KEPALA Kantor Perbendaharaan Negara di pelbagai daerah, pekan lalu, menerima sebuah surat edaran dari Departemen Keuangan. Isinya menyangkut penggunaan anggaran belanja rutin dan pembangunan APBN 1986-87. Edaran itu menginstruksikan agar mereka menangguhkan semua permintaan pembayaran untuk pengadaan barang/belanja baru, biaya pemeliharaan gedung kantor dan pemeliharaan rumah jabatan serta rumah dinas. Mereka juga diminta menangguhkan semua penyelesaian revisi Daftar Isian Kegiatan 1986-87. Tapi untuk proyek yang sebagian atau seluruh dananya berasal baik dari bantuan proyek maupun bantuan luar negeri, pembayarannya tetap harus dipenuhi. Ada apa? Para pelaksana beleid pemerintah pusat, tampaknya, tidak akan kaget mendapat edaran, yang berisi instruksi untuk melakukan pengetatan dan penajaman prioritas anggaran itu. Mereka seperti sudah maklum, keluarnya edaran itu pasti berkaitan dengan situasi belum membaiknya prospek penerimaan pajak migas. Buktinya? Harga minyak yang sudah mencapai US$ 18 per barel di bulan Februari, pekan lalu, mendadak jatuh kembali. Minyak Laut Utara jenis brent, misalnya, disebut ditutup dengan harga US$ 15,98 per barel untuk penyerahan April. Padahal, ketika salju masih banyak turun di Eropa, pertengahan Februari lalu, brent masih harus dibeli US$ 17 lebih. Merosotnya harga brent itu, otomatis, ikut menekan harga minyak anggota OPEC. Tanda-tandanya sudah terlihat: harga minyak OPEC di pasar tunai kini pukul rata di bawah US$ 16. Bagi OPEC, yang pertengahan Desember tahun lalu mencapai kemufakatan mengupayakan harga minyak bisa US$ 18 dengan membatasi kuota produksi maksimum 15,8 juta barel sehari, kemerosotan harga itu tentu tak menyenangkan. Desas-desus pun kemudian terdengar: OPEC bakal bikin pertemuan darurat, mendahului pertemuan reguler yang dijadwalkan 25 Juni mendatang. Tapi Menteri Pertambangan & Energi Subroto, sesudah menghadap Presiden, pekan ini, menyebut tidak perlunya pertemuan darurat itu. Dia memperkirakan harga minyak di pasar tunai akan berfluktuasi antara US$ 1 dan US$ 2. Dan, "OPEC sudah siap hidup di tengah fluktuasi harga itu," katanya. Menurut Subroto, penurunan harga di pasar tunai terjadi karena iklim di Amerika dan Eropa mulai menghangat. Tapi dia juga tak mengesampingkan kemungkinan penurunan itu disebabkan oleh peri laku para pengilang minyak -- yang membongkar cadangan minyak mereka dalam jumlah berlebihan. Hanya jika 13 anggota OPEC tetap patuh tidak menghasilkan minyak melampaui kuota produksi masing-masing, kata Menteri, kesulitan menghadapi fluktuasi harga itu bisa diatasi. Indonesia, misalnya, tetap berusaha mematuhi kuota produksi yang ditetapkan 1,133 juta barel sehari. Akibatnya hasil dari pajak minyak yang bisa ditarik, sampai awal Februari baru Rp 4,9 trilyun atau sekitar 60% dari sasaran Rp 811 trilyun -- kendati mulai September dolar berharga Rp 1.644. Di masa sulit seperti sekarang, tidak semua anggota OPEC bisa menjual minyak mereka. Dubai, karena alasan itu, pekan lalu menyatakan bersedia memotong kuotanya yang 390.000 barel sehari dengan 10%. Qatar, sementara itu, hanya bisa menjual 180.000 barel dari kuota 285.000 barel sehari. Untuk mengatasi kesulitan itu, negara-negara Teluk sepakat untuk menolong anggotanya menjual minyak mereka. Masih harus dilihat, apakah usaha saling menolong dengan tidak melampaui kuota itu akan berhasil atau tidak memasuki musim semi nanti. M.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini