini harus mengeluarkan dana Rp 134 miliar untuk membayar 9.000 klaim.
Keputusan ini tak lepas dari upaya pekerja meyakinkan pemerintah. Seorang anggota serikat yang mengetahui proses ini mengatakan sejumlah perwakilan buruh sempat melobi Kantor Staf Kepresidenan untuk menyampaikan unek-unek. "Kami sekali waktu bertemu secara informal dengan Deputi Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Eko Sulistyo untuk membahas ini," kata pekerja tersebut.
Dimintai konfirmasi secara terpisah, Eko tak menampik pertemuan tersebut. Ia mengatakan diskusi yang berlangsung pada Selasa sore sepekan sebelum Idul Fitri itu hanya mendengarkan aspirasi perwakilan pekerja mengenai peraturan JHT. Beberapa masukan dari pekerja yang mencuat adalah soal masa pencairan dana jaminan yang sebaiknya dikembalikan menjadi lima tahun. Juga permintaan agar besaran pencairan dana bisa sampai seratus persen.
Namun, menurut mantan koordinator lapangan tim relawan Jokowi ini, alasan Presiden meminta revisi aturan tersebut bukanlah semata-mata karena desakan melalui perjumpaan dengan perwakilan buruh itu. "Pertemuan terjadi setelah Presiden memanggil Menteri Ketenagakerjaan dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan pekan sebelumnya," kata Eko. "Usul saya lebih pada pelibatan buruh terhadap setiap perumusan kebijakan, agar reaksi atas penetapan keputusan menjadi kecil."
Jika tak ada aral melintang, revisi semestinya rampung pada akhir bulan ini. Muji Handaya menjelaskan, draf perubahan sudah ada di Sekretariat Negara untuk difinalisasi. Tak akan banyak yang diubah. Klausul tambahan menyangkut pencairan dana kapan pun bagi pekerja yang terkena PHK atau mengundurkan diri. Selebihnya ialah besaran dana pencairan ditambah jadi 30 persen dari saldo JHT.
Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo