Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Hadapi Ancaman Tarif Trump, Dosen UII: Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah

Perekonomian Indonesia terancam seiring ditetapkannya kebijakan tarif impor baru AS atau Tarif Trump. Apa yang harus dilakukan pemerintah?

9 April 2025 | 10.01 WIB

Listya Endang Artiani, Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Foto dok. Listya Endang
Perbesar
Listya Endang Artiani, Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Foto dok. Listya Endang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Bahala tengah mengintai perekonomian Indonesia seiring ditetapkannya kebijakan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dengan adanya kebijakan ini, hampir semua mitra dagang AS dikenakan tarif impor mulai dari 10 persen. Indonesia termasuk salah satu negara yang tarif impornya tergolong tinggi, yakni 32 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Lantas apa artinya bagi Indonesia? Menurut Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani, kebijakan Tarif Trump—demikian kebijakan ini disebut—memiliki dampak signifikan bagi perekonomian Tanah Air. Tak hanya berdampak langsung terhadap sektor ekspor Indonesia ke AS, tapi juga mempengaruhi makroekonomi dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kebijakan tarif impor AS tidak hanya memberikan tekanan langsung pada sektor ekspor Indonesia tetapi juga menimbulkan efek domino yang mempengaruhi stabilitas makroekonomi,” kata Listya, disalin dari tulisan ilmiahnya, ‘Impor Trump: Benturan Kepentingan dan Ancaman bagi Ekonomi Indonesia’ yang diterima Tempo, Ahad, 6 April 2025.

Listya mengatakan, untuk menghadapi dampak kebijakan tarif resiprokal AS ini semakin memperburuk posisi Indonesia di pasar global, pemerintah Indonesia perlu merespons dengan langkah-langkah strategis yang tidak hanya menyelamatkan sektor-sektor yang terdampak tetapi juga memperkuat daya saing ekonomi secara keseluruhan.

Salah satu langkah pertama yang harus diambil adalah negosiasi ulang dengan AS, untuk mencari solusi yang lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini, Indonesia harus memanfaatkan peran organisasi seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menyelesaikan sengketa perdagangan dan memperjuangkan pembebasan tarif untuk produk-produk yang memiliki daya saing tinggi.

“Mengingat pentingnya hubungan perdagangan bilateral dengan AS, perundingan yang cermat dapat mengurangi dampak lebih lanjut yang dirasakan oleh sektor-sektor ekspor Indonesia,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta ini.

Selain itu, kata dia, diversifikasi pasar ekspor menjadi salah satu langkah penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar AS. Mengingat penurunan surplus perdagangan Indonesia, yang tercatat turun 18,84 persen pada 2024, Indonesia harus memperkuat kemitraan dengan pasar-pasar alternatif seperti Kanada, Peru, dan India.

Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara ini telah menunjukkan potensi pertumbuhan ekonomi yang pesat dan meningkatkan permintaan untuk produk-produk ekspor Indonesia. Misalnya, India yang merupakan salah satu pasar terbesar di Asia, memiliki proyeksi pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen pada 2025, menawarkan peluang besar bagi Indonesia untuk memperluas ekspor non-AS.

Menurut Listya, selain ekspor, Indonesia juga perlu fokus pada peningkatan nilai tambah produk ekspor. Salah satu caranya dengan mendorong sektor manufaktur untuk berinovasi dan meningkatkan efisiensi produksi. Sejalan dengan teori keunggulan kompetitif Porter, negara yang dapat meningkatkan kualitas produk dan efisiensi operasional akan dapat memperoleh keunggulan dalam pasar global, bahkan di tengah kebijakan proteksionisme.

“Oleh karena itu, Indonesia harus lebih fokus pada pengembangan teknologi, riset, dan pengembangan produk-produk bernilai tambah tinggi, seperti produk elektronik, otomotif, dan tekstil inovatif, yang dapat memenuhi permintaan global tanpa tergantung pada harga bahan baku yang mahal,” ujar pengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi UII ini.

Terakhir, kata dia, untuk menghadapi ketidakpastian global, insentif dan kebijakan proteksi domestik juga perlu dipertimbangkan untuk mendukung sektor-sektor yang rentan terhadap tarif impor. Ini termasuk memberikan dukungan kepada sektor manufaktur agar tetap kompetitif dalam menghadapi kebijakan tarif dari negara-negara besar.

“Misalnya, memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi baru atau meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri, guna meningkatkan daya saing jangka panjang,” kata Listya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus