TENTU saja, arus pelancong dari Jakarta ke Hong Kong dan Singapura, pekan ini, tak seramai hari-hari kemarin. Tarif fiskal baru yang menghambat. Berlaku sejak Senin pekan ini, memang, terasa benar akibatnya di Bandara Soekarno-Hatta. Singapore Airlines (SIA), yang menjadwalkan empat kali penerbangan Jakarta-Singapura setiap hari, pada hari pertama berlakunya tarif baru ini hanya bisa menjaring kurang tari seratus penumpang. Nasib serupa dialami oleh Garuda. Pesawat yang bertolak dari Cengkareng ke Changi, Singapura, hanya terisi 37 penumpang. Penerbangan ke Hong Kong, sore harinya, juga hanya mencatat 37 penumpang. Pada hari itu ditaksir arus pelancong anjlok sampai 75 persen. Tarif pajak ke luar negeri yang baru itu memang -- paling tidak untuk sementara akan menyusutkan jumlah pelancong Indonesia ke Singapura. Dan ini disadari betul oleh Badan Pengembangan Pariwisata (TDB) Singapura. Kenaikan yang terjadi November empat tahun silam, menurut Humas TDB Nn. Tan Seck Got, menurunkan arus wisatawan asal Indonesia sampai 30 persen. Namun, kenaikan tarif sebesar 66 persen yang terjadi pekan ini, menurut taksirannya, tak akan berakibat sedrastis empat tahun silam. Bila dilihat dalam kurs dolar, tarif fiskal yang diperkenalkan pada 1982 sama dengan US$ 220. Sedangkan tarif yang berlaku sekarang sama dengan US$ 152. Juru bicara TDB itu memperkirakan, arus wisatawan Indonesia akan menurun sampai Desember nanti, dengan penurunan kurang dari 30 persen. Setelah itu, "Akan kembali normal -- walaupun belum akan mencapai tingkat sebelumnya," ujarnya. Perubahan kebijaksanaan tarif fiskal ini, menurut Nona Tan, tidak membuat TDB gusar. Badan pengembangan pariwisata Singapura itu tetap hendak mempertahankan proyeksi kenaikan arus wisatanya sebesar tiga persen dari jumlah 3.030.970 wisatawan yang mengunjungi negara pulau itu tahun lalu. Sekitar sepuluh persen dari angka itu adalah pelancong Indonesia. Wisatawan Indonesia ke Singapura menempati kelompok tiga besar dalam hal jumlah. Puncak arus wisatawan Indonesia ke Singapura terjadi tahun 1981, yakni mencapai 440 ribu. Pada tahun yang sama, pelancong Indonesia ke Hong Kong 97 ribu. Tahun-tahun berikutnya, angka itu cenderung menyusut. Tentu, tak semua setuju dengan kebijaksanaan tarif fiskal baru, yang dikaitkan dengan soal pemungutan pajak. "Sebaiknya soal pajak saja yang ditertibkan, dan biaya fiskal dihapuskan," keluh seorang pengusaha Indonesia yang sedang melancong ke Singapura. Biaya fiskal itu, menurut pengusaha besar asal Jakarta ini, akan membuat kegairahan pengusaha untuk melongok perkembangan di luar negeri serasa terbang. Dan ini akan membuat masyarakat Indonesia tertinggal dalam mengikuti laju perubahan yang terjadi di luar. "Bak katak dalam tempurung, nantinya," ujarnya. Negara seperti Singapura dan Malaysia, misalnya, memang belum mengenakan biaya fiskal bagi warganya yang hendak melangkah ke luar negeri. Kebijaksanaan fiskal yang dikaitkan dengan pungutan pajak penghasilan, menurut pengakuan seorang pejabat di Kementerian Keuangan Malaysia, tak dirasakan perlu di negerinya. "Di sini tak ada yang lolos dari kewajiban membayar pajak," ujar pejabat tinggi itu kepada Hussein Attamimi dari TEMPO. Malaysia, tutur pejabat ini, telah lama mempraktekkan sistem perpajakan model Inggris yang ketat. "Kami tak bisa mengklaim sistem itu paling baik, tapi kami merasa pelaksanaannya cukup memuaskan," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini