SUDAH dua minggu mesin-mesin di PT Cold Rolling Mill Indonesia Utama (CRMI) di Cilegon menderu. Tanda proses produksi sudah berjalan. Entah sudah berapa ton lembaran baja canai dingin (CRS) itu kini dihasilkan. Sudah ada yang memesan? Ternyata, belum, karena persoalan pabrik baru tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Bukan karena teknologinya yang terlalu canggih, hingga para operator pabrik sulit melakukan proses produksi. Tapi banyaknya aspek biaya, yang harus diperhitungkan, menyebabkan manajemen CRMI tak mudah menetapkan harga jual akhir. Sementara itu, para konsumen, yang terdiri dari industri hilir, menunggu dengan harap-harap cemas. Mungkinkah produk lokal CRMI bisa lebih murah dari impor? "Sampai saat ini, kami belum menerima penawaran," kata H.P. Siregar, manajer PT Toyota Mobilindo. Bagi pembuat komponen body, chasis, dan kabin kendaraan niaga Kijang dan truk Dyna ini, CRS merupakan kebutuhan yang utama. Lihat saja, dari 14 jenis CRS yang dibelinya melalui distributor tunggal PT Giwang Selogam, setiap bulan TM membutuhkan sekitar 1.000 ton CRS dengan ketebalan 0,7 mm-3,2 mm. Itulah sebabnya, jika harga yang ditetapkan CRMI ternyata lebih mahal, kata Siregar, TM akan repot. Dan ini akan mengakibatkan, mau tidak mau, harga jual akhir komponen mobil yang dibuatnya bakal naik. Harapannya kini tinggal satu: mudah-mudahan saja baja harga CRMI ditetapkan sama dengan baja impor yang Rp 792 per kg. "Syukur kalau bisa lebih murah," katanya. Keinginan serupa juga dikemukakan PT Amalgam, yang merakit karoseri minibus Suzuki, Colt L-300, dan Toyota Kijang. Dari Steel Center Jepang, juga melalui Giwang, dalam sebulan Amalgam mengkonsumsi sekitar 21 ton CRS yang tebalnya 0,9 mm-1,5 mm. Bedanya dalam sistem pembayaran, selain tanpa uang muka, Amalgam bisa memperoleh kredit selama sebulan. Tapi kemudahan itu tidak gratis, karena Amalgam harus merelakan potongan tunai 2%. Suara yang sama muncul dari kalangan pabrik seng, yang selama ini menyerap sekitar 250.000 ton/tahun atau sekitar 50% dari CRS yang diimpor. "Kalau harga yang ditetapkan CRMI lebih mahal dari impor, entah bagaimana jadinya nanti," kata Suhendro Notowidjojo, Ketua Gabungan Pabrik Seng Seluruh Indonesia. Maklum, mewabahnya resesi membuat pabrik-pabrik seng merugi terus, sejak 1984. Bagaimana tidak? Dari 14 pabrik yang berkapasitas terpasang 500.000 ton, kini hanya bekerja 220.000 ton setahun atau hanya 44% dari kapasitas. Padahal, untuk mencapai titik impas, produksi minimal harus mencapai 60%. Memang ada keuntungan lain dengan munculnya pabrik baru ini, "Mungkin nantinya kami tidak perlu membuat persediaan sampai tiga bulan, dan ini berarti penghematan biaya," ujar Suhendro. Yang menjadi persoalan apakah nanti distributor CRMI bisa menjamin lancarnya pemasokan. "Mungkinkah, sebagai pabrik baru, CRMI bisa dengan tepat memenuhi pesanan yang beragam?" tanya Siregar dari Mobilindo. Bukan hanya itu, soal kualitas CRS lokal itu juga jadi pertanyaan. Ini penting karena produk Mobilindo (patungan Toyota Motor dengan Astra) erat kaitannya dengan keselamatan konsumen akhir. "Jangankan ada karat, ada rambut sedikit saja CRS yang dicetak bisa menjadi mudah retak," katanya. Banyaknya dugaan bernada pesimistis, tampaknya, tidak menggoyahkan keyakinan manajemen CRMI -- mengingat bahan baku hot rolled steel yang dipakainya sudah mendapatkan pengakuan internasional. Apalagi teknologi pembuatan CRS juga cukup tinggi. "Jadi, saya menjamin kualitas produksinya kelak akan sama dengan kualitas impor," tangkis T. Ariwibowo, Dirut CRMI. Menurut Ari, konsumen tidak perlu cemas, karena untuk tahun ini CRMI baru mampu menghasilkan sekitar 170.000 ton. Artinya, sebagian besar (330.000 ton) masih akan dipenuhi CRS impor. Harga? "Masih digodok," jawab Dirut Ari. Tapi ada dugaan, CRMI akan menetapkan harga CRS lokal sama dengan yang impor -- setidaknya untuk mencegah agar konsumen tidak bingung menetapkan biaya karena adanya dua macam harga. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini