SERTIFIKAT Ekspor (SE) semula dirasakan sebagai fasilitas empuk yang diberikan dengan sedikit unsur subsidi untuk mendorong ekspor, dan sudah sejak tujuh tahun lalu disalurkan pemerintah dengan hati ikhlas. Tapi, mengapa kini pemerintah menggolongkan penerimaan SE itu sebagai penghasilan, dan karenanya bisa dikenai pajak? Bagi Dirjen Pajak Salamun A.T., seperti diungkapkannya pekan lalu, soalnya jadi serius karena tidak semua eksportir memasukkan penerimaan SE itu sebagai penghasilan dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak mereka. Kalau tindakan itu disengaja, eksportir bersangkutan bisa didakwa berusaha menyelundupkan pajak, dan diancam pidana masuk bui satu tahun atau kena denda paling tinggi sebesar dua kali jumlah pajak terutang. Tapi bila salah paham? Dirjen Pajak Saamun menyingkirkan kemungkinan itu. Sejak UU Pajak Penghasilan (PPh) mulai diberlakukan, awal Januari 1984 lalu, aparat pajak tidak henti-hentinya melakukan penjelasan dan penataran di kalangan usaha. Sesudah melewati masa dua tahun perkenalan itu, para pengusaha dianggap telah memahami seluk-beluk pengisian SPT, sehingga bisa membedakan mana penghasilan dan mana biaya. Jadi, cukup wajar bila ekspotir pakaian jadi seperti Mayer Crocodile otomatis menggolongkan penerimaan SE 1984 dan 1985 (dua tahun) Rp 600 juta sebagai penghasilan. Karena pemberian SE 1984 tidak lancar, maka ketika mengisi SPT baru dimasukkan ke tahun buku 1985. Tapi orang pajak seperti tidak tahu kesulitan eksportir menarik SE dari Departemen Keuangan. Buktinya, mereka masih mempertanyakan mengapa penerimaan SE Mayer Crocodile, 1984 itu tidak dimasukkan saja sebagai pos piutang. "Bagaimana bisa dimasukkan sebagai piutang, besarnya SE yang bakal diterima saja kami belum tahu," kata Ferry Kurniawan, Direktur Mayer. "Mungkin mereka takut kami ada main." Yang lebih sial, ketika Agustus lalu Ditjen Pajak melakukan uji petik terhadap ribuan SPT 1985 PPh Badan Usaha, sejumlah eksportir diminta agar mau mengeluarkan penerimaan SE itu sebagai laba yang langsung bisa dikenai pajak. Bahkan, menurut Fahmy Chatib, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), bila SE yang diterima eksportir berjumlah diatas 5% dari omset penjualan, maka kelebihannya bisa dianggap laba. "Itulah sebabnya banyak pengusaha mengeluh, katanya. Sebagai pengusaha berpengalaman, Fahmy menyebut mengenai kecilnya kemungkinan anggota API berusaha menyelundupkan penerimaan SE itu. "SE itu seperti rumah kaca, transparan gampang diketahui pihak pajak, karena tembusannya ada di mana-mana -- sehingga nggak bisa diumpetin," katanya. Bila kelak petugas pajak memergoki ada eksportir menyelundupkan pajak "API jelas tidak akan membela yang seperti itu. Kesalahpahaman rupanya sudak terjadi antara wajib pajak dan petugas pajak. Dalam upaya menjernihkan kesimpangsiuran itu, Dirjen Pajak Salamun menegaskan, SE hakikatnya merupakan penghasilan yang bisa dikenai pajak. Dasar hukumnya ada. Pasal 4 ayat 1 e UU PPh 1983. Di situ SE bisa digolongkan sebagai obyek pajak karena dianggap merupakan penerimaan kembali pembayaran pajak yang sudah diperhitungkan sebagai biaya. Jadi, ketika produsen eksportir tadi mengimpor bahan penolong, pembayaran atas bea masuk dan pajak impornya sesungguhnya sudah dimasukkan sebagai biaya. Dengan sendirinya bila biaya tadi dikembalikan, tentu, harus diperlakukan sebagai penerimaan yang bisa dikenai pajak. "Jadi, bukannya pemerintah kurang uang, terus mengubah kriteria mengenai SE," kata Dirjen Pajak Salamun kepada TEMPO. "Cuma mungkin, dulu eksportir kurang jelas, atau mereka sengaja nakal tidak memasukkan SE pada SPT-nya. Nah, sekarang tidak bisa main kucing-kucingan, karena kami punya daftarnya." Keributan mengenai penghasilan dari SE itu, kabarnya, baru muncul sesudah pemerintah melakukan uji petik terhadap SPT PPh Badan Usaha 1985, yang pengisiannya dipercayakan kepada wajib pajak sendiri. Ternyata, sekitar 50% dari pemberitahuan itu tidak benar isinya. "Dulu, sebelum UU PPh berlaku, belum ada pemeriksaan ke arah sana," kata Thomas Anwari, Ketua API Komda Bandung Raya. "Selain itu SE tidak cepat bisa keluar karena rumit penghitungannya," tambah Anwari. SINYALEMEN itu ada benarnya. SE untuk April sampai Juni, yang diberikan karena masa berlakunya yang habis 1 April diperpanjang hingga 1 Juli, hingga kini belum juga dibayar. Kalau keterlambatan itu, misalnya, berlanjut sampai April tahun depan -- tentu saja eksportir tidak bisa menyebut penerimaan SE itu untuk SPT 1986, bukan? Ada kemungkinan, keterlambatan pembayaran itu memang akan melantur ke tahun berikutnya, mengingat keputusan memperpanjang SE hanya didukung SK Menteri Perdagangan. Kedudukannya jelas lemah, karena fasilitas SE yang dikeluarkan pemerintah itu diputuskan dalam surat keputusan bersama (SKB) Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Perindustrian plus Bank Indonesia. Akibatnya, hingga kini BI belum mau mencairkan SE perpanjangan itu, karena keputusan perpanjangannya belum memenuhi SKB tadi. Nah, sambil menunggu itu, tak ada salahnya memang kalau pihak pajak lalu mengotak-atik SPT eksportir. "Sekarang bukan lagi saatnya main-main pajak," seperti kata Ian Daskian, Direktur Utama Badan Pemasaran Bersama GKBI. Syukur, masih ada eksportir yang sadar akan konsekuensl bermain-main dalam mengisi SPT. Kalau tidak, kerja Dirjen Salamun niscaya bakal berat urusannya. Eddy Herwanto, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini