KONDOM lokal kini sudah bisa diperoleh. Pembukaan pabriknya di Desa Batukarut, Kabupaten Bandung, pekan lalu, dilakukan Presiden Soeharto. Dengan dihasilkannya kondom dari situ, kata Kepala Negara dalam sambutannya, "Maka, sebagian dari kebutuhan alat kontrasepsi bisa kita penuhi sendiri." Tapi diingatkan Presiden Soeharto, alat-alat pengendali kelahiran tersebut hakikatnya dibuat untuk melaksanakan dan meningkatkan program KB. Karena itu, kata presiden, semua alat kontrasepsi itu harus digunakan sesuai dengan tujuannya. "Kita semua harus waspada dan mengambil langkah pencegahan agar alat-alat tersebut tidak disalahgunakan. Lebih-lebih tidak menjadi alat yang merusakkan moral dan etika yang kita junjung tinggi," katanya. Selain kondom, dari Banjaran sebelumnya dihasilkan pula pil KB dan IUD. Dibangun di atas tanah 3,1 hektar di tengah kawasan pabrik tekstil Banjaran, pabrik kondom itu terletak 15 km sebelah selatan Kota Bandung. Pembangunannya menelan biaya Rp 25,712 milyar -- sebagian diperoleh dari kredit OECF (Overseas Economic Cooperation Fund) Jepang 2.250 juta yen, dan sisanya merupakan penyertaan modal pemerintah Rp 1,5 milyar. Pabrik yang termasuk terbesar di kawasan Asia Tenggara ini, di awal produksinya, mampu menghasilkan 72 juta kondom dari kapasitas 129,6 juta kondom per tahun: Kondom yang dihasilkannya terdiri dari dua jenis: berukuran panjang 25 mm dan 44 mm, dengan ketebalan 0,03 mm-0,05 mm. Bahan baku diperoleh dari PTP XI di Pandelang. "Perkebunan ini mengirim bahan baku lateks sekitar 20 ton per bulan, dengan kualitas terbaik dan mempunyai daya stabilitas tinggi," kata Wachyu Sumtra, dirut pabrik kondom itu. Untuk meningkatkan tingkat ketipisannya, pabrik kondom Banjaran menjalin kerja sama dengan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) untuk melakukan vulkanisasi lateks dengan radio isotop. "Maksudnya, supaya bisa dihasilkan kondom yang bebas dari kandungan bahan kimia yang ada di dalam lateks, dan kondomnya bisa lebih tipis serta kuat, dengan kualitas baik," kata Haryono Suyono, Kepala BKKBN Pusat, kepada TEMPO. Sampai sekarang ini, menurut Haryono Suyono, sebenarnya kondom masih kurang diminati oleh peserta KB. Buktinya, hanya sekitar 5% dari 16 juta peserta KB yang menggunakan kondom. Kecil angkanya dibandingkan dengan peserta KB yang menggunakan pil, IUD, suntikan, dan susuk. Apalagi, "Angka kegagalan pemakai kondom masih cukup tinggi, yaitu sekitar 50%," kata Kepala BKKBN Haryono serius. Jadi, pesan Haryono, walaupun bapaknya sudah memakai kondom, tak ada salahnya sang istri juga menggunakan IUD atau susuk atau minum pil. "Bila hujan, di samping pakai payung, pakailah jas hujan," katanya. Dengan harga jual Rp 70 per buah, Haryono optimistis kondom dari Banjaran ini mampu bersaing dengan produk impor yang sudah beken di pasaran. Misalnya kondom Kingtex buatan Korea ataupun kondom Netro Super Thin buatan Jepang. "Saya optimistis, untuk pasaran dalam negeri, seluruh produk pabrik ini dapat diserap," katanya. Malah beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat juga sudah minta contoh kondom Banjaran ini. Kabar baik. Karena itu, Haryono percaya pinjaman lunak dari OECF akan bisa dilunasinya dalam tempo 10-20 tahun dari jangka waktu pembayaran 40 tahun. Bahkan, "Untuk mencapai titik impas, cukup dengan produksi 50,4 juta kondom per tahun katanya. Gatot Triyanto, Laporan Hasan Syukur (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini