TAHUN buku 1986 ini tampaknya bakal ditutup banyak perusahaan dengan sebuah tarikan napas panjang. Devaluasi ternyata belum tentu membuat mereka buntung. Sebaliknya, mungkin, akan mendatangkan untung berupa keringanan pajak. Pertama, nilai saham mereka akan naik, karena nilai perolehan harta perusahaan disesuaikan kembali harganya. Kedua, kalau mereka punya utang valuta asing, kenaikan nilai utang akibat perubahan kurs itu boleh dimasukkan sebagai biaya. Beleid pelengkap devaluasi yang dikeluarkan pemerintah, pekan lalu, itu jelas dibuat untuk menolong pengusaha naik dari kesulitan likuiditas. Yang bakal banyak membantu, tentu, Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1986 mengenai revaluasi atau penyesuaian harga terhadap harta perusahaan. Bayangkan, sebuah mesin yang dibeli tahun 1977 dengan harga Rp 84 juta, misalnya, bila dinilai kembali dengan indeks faktor penyesuaian, nilai perolehannya kini akan menjadi Rp 168 juta lebih. Karena nilai hartanya bertambah, jumlah uang yang harus disisihkan untuk beban penyusutan otomatis harus makin besar dari sebelumnya. Karena biaya penyusutan makin besar, laba kena pajak tentu jadi mengecil. Harus diakui, dalam jangka pendek, kebijaksanaan itu akan memperkecil penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan usaha. Rugikah pemerintah? "Tidak," jawab Direktur Pajak Langsung Mansury. "Pemerintah tidak mungkin mengambil pajak saat ini bersamaan dengan niat menggalakkan kegiatan berusaha." Upaya menolong dunia usaha seperti itu juga pernah dilakukan tahun 1979 lalu sesudah pemerintah melakukan devaluasi November 1978. Ketika devaluasi kemudian diulangi pada bulan Maret 1983, kebijaksanaan revaluasi atas nilai perolehan harta tidak dikeluarkan pemerintah, karena kondisi ekonomi waktu itu dinilai tidak separah saat ini. Ada benarnya anggapan itu. Bayangkan saja, di tengah kesulitan memperoleh bahan baku murah karena devaluasi harga uang sekarang terhitung bukan main tingginya dibandingkan 1983. Wajar bila banyak pengusaha bisa ketawa menanggapi kebijaksanaan revaluasi itu. Menurut Tanri Abeng, Direktur Utama Multi Bintang Indonesia, naiknya kekayaan perusahaan itu jelas akan ikut mendorong kenaikan harga saham. Dan itu berarti, harga saham di pasar modal, yang selama ini mendapat tekanan langsung dari tingkat suku bunga deposito, bakal naik harganya. "Sudah saya rencanakan, kenaikan nilai akibat revaluasi ini akan kami bagikan dalam bentuk saham bonus bagi pemegang saham lama," kata Dirut Tanri Abeng. Harta tetap Multi Bintang yang Rp 30 milyar, bila direvaluasi, nilai perolehannya kini akan mencapai Rp 36 milyar. Tapi supaya tidak salah langkah, Multi Bintang, yang sudah menjual sebagian sahamnya ke masyarakat, sedang menunggu petunjuk dari Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) untuk melakukan penyesuaian harga atas hartanya itu. Sambil menunggu, Multi Bintang kini sudah bisa membayangkan keadaan yang cerah, karena dengan revaluasi perputaran dana akan makin sehat dan kredibilitas perusahaan bertambah baik. Yang repot, menurut Kaptin Adisumarta, Presiden Direktur Detta Marina, adalah perusahaan yang punya utang dolar. Penyesuaian harga atas harta perusahaan itu dianggapnya masih belum cukup digunakan untuk menutupi utang dolarnya -- meskipun pemerintah sudah menyebut kenaikan utang akibat perubahan kurs itu bisa dimasukkan sebagai biaya. "Untung saja utang saya, yang dulu kurang lebih Rp 7,3 milyar itu dalam bentuk rupiah," katanya. Kaptin merasa belum perlu minta tambahan kredit baru atas kredit lamanya yang sudah diperpanjang itu, kendati nilai hartanya kini meningkat. Kredit mungkin baru akan dimintanya lagi bila nilai operasi perusahaannya naik. Tapi untuk minta tambahan itu, masih ada aspek lain yang amat penting. "Prospek bisnis," katanya. Nah, kalau prospeknya memang sedang loyo, jangan coba-coba ambil kredit meski nilai agunannya naik karena revaluasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini